Lapan6online.com : Dua puluh satu tahanan tinggal dalam sebuah ruangan kecil. Mereka diborgol, dibotaki, setiap gerakan diawasi melalui kamera plafon. Sebuah ember di pojok ruangan menjadi toilet mereka. Aktivitas harian mulai pukul 06.00. Mereka belajar bahasa China, menghafal lagu propaganda dan mengakui dosa-dosa mereka. Usia mereka remaja sampai dewasa. Jatah makan mereka sedikit; sup dingin dan sepotong roti.
Penyiksaan – ditusuk paku, kuku dicopot, disetrum – dilakukan di ‘ruang gelap.’ Hukuman berlangsung terus menerus. Tahanan dipaksa meminum obat dan disuntik. Tujuannya untuk pencegahan penyakit, kata staf penjara kepada mereka, tapi pada nyatanya mereka jadi kelinci percobaan medis. Banyak dari tahanan menderita penurunan fungsi kognitif. Beberapa pria menjadi mandul. Perempuan kerap diperkosa.
Itulah kehidupan dalam kamp pendidikan ulang China, sebagaimana dilaporkan dalam kesaksian langka yang diungkapkan Sayragul Sauytbay (43), seorang guru yang melarikan diri dari China dan mendapat suaka di Swedia. Beberapa tahanan berhasil kabur dan mengisahkan pengalaman mereka.
Selama penahanannya, Sauytbay dipaksa menjadi guru di dalam kamp. China ingin mengabarkan kepada dunia bahwa kamp itu adalah pusat program pendidikan dan pelatihan vokasi, tapi Sauytbay adalah salah satu orang yang bisa dipercaya bagaimana cerita sesungguhnya di dalam kamp tersebut.
Kontributor Haaretz di Swedia, David Stavrou menceritakan pertemuannya dengan Sauytbay dan dikisahkan dalam artikel panjang yang diterbitkan situs Haaretz berjudul “Jutaan Orang Ditahan di Penjara China. Saya Berusaha Kabur. Ini Kisah Apa yang Sebenarnya Terjadi di Dalam Sana,” dilansir Selasa (19/11).
Pertemuan Stavrou dengan Sauytbay berlangsung tiga kali dan salah satu pertemuan diatur Asosiasi Uighur Swedia. Dalam wawancara, muslimah keturunan Kazakhstan itu hanya menggunakan bahasa Kazakh dan Stavrou berkomunikasi dengan penerjemah. Selama wawancara, Sauytbay terlihat tenang, tapi saat mengingat kejadian menyeramkan, dia menangis. Apa yang dia kisahkan dipertegas dengan pengakuan sebelumnya oleh tahanan lain yang melarikan diri ke Barat. Pemerintah Swedia memberikannya suaka, karena testimoninya, ekstradisi ke China akan mengancam keselamatannya.
Sayragul Sauytbay
Sebagaimana ribuan warga lainnya, terbanyak suku Uyghur, Sauytbay merupakan korban penindasan pemerintah China di Provinsi Xinjiang. Sejumlah besar kamp dibangun di wilayah itu dalam dua tahun terakhir, sebagai upaya China mengatasi apa yang disebutnya sebagai tiga kejahatan yaitu terorisme, separatisme, dan ekstremisme. Negara Barat memperkirakan, 1 sampai 2 juta penduduk Xinjiang ditahan di kamp tersebut.
Toilet dari Ember
“Akhir 2016, polisi mulai menangkap orang-orang pada malam hari, secara diam-diam,” ceritanya.
“Itu adalah masa-masa tak pasti secara sosial dan politik. Kamera dipasang di area publik; pasukan keamanan mulai menampakkan kehadiran mereka. Pada satu tahapan, sampel DNA diambil dari semua anggota minoritas di wilayah itu dan kartu SIM ponsel kami diambil. Satu hari, kami diundang ke sebuah pertemuan oleh pejabat. Di sana ada sekitar 180 orang, pegawai di rumah sakit dan sekolah. Anggota polisi, membacakan sebuah dokumen, mengumumkan bahwa pusat pendidikan ulang untuk warga akan segera dibuka, dalam rangka stabilisasi situasi di wilayah itu,” lanjutnya.
Sauytbay mengatakan, polisi mendatangi rumahnya pada malam hari, menutup kepalanya dengan kain hiyal dan membawanya ke sebuah tempat yang terlihat seperti penjara.
