“Sekarang sudah saatnya bagi mahasiswa (pemuda) untuk menukik pada akar masalah, yaitu menuntut adanya perubahan sistem dan rezim, bukan hanya menuntut perubahan pada rezim,”
Oleh : Maya Amellia Rosfitriani
Jakarta | Lapan6Online : Kepolisian mengganjar pelajar yang ikut berdemo UU Ciptaker dengan mempersulit pembuatan SKCK. Meskipun mendapat kritik dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indoensia (KPAI), tetapi kepolisian justru mengklaim bahwa kebijakannya itu akan ditempuh untuk memberikan “efek jera” kepada para pelajar.
Ini berarti kebijakan kepolisian tidak sejalan dengan apa yang di klaim pemerintah bahwa UU Ciptaker ini dibuat untuk membuka lapangan pekerjaan. Bagaimana tidak, jika belum lulus saja, para pelajar sudah dimatikan peluang mendapatkan pekerjaannya di masa yang akan datang.
“Pemuda hari ini, pemimpin besok hari” – Imam syafi’i.
Mahasiswa adalah agen of change, sebagaimana bisa kita lihat bahwa sejarah Indonesia yang lekat dengan gerakan mahasiswa, seperti yang terjadi pada tahun 1998 sebagai reformasi, yang berakhir dengan lengsernya presiden Soeharto, dikenal sebagai gerakan mahasiswa yang fenomenal. Sedangkan saat ini rezim meloloskan kebijakan yang dzolim berupa UU Cipta Kerja yang sudah disahkan oleh DPR dan membuat mahasiswa kembali turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi, tidak hanya mahasiswa, bahkan para Kpopers pun ikut ambil bagian dalam menolak UU tersebut, dengan membuat tagar di Twitter #OnimbusLawSampah hingga #DPRRIKhianatiRakyat.
“Karena kami warga negara Indonesia. Di balik akun-akun Twitter Korea banyak orang dari berbagai latar belakang. Kami menggunakan platform ini untuk mengedukasi dan berani bersuara,” (Sumber: CNNIndonesia.com, 06/10/2020).
Meskipun tidak sekeras penerapan kebijakan bagi para pelajar yang terlibat demonstrasi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tetap mengeluarkan surat edaran yang menghimbau agar mahasiswa tidak ikut demonstrasi. Hal ini terdapat dalam surat edaran Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud Nomor 1035/E/KM/2020 perihal ‘Imbauan Pembelajaran Secara Daring dan Sosialisasi UU Cipta Kerja’. Sutat ini di teken oleh Dirjen Dikti Kemendikbud Nizam (9/10). Dalam surat edaran ini pihak kampus juga diminta melakukan sosialisasi dan mendorong kajian akademis terkait UU Cipta Kerja, serta meminta dosen mendorong mahasiswa melakukan kegiatan intelektual guna mengkritisi UU Ciptaker. Tujuan dari surat edaran ini adalah agar mahasiswa tidak ikut dalam aksi unjuk rasa penolakan UU Ciptaker, dengan alasan demi menjaga kesehatan mahasiswa di masa pandemi.
Meskipun belum ada sanksi yang jelas bagi mahasiswa yang ikut demonstrasi. Tetapi, ada sejumlah peringatan atau ancaman pencatutan SK BEM secara verbal bagi mahasiswa yang ikut dalam demonstrasti. Koordinator Lapangan Poros Revolusi Mahasiswa Bandung (PRMB) Ilyas Alihusni di depan Gedung DPRD Jabar, Rabu(21/10/2020) mengatakan, peringatan ini telah diratifikasi oleh rektorat. Padahal Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, telah menjelaskam konsep Merdeka Belajar yang diusungnya pada Jumat, 13 Desember 2019 mengungkapkan “Merdeka belajar adalah kemerdekaan berpikir…”.
Paradigma merdeka belajar adalah untuk menghormati perubahan yang harus terjadi agar pembelajaran itu mulai terjadi di berbagai macam sekolah.”
Jika merdeka belajar adalah kemerdekaan berpikir, maka seharusnya mahasiswa bisa untuk merdeka dalam mengkritik kebijakan rezim saat ini. Lalu mengapa sikap kritis mahasiswa saat ini justru dihambat?
Solusi UU Ciptaker bukanlah dengan demonstrasi, karena UU ini produk dari kejahatan sistem kapitalisme. Tidak akan ada hasilnya jika hanya mengkritik produk tanpa mengkritik sistem yang memproduksi. Sistem yang merajakan para kapital dan memperbudak rakyat sendiri, sedangkan penguasa sebagai regulator.
Sekarang sudah saatnya bagi mahasiswa (pemuda) untuk menukik pada akar masalah, yaitu menuntut adanya perubahan sistem dan rezim, bukan hanya menuntut perubahan pada rezim. Sudah semestinya pemuda (mahasiswa) mengambil peran dalam memperjuangkan Islam sebagai agama sekaligus sistem kehidupan. Karena pemuda adalah agen perubahan hakiki.
Potensi mereka harus dikerahkan untuk menyuarakan sesuatu yang benar dan yang salah sesuai dengan syariat Islam. Peran dan potensi mereka tidak akan mencapai tahap optimal apabila masih menggunakan sistem saat ini, karena sejatinya potensi dan peran mereka baru akan optimal jika menerapkan Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah.
Dalam Islam, pengolahan pendidikan tinggi dirancang untuk memberikan manