“Kementerian/Lembaga termasuk Kemenkes adalah yang sangat besar. Karena yang diberikan kepada BNPB sebagian besar disampaikan kembali ke Kemenkes yang BNPB yang sebagian kecil. Jadi semua diberikan kepada kemenkes ke TNI, termasuk ke kemenkominfo pun diberikan dana,”
Jakarta | Lapan6Online : Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mendapat banyak kritik saat rapat bersama Komisi VIII DPR, pada Selasa (12/05/2020). BNPB dianggap tidak layak menanggulangi Covid-19 karena semakin banyaknya warga yang terinfeksi.
Sekretaris Utama (Sestama) BNPB Harmensyah menjelaskan sejumlah kritik yang disampaikan anggota DPR tersebut. Salah satunya soal pertanyaan penggunaan anggaran besar yang dimiliki BNPB, tapi sebaran APD dan alat kesehatan masih belum merata ke seluruh daerah.
Menurut dia, dana yang masuk ke rekening BNPB bukanlah dana milik BNPB saja. Dana itu merupakan dana yang harus disalurkan ke sejumlah lembaga yang berkaitan dengan penanganan Covid-19, seperti Kementerian Kesehatan dan Mabes TNI.
“Inpres bahwa kementerian lembaga harus melakukan refocusing dan realokasi anggaran. Jadi kalau dibandingkan dengan kebutuhan anggaran yang sangat besar, anggaran sangat besar karena masuk kepada BNPB,” ujar dia, dalam rapat dengan Komisi VIII DPR RI, pada Selasa (12/05/2020).
“Kementerian/Lembaga termasuk Kemenkes adalah yang sangat besar. Karena yang diberikan kepada BNPB sebagian besar disampaikan kembali ke Kemenkes yang BNPB yang sebagian kecil. Jadi semua diberikan kepada kemenkes ke TNI, termasuk ke kemenkominfo pun diberikan dana,” lanjut dia.
Dia menjelaskan, sejauh ini anggaran dari penanggulangan Covid-19 yang sudah disalurkan BNPB sebesar Rp2,61 triliun. Anggaran tersebut bukan hanya milik BNPB. BNPB harus menyalurkan dana itu ke lembaga-lembaga yang membutuhkan kucuran dana dari APBN tersebut.
“Ke Mabes TNI disalurkan Rp58,3 miliar lebih. Ke Pusat Krisis Kesehatan (Kemenkes) untuk pembelian APD Rp780 miliar lebih dan itu juga sedang diproses Rp444 miliar lagi untuk disalurkan ke Kemenkes,” jelasnya.
“Untuk yang cash Rp189 miliar lebih untuk bantuan alat kesehatan dan fasilitas yang terbanyak juga Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan itu Rp975,6 miliar jadi totalnya sudah ditransfer Rp2,61 triliunan,” lanjut dia.
Dari total anggaran tersebut, BNPB mendapat jatah anggaran sebesar Rp43,5 miliar. “Kalau BNPB-nya Rp43,5 miliar itu yang baru kita ambil untuk pengadaan di BNPB yang mana di tempat lain, mungkin di Kemenkes tidak melakukan tapi kami perlu melakukan percepatan,” ungkapnya.
Sementara untuk keluhan adanya kekurangan alat kesehatan di RS, dia mengakui, ada sejumlah alat yang saat ini masih dipesan. Misalnya alat ekstraksi yang masih harus didatangkan dari Australia.
“Pembelian mesin ekstraksi tadi Pak Jhon sampaikan, pemesannya ke Australia pak alat ekstraksi itu katanya tanggal 14 itu sampai. Jadi kalau sampai langsung kita kirim ke lapangan. Kemarin saya cek ke yang pengadaan nya tanggal 14 katanya sampai dari Australia,” terang dia.
Dia pun memastikan, semua masukan dan kritik yang disampaikan DPR akan dia sampaikan kepada Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo untuk ditindaklanjuti.
Sementara untuk kebutuhan lain seperti APD, dia memastikan bahwa bantuan tersebut sudah disalurkan ke daerah. Hingga saat ini total terdapat 1.892.435 APD yang sudah disalurkan ke seluruh Indonesia. “Kemenkes yang mengadakan dibantu penyaluran oleh mabes TNI,” urai dia.
Koordinasi dengan gugus tugas daerah, pastikan akan terus ditingkatkan serta melibatkan berbagai pihak yang berkaitan berkepentingan dalam upaya penanganan Covid-19.