“Saya diinterogasi polisi, yang ingin tahu dimana suami dan anak-anak, dan kenapa mereka pergi ke Kazakhstan. Di akhir interogasi saya diminta menyuruh suami saya pulang, dan saya dilarang memberi tahu tentang interogasi itu,” ujarnya.
Sauytbay juga mendengar kasus serupa, orang-orang yang kembali ke China ditangkap dan dikirim ke kamp. Dia memutuskan kontak dengan suami dan anak-anaknya setelah dibebaskan. Tetapi pihak berwenang tidak menyerah. Dia berulang kali ditangkap dan dituduh melakukan berbagai pelanggaran.
Saat dibawa ke kamp, dia diminta mengajar bahasa Mandarin dan menandatangani sebuah dokumen tentang tugasnya dan aturan di dalam kamp. Jika tak menjalankan tugasnya, maka dia terancam hukuman mati. Dokumen itu juga menyebutkan dia dilarang berbicara dengan tahanan lain, dilarang tertawa, menangis dan menjawab pertanyaan dari siapapun.
“Saya tanda tangan karena tak punya pilihan, dan kemudian saya menerima seragam dan dibawa ke kamar sempit dengan tempat tidur dari semen dan sebuah tikar tipis. Ada lima kamera di plafon – satu di setiap pojok dan satunya di bagian tengah,” jelasnya.
Tahanan lain yang tak dibebani tugas tertentu jauh lebih menderita. Dalam satu ruangan berukuran 16 meter persegi, dihuni 20 orang dan ada kamera di setiap ruangan dan koridor. Setiap ruangan disediakan satu ember plastik sebagai toilet. Setiap tahanan hanya diberikan dua menit untuk menggunakan toilet setiap hari, dan ember itu dikosongkan hanya sekali dalam sehari. Jika penuh, maka harus menunggu sampai hari berikutnya. Tangan dan kaki mereka diborgol setiap hari kecuali saat sedang menulis. Bahkan saat tidur mereka diborgol, mereka hanya diperbolehkan tidur menghadap kanan, jika berubah, maka akan dihukum.
Sauytbay harus mengajarkan para tahanan, yang kebanyakan penutur bahasa Uyghur dan Kazakh, berbahasa Mandarin dan lagu propaganda Partai Komunis. Ada juga jam-jam tertentu untuk belajar lagu propaganda dan mengucapkan slogan dari poster-poster bertuliskan: “Saya cinta China,” “Terima Kasih Partai Komunis,” “Saya China,” dan “Saya Cinta Xi Jinping.” Pada sore dan malam hari adalah jadwal pengakuan perbuatan jahat dan pelanggaran moral. Hal yang dianggap dosa seperti melakukan praktik keagamaan, tidak mengerti bahasa dan budaya China, dan kelakuan tak bermoral.
Sauytbay mempekirakan ada sekitar 2.500 tahanan di kamp tersebut. Tahanan tertua seorang perempuan berusia 84 tahun dan termuda adalah anak laki-laki 13 tahun.
Daging Babi Tiap Jumat
Saat ditanya di mana lokasi kamp tersebut, Sauytbay mengaku tak tahu. Pasalnya selama di sana, dia tak diizinkan melihat halaman sekali pun. Dia menduga itu adalah bangunan baru.
Sauytbay juga menceritakan mereka diberi makan tiga kali sehari. Makanannya seperti sup nasi cair atau sup sayuran dan sepotong kecil roti. Tiap Jumat mereka disediakan daging, tapi daging babi.
“Para tahanan dipaksa untuk memakannya, bahkan walaupun mereka taat beragama dan tidak makan daging babi. Penolakan membawa hukuman. Makanannya buruk, tidak ada cukup waktu untuk tidur dan kebersihannya mengerikan. Hasil dari semua itu adalah para tahanan berubah menjadi tubuh tanpa jiwa,” tuturnya.
Komandan kamp menyediakan ruang untuk penyiksaan yang disebut “ruang gelap” karena tahanan dilarang membicarakannya secara terang-terangan. Beragam jenis penyiksaan dihadapi para tahanan seperti digantung di tembok, dipukul dengan tongkat elektrik. Ada juga kuku tahanan yang dicabut.
“Saya melihat tahanan yang kembali dari ruangan itu berdarah-darah. Beberapa kembali tanpa kuku di jarinya,” ujarnya.
