“Penjaminan keberlangsungan hidup rakyat juga malah dikomersilkan dengan menjual jasa-jasa asuransi, seperti asuransi kesehatan, pendidikan, jiwa dan lain sebagainya,”
Oleh: Deti Kutsiya Dewi
Jakarta | Lapan6Online : Tindak korupsi merupakan fenomena yang sering terjadi di negeri tercinta kita Indonesia. Semakin hari bukannya semakin bangkit dalam penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi, faktanya malah hukum semakin bengkok dan pemerintah seakan menutup mata atas semua perbuatan korup yang terjadi.
Hukum bagi para koruptor di Indonesia menganut pada pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yang menyebutkan: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Faktanya para koruptor malah mendapatkan hukuman lebih singkat dari itu, bahkan mendapatkan sel tahanan dengan fasilitas yang mewah dan bisa dengan seenaknya keluar masuk tanpa diberi sanksi. Selain itu, uang yang dikorupsi bisa jadi jauh lebih banyak daripada denda yang diwajibkan oleh negara dalam UU Tipikor tesebut.
Sungguh sangat menguntungkan bukan bagi para koruptor? Hal tersebut merupakan fenomena bagi koruptor yang melakukan praktik sendiri-sendiri, bagaimana dengan praktik korupsi berkelompok? Praktik korupsi berkelompok ini sedang hangat diperbincangkan dan nyata terjadi di salah satu BUMN Indonesia yaitu PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Uang triliunan rupiah yang seharusnya diberikan kepada para polis hilang entah ke mana juntrungannya.
Alih-alih mencari tahu ke mana hilangnya uang negara dan menghukum para koruptor di dalamnya, Komisi VI DPR dan Kementerian BUMN malah bersepakat untuk menyelamatkan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dengan memberikan suntikan modal berupa penyertaan modal negara (PMN) senilai 22 triliun rupiah.
Bagaimana mungkin BUMN yang merugi akibat praktik korupsi di dalamnya malah diberikan suntikan modal? Apalagi modal yang berasal dari negara yang notabene didapatkan dari pajak dan hasil utang negara. Miris memang, ke mana akal sehat para penguasa di negeri ini? Padahal di luar sana masih banyak permasalahan-permasalahan yang lebih urgent dan butuh bantuan, apalagi di masa pandemi sekarang yang sedang mengalami resesi ekonomi.
Dikutip dari Kompas.com, Jumat (2/10/2020), menurut Enny Sri Hartati (Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan bahwa DPR dan pemerintah telah melakukan kejahatan berjamaah karena walaupun tidak menikmati uangnya tapi mereka telah menyetujui penyelesaian dari (kasus) Jiwasraya dengan cara-cara yang tidak beradab. Jika hal ini dibiarkan terus terjadi, praktik-praktik korup di berbagai instansi akan merajalela dikarenakan pemerintah yang melindungi perbuatan mereka.
Seharusnya resesi yang terjadi saat ini menjadi momentum mereformasi sistem ekonomi, bukan malah rezim menghidupkan sektor ribawi dengan menyuntikkan dana yang dikorup elit. Ini adalah bentuk perampokan terhadap dana rakyat. Dengan kata lain, rakyat dirampok, perampok diselamatkan.
Sudahlah merugi uang rakyat dirampok, penyelesaiannya juga menggunakan uang rakyat untuk menutupi kerugian, kalau begini rakyat jadi merugi berkali-kali lipat. Selain kezaliman terhadap hak rakyat, hal ini akan memperburuk kondisi fundamental ekonomi di masa resesi.
Padahal di dalam sistem Islam, kesejahteraan rakyat merupakan hal yang utama dibandingkan dengan kekuasaan dan kekayaan yang merupakan tanggung jawab negara kepada Allah. Bahkan pada masa Khalifah Umar bin Khattab, khalifah yang mendapatkan gelar Amirul Mukminin rela menggotong sekarung gandum untuk diberikan kepada seorang ibu dan anak miskin yang tidak memiliki bahan makanan dan sang ibu terpaksa memasak batu berpura-pura memasak untuk menenangkan anaknya.
Sedangkan zaman sekarang? Banyak rakyat mati kelaparan, kemiskinan merajalela, tapi para penguasa seakan menutp mata. Penjaminan keberlangsungan hidup rakyat juga malah dikomersilkan dengan menjual jasa-jasa asuransi, seperti asuransi kesehatan, pendidikan, jiwa dan lain sebagainya.
Lembaga penjamin keberlangsungan kehidupan ini hanya terjadi dalam negara dengan sistem kapitalis.
Lain halnya dalam sistem Islam, jaminan keberlangsungan hidup rakyat ditanggung oleh negara. Adapun jaminan hari tua ditanggung oleh kerabat dekat atau ahli warisnya, pun bila ia sebatang kara maka jaminannya akan diberikan oleh negara. Kebutuhan dasar berupa sandang, pangan dan papan akan dibantu secara tidak langsung dengan cara menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya. Sedangkan pendidikan, keamanan dan kesehatan akan dijamin secara langsung oleh negara alias gratis.
Dalam segi perekonomian, negara akan mengolah sumber daya alam yang merupakan kepemilikan bersama, seperti tambang dan mengolah kekayaan milik negara seperti kharaj.
Selain itu negara juga memiliki baitul mal yang mengelola keuangan negara berupa zakat yang didapatkan dari rakyat yang memenuhi syarat menjadi muzakki, pajak (jizyah) yang didapatkan dari kafir dzimmi yaitu non-Muslim yang berada dalam naungan khilafah sesuai dengan kesepakatan dan dari hasil usaha yang dilakukan oleh negara lainnya.
Jika hal-hal itu dilakukan maka negara tidak perlu berutang kepada negara lain, mendewakan investor, memungut pajak dalam segala aspek kehidupan seperti yang terjadi saat ini dan mempertahankan lembaga-lembaga keuangan seperti asuransi, bank dan produk-produk derivative lainnya yang dianggap menjadi penjamin keberlangsungan kehidupan dan perekonomian pada zaman kapitalis sekarang. [*]
*Penulis Adalah Alumni PNJ