“Dari gugus tugas pusat sesuai amanat Keppres 7/ dan Keppres 9 itu dibentuk gugus tugas di daerah yang juga mengkoordinir instansi lembaga yang ada di daerah termasuk BPBD ada di dalamnya. Dinas Kesehatan ada di dalamnya semuanya ada di dalamnya dan untuk perkuatkan tentang pendataan,” imbuhnya.
“Karena lihat pendataan selama ini lemah, kita kirimkan LO dari teman-teman TNI kita kirim ke daerah-daerah supaya bisa menyatukan data semua harus satu masuknya . Baik dari Kemkes maupun dari gugus tugas,” tambah dia.
Target 10 Ribu Spesimen per Hari
Sementara itu, pihaknya terus berupaya meningkat kapasitas pengetesan spesimen di laboratorium. Dengan demikian pihaknya bisa mencapai 10.000 tes per hari sesuai arahan Presiden Joko Widodo.
“Ini penting karena sesuai arahan presiden minimal kita lakukan pengujian 10.000 per hari,” ujar Harmensyah.
Salah satu langkah yang dilakukan yakni dengan memperkuat kapasitas laboratorium. Terutama dari sisi ketersediaan sarana dan prasarana penunjang pengetesan.
“Kita perkuat labnya ada 55 lab perlu ditunjang kelengkapan alat-alat kesehatannya dan kemampuan SDM-nya,” urai dia.
Selain itu, ada juga inovasi yang dilakukan, yakni berupa laboratorium mobile. Laboratorium mobile ini diinisiasi oleh BPPT dan sejumlah perguruan tinggi hingga dunia industri dalam negeri.
“BPPT sudah bisa buat lab BSL2 mobile untuk mendukung PCR dengan kapasitas 262 tes dalam 24 jam,” ungkapnya.
Tak hanya itu, BPPT juga menggandeng perguruan tinggi dan sektor industri untuk memproduksi sendiri alat yang dibutuhkan dalam pengujian Covid-19. “BPPT kerja sama dengan UGM, Unair, dan Hepatika Mataram, sedang dalam proses uji validasi 10.000 rapid test antibodi,” terang dia.
Kiritk Keras DPR
Anggota Komisi VIII asal fraksi PKS Iskan Qolba Lubis menyoroti manajemen yang dilakukan gugus tugas pimpinan Doni Monardo.
“Sesudah mendengar bapak Sestama tadi ada beberapa kesimpulan yang saya dapatkan pertama gugus tugas ini mengelola problem ini manajemennya kalau saya nilai tidak lulus,” ujar Iskan.
BNPB harusnya memiliki data yang terperinci misalnya terkait kebutuhan dan keterpenuhan APD dari pusat hingga daerah. Juga harus memiliki mekanisme pengadaan APD begitu dibutuhkan rumah sakit (RS).
“Harus kuat data. berapa rumah sakit, berapa dokternya, berapa tren tiap hari yang masuk berapa yang ada di situ APD berapa yang dibutuhkan, berapa kurangnya. Kita dapat dimana, mau beli dimana. Begitu dong gugus tugas,” ujarnya.
“Ini semua semua belanja tapi tidak jelas kurangnya dimana, nggak ada sama sekali. Kalau saya tanya Sestama apa yang dibutuhkan Sekarang oleh RS Adam Malik Medan, bisa jawab nggak?” lanjut Iksan.
Manajemen Parah
Menurut dia, data yang dimiliki BNPB tidak perlu harus dalam tampilan yang terlalu rumit. Intinya datanya jelas dan terperinci. Dia kesal, data yang disajikan BNPB dalam rapat untuk melaporkan kinerja ke DPR amburadul.
“Pertama dari segi manajemen ini sudah parah. Itu minimal buat di Excel selesai itu. Harus ada dong. Saya minta harus serius ini. Saya minta ini disetop dulu (RDP) ini diubah dulu manajemennya,” ungkapnya.
Dia berharap ke depan, Pemerintah, khususnya gugus tugas harus dapat menampilkan data yang lebih terperinci soal penanganan Covid-19. Mengingat pemerintah memiliki semua sarana dan sumber daya yang dibutuhkan untuk menghasilkan data yang berkualitas.
“Pertemuan berikutnya data itu harus ada, berapa yang sudah beli, siapa yang membelikan, bikin Excel aja. kalau nggak perlu BNPB saya kasih staf saya untuk kesitu. Ini parah sekali ini. Nyawa manusia ini. Tolong beritahu ke Pak Jokowi. Manajemennya parah,” imbuhnya.