Alasan tahanan dihukum di antaranya karena tidak belajar bahasa Mandarin dengan baik atau tidak menyanyikan lagu propaganda. Sauytbay juga mengaku pernah dihukum dengan dipukul dan tak diberi jatah makan selama dua hari.
Dia juga mengaku menyaksikan bagaimana tahanan dijadikan kelici percobaan medis. Tahanan akan diberikan pil atau suntikan dengan dalih mencegah penyakit.
“Tapi perawat mengatakan kepada saya diam-diam pil itu berbahaya dan saya tidak boleh meminumnya,” kata dia.
Efek pil itu bermacam-macam. Ada tahanan yang mengalami penurunan fungsi kognitif. Perempuan berhenti menstruasi dan laki-laki menjadi mandul, berdasarkan spekulasi yang muncul. Jika tahanan benar-benar sakit, mereka tak mendapat pengobatan.
Pemerkosaan Massal
Nasib perempuan di kamp itu juga sangat buruk. Sauytbay mengatakan polisi akan membawa gadis-gadis cantik. Mereka bisa membawa siapapun yang mereka suka. Dia juga mengungkapkan kasus pemerkosaan massal.
“Suatu hari, polisi memberi tahu kami bahwa mereka akan memeriksa untuk melihat apakah pendidikan ulang kami berhasil, apakah kami berkembang dengan baik. Mereka membawa 200 tahanan ke luar, laki-laki dan perempuan, dan memerintahkan kepada salah seorang perempuan untuk mengakui dosa-dosanya. Dia berdiri di depan kami dan menyatakan bahwa dia sebelumnya orang jahat, tetapi sekarang setelah belajar bahasa China, dia menjadi orang yang lebih baik. Ketika dia selesai berbicara, polisi memerintahkan dia untuk lepas jubah dan memperkosanya satu demi satu, di depan semua orang. Sementara mereka memperkosanya, mereka memeriksa untuk melihat bagaimana kami bereaksi. Orang-orang yang memalingkan kepala atau memejamkan mata, dan mereka yang terlihat marah atau terkejut, dibawa pergi dan kami tidak pernah melihat mereka lagi. Itu mengerikan. Saya tidak akan pernah melupakan perasaan tidak berdaya, karena tidak bisa membantunya. Setelah itu terjadi, sulit bagi saya untuk tidur di malam hari,” tuturnya.
Kekerasan seksual juga diungkap oleh mantan tahanan kamp di Xinjiang yang dipublikasikan The Washington Post dan The Independent, di London. Sejumlah perempuan mengaku diperkosa, yang lain menyebut pemaksaan aborsi dan pemasangan alat kontrasepsi.
Ruqiye Perhat (30), perempuan Uyghur yang ditahan di kamp selama 4 tahun dan kini tinggal di Turki mengatakan dia diperkosa berulang kali oleh para penjaga kamp dan hamil dua kali, yang kemudian terpaksa digugurkan.
“Setiap perempuan dan laki-laki di bawah 35 tahun diperkosa dan mengalami pelecehan seksual,” tuturnya kepada The Post.
Kebohongan China
Antropolog dari Universitas Corneel, Magnus Fiskesj, yang merupakan pakar etnis minoritas di China menyampaikan awalnya China menyangkal terkait kamp dan sejumlah pengakuan ini, namun ketika dokumen dan gambar dibocorkan Barat, dan gambar satelit menunjukkan kamp dibangun di seluruh wilayah itu, Beijing merevisi ceritanya. Kini pejabat China mengaku ada upaya legal yang bertujuan melawan radikalisme dan kemiskinan yang dimaksudkan melalui pusat pendidikan ulang itu.
“Klaim China bahwa ada kamp pelatiha ulang kejuruan dan bahwa tak ada tahanan dengan paksaan di sana adalah kebohongan yang sempurna,” kata Nimrod Baranovitch, dari Departemen Jurusan Asia Universitas Haifa.
“Saya tahu secara langsung dan tidak langsung ribuan orang ditahan di kamp-kamp dan tak ada kebutuhan pelatihan kejuruan. Intelektual, profesor, dokter dan penulis hilang. Salah satu dari mereka adalah Ablet Abdurishit Berqi, mahasiswa doktor yang sebelumnya bersama kami di Haifa. Saya harap dia masih hidup,” jelasnya.
