“Undang-undang ini sangat berbahaya, melanggar Konstitusi dan merusak tatanan hukum bernegara,”
Jakarta, Lapan6online.com : ProDEM (Jaringan Aktivis Pro Demokrasi) secara resmi mengajukan Permohonan Judicial Riview ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan objek perkara “Membatalkan UU Nomor 2 Tahun 2020 Tentang; Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penaganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (covid-19) Dan / Atau Dalam rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan / Atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UU nomor 2 tahun 2020 ini kemudian dikenal sebagai UU Corona atau Covid-19
Ketua Majelis ProDEM, Ir. Iwan Sumule di dampingi Sekjen ProDEM Muhammad Mujib, Edysa Girsang dan aktivis ProDEM lainnya sebelumnya dengan tegas menolak undang-undang ini disahkan karena berpotensi melanggar konstitusi. Ada beberapa pasal yang cenderung bertentangan dengan UUD 1945. Namun lahir kemudian UU nomor 2 tahun 2020 sebagai pengganti.
Melanggar Konstitusi dan Tatanan Hukum Bernegara
“Undang-undang ini sangat berbahaya, melanggar Konstitusi dan merusak tatanan hukum bernegara,” tegas Iwan Sumule saat dihubungi redaksi Lapan6online.com, Jumat (5/6/2020).
Iwan membeberkan, dugaan pelanggaran itu terkait dengan kekuasaan Pemerintah dalam penetapan APBN yang mereduksi kewenangan DPR, adanya pasal kekebalan hukum, dan kerugian keuangan Negara.
Hilangkan Kewenangan DPR
Misalnya, Pertama, di Pasal 12 Ayat 2 menyatakan bahwa Perubahan Postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara hanya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. ini telah menghilangkan kewenangan serta peran DPR dan membuat APBN tidak diatur dalam Undang-undang atau yang setara.
“Berdasarkan UUD 1945 Pasal 23 ayat 1 telah menyatakan bahwa kedudukan dan status APBN adalah UU yang ditetapkan setiap tahun. Kemudian, RAPBN harus diajukan oleh Presiden untuk dibahas dan disetujui oleh DPR sebagaimana ditegaskan Pasal 23 ayat 2 dan ayat 3 UUD RI Tahun 1945,” kata dia.
Kekebalan Hukum
Kedua, Perpu di Pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Perppu ini tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Mencermati terkait dengan Batas Atas Defisit yang tidak ditentukan akan mereduksi prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan keuangan Negara.
Defisit – Kerugian Keuangan Negara
Ketiga Perpu No. 1 Tahun 2020 dalam Pasal 2 menetapkan batasan defisit anggaran yang melampaui 3 persen dari PDB. klausul dalam Perppu itu hanya menyebutkan melampaui 3 persen dari PDB, tetapi tidak menjelaskan batas atas.
“Tidak adanya batas atas dalam penentuan defisit APBN terhadap PDB, berpotensi menjadi tidak terkontrol dan dapat membuat belanja APBN menjadi tidak prudent atau memenuhi unsur kehati-hatian dan membengkaknya utang. Selain itu aturan ini juga beresiko dimasukkan kepentingan-kepentingan belanja lainnya yang tidak tepat dan tidak perlu. Batas atas defisit diperlukan agar adanya kepastian hukum, dan agar risiko keuangan akibat defisit menjadi terukur dan managable,” kata Iwan.
Bail-out dan Beban Pajak bagi Rakyat
Keempat, bahwa skema bail-out selalu berpotensi melahirkan skandal penyimpangan kekuasaan keuangan negara atas penanganan krisis yang telah menimbulkan biaya yang besar dan telah mengingatkan publik atas trauma krisis ekonomi 1997-1998. Penyimpangan tersebut telah membebani negara lebih dari Rp650 triliun ditambah dengan beban bunganya. Beban berat ini kemudian ditanggung oleh rakyat secara keseluruhan melalui beban pajak dan inflasi yang berkelanjutan.
Sementara, segelintir kelompok konglomerat menikmati kebijakan yang tidak adil dari fasilitas BLBI dan Obligasi Rekap dan tetap menjadi penguasa modal paska reformasi sampai sekarang.
“Mereka tetap memiliki privilege menjadi oligarki ekonomi dan modal yang bahkan mempengaruhi lanskap sosial dan politik hari ini, menolak skema bail-out dari keuangan negara atas kerugian perusahaan swasta baik bank, maupun lembaga keuangan,” kata Iwan.
“Demi rakyat dan bangsa kami tetap bersama suara rakyat meneguhkan jalan perubahan dan perbaikan bangsa ini.” tandasnya.
(RedHuge/Lapan6online)