“Saya ingin tahu ke depan ada data. Kalau saya tanya RS Padang Sidempuan berapa APD-nya berapa yang ada, harus ada datanya. Negara itu punya segalanya. Punya uang punya staf, punya Menteri. Cuma satu Yang tidak punya, manajemen berantakan,” tandasnya.
Pelayanan Sangat Buruk
Kritik juga dilontarkan oleh Anggota Komisi VIII asal fraksi PKS Bukhori Yusuf. Dia menyoroti tingkat kematian di Indonesia yang lebih tinggi ketimbang negara lain.
“Jadi kita lihat data sampai tanggal 7 kemarin. Total kasus di Amerika itu sekitar 1.270.763. Di Singapura 20.000 di Indonesia. 12.000. Poin saya, tingkat kesembuhan kita dibandingkan kematiannya masih sangat tinggi. Indonesia ini tingkat kematian terhadap kasus ini masih 7,27 persen. Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Amerika jauh lebih tinggi dari rata-rata dunia,” kata Bukhori dalam rapat tersebut.
Masih tingginya angka kematian tersebut,, tegas dia, menunjukkan buruknya pelayanan yang diberikan BNPB dalam penanganan Covid-19. Dia juga menyoroti kepedulian BNPB terhadap nyawa masyarakat.
“Ini maknanya pelayanan sangat buruk. Bahwa kita memang tidak begitu care dengan nyawa manusia,” tegas dia.
Data BNPB terkait penanganan Covid-19 juga menjadi sorotan Bukhori. Sebab, dia menilai, data yang dimiliki BNPB tidak lengkap dan terperinci.
Menurut dia, BNPB seharusnya betul-betul memainkan perannya sebagai Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Hal itu sepadan dengan anggaran BNPB yang cukup besar.
“Ini artinya strategi BNPB yang kemudian jadi pertanyaan besar untuk saya. Anggaran yang besar ini dipakai untuk apa? Kalau kemudian kita kembali ke kebijakan besar yang dilakukan BNPB,” terang dia.
“Di dapil saya di kota Semarang saja ada IDI Jawa Tengah hanya untuk meminta APD untuk 4 kota/kabupaten itu tidak ada sama sekali tidak direspon. Kami mencari sendiri pak,” tandasnya.
BNPB Tak Punya Power
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Laksdya TNI (Purn) Moekhlas Sidik menilai, Presiden Joko Widodo (Jokowi) keliru menunjuk BNPB untuk menangani Coivd-19. Sebab BNPB tidak memiliki kemampuan untuk melakukan penetrasi hingga ke daerah.
“Kekeliruannya pemerintah menunjuk gugus tugas Covid-19 kepada BNPB. Kenapa yang pertama kemampuan komando dan pengendalian tidak punya sampai daerah-daerah. Sifatnya hanya koordinasi. Bukan komando pengendalian,” kata Moekhlas.
Karena hubungan yang dibangun cuma sebatas koordinasi, lanjut dia, BNPB tidak memiliki kekuatan untuk berbuat banyak dalam penanganan Covid-19 hingga ke daerah. Hal itu menjadi alasan BNPB berkinerja buruk.
“Akibatnya data yang bapak paparkan tadi hanya hasil koordinasi. Oh kamu kumpulkan data. Ini lah data. Cuma itu Pak. Karena tidak punya power untuk ‘Eh kami salah’, ‘kamu tidak boleh’, ‘kamu jungkir ke sana’. Tidak punya bapak. Itu menjadi sebab kinerja bapak seperti ini,” tegasnya.
Selain itu, BNPB dia nilai tidak dapat mengatur Kementerian-Kementerian yang terlibat dalam penanganan Covid-19. Dengan demikian, terjadi tumpang tindih kebijakan di pihak pemerintah.
Kedua, lanjut Ketua Harian Gerindra itu, dengan pengendalian yang lemah hanya koordinasi, maka kinerja kementerian yang lain yang harusnya bisa dipimpin berjalan tidak semestinya.
“Sekarepnya dewe, semaunya. Tumpang tindih temuan di daerah tidak sama satu dengan yang lain,” ungkap Moekhlas.
“Akibatnya inilah yang dirasakan masyarakat sehingga sampai sekarang Covid-19 bukan turun, tapi justru naik. Itu saja, sampaikan kepada Komandan Bapak. Pada Pak Doni. Perlu komando pengendalian yang kuat. Kita tentara, modal untuk bisa menghasilkan output kinerja yang maksimal,” tandasnya. [rnd/mdk]
*Sumber : merdeka.com