Melalui program Jalur Sutra atau proyek Belt and Road Initiative, pemerintah China membungkam negara-negara Islam atas pelanggaran HAM China atas masyarakat Uighur, karena sejumlah negara berpenduduk muslim bekerja sama dengan China dalam proyek ini. Juli lalu, surat dari 22 Duta Besar kepada Dewan HAM PBB terkait kasus Xinjiang dijawab dengan dukungan bagi China dari 37 negara, termasuk Arab Saudi, Suriah, Kuwait, dan Bahrain.
Salah satu faktor mengapa dunia tetap bungkam atas apa yang terjadi di Xinjiang karena China masih sangat tertutup dengan wilayahnya lewat cara pengawasan dan spionase, sensor internet dan jaringan sosial, pembatasan perjalanan dan melarang kontak penduduk dengan kerabat dan orang lain di luar negeri, bersama dengan kepolisian, pengawasan dan kontrol dalam skala besar. Menurut Fiskesjo, upaya-upaya ini menyembunyikan genosida yang sebenarnya.
“Anak-anak diambil dari orang tua mereka, yang dikurung di kamp konsentrasi, dan dimasukkan ke panti asuhan China,” katanya. “Perempuan di kamp menerima inokulasi yang membuat mereka mandul, orang Cina memasuki rumah-rumah pribadi dan memberantas budaya lokal, dan ada hukuman kolektif yang meluas.”
Tuduhan Pembelot
Kisah Sauytbay secara mengejutkan berubah pada Maret 2018, ketika tanpa pemberitahuan, dia diinformasikan akan dibebaskan. Kepalanya ditutup kain hitam, dibawa ke sebuah kendaraan, tapi kali ini dia dibawa pulang ke rumahnya.
Saat dibebaskan, dia diperintahkan tak menceritakan sepatah kata tentang apa yang dialami di kamp. Dia juga harus kembali sebagai direktur lima TK di daerah asalnya di Aksu. Setelah dipecat dari pekerjaannya, dia kembali diinterogasi dengan tuduhan berkhianat dan berhubungan dengan orang luar. Dia diancam akan dikirim lagi ke kamp.
Dia pun berusaha kabur menuju Kazakhstan untuk bertemu suami dan anak-anaknya. Dia berhasil menyelundup dan akhirnya bertemu keluarganya.
China Membantah
Namun kisahnya tak hanya sampai di situ. Setelah berkumpul dengan keluarganya, dia ditangkap intelijen Kazakhstan karena menyeberangi perbatasan secara ilegal dan dipenjara 9 bulan. Tiga kali dia mengajukan suaka, dan tiga kali ditolak. Namun setelah keluarganya menghubungi sejumlah biro media, lembaga internasional beraksi, dan dia diberikan suaka ke Swedia.
“Saya tak akan pernah melupakan kamp itu. Saya tidak bisa melupakan mata para tahanan, berharap saya bisa melakukan sesuatu untuk mereka. Mereka tak bersalah. Saya harus menceritakan kisah mereka, menceritakan kesuraman mereka, penderitaan mereka. Dunia harus mencari solusi agar saudara-saudaraku bisa hidup damai. Pemerintah demokratis harus melakukan semua yang mereka bisa untuk membuat China berhenti melakukan tindakan itu di Xinjiang,” jelasnya.
Dikonfirmasi terkait pengakuan Sauytbay, Kedutaan Besar China di Swedia menulis ke Haaretz membantah semua tuduhan tersebut.
“Kebohongan penuh dan serangan keji terhadap China,” tulisnya.
Pernyataan itu juga mengatakan Sauytbay tak pernah bekerja di pusat kejuruan dan pelatihan manapun di Xinjiang, dan tak pernah ditangkap sebelum meninggalkan China.
“Sayragul Sauytbay diduga melakukan penipuan kredit di China dengan hutang yang belum terbayar sekitar 400.000 RMB (sekitar USD 46.000,” kata pernyataan tersebut.
Kedubes China menulis, di Xinjiang dalam beberapa tahun terakhir, China menghadapi ancaman serius separatisme etnis, ekstremisme agama dan terorisme kekerasan. Pusat pelatihan dan vokasional dibangun secara sah untuk memberantas ekstremisme, bukan ‘kamp tahanan’.
“Sebagai dampak pembangunan pusat-pusat (pelatihan) itu, menurut orang China,” tidak ada insiden teroris di Xinjiang lebih dari tiga tahun. Pusat pendidikan dan pelatihan kejuruan di Xinjiang telah mendapatkan dukungan dari semua kelompok etnis di Xinjiang dan komentar positif dari banyak negara di seluruh dunia,” tutupnya.
(Merdeka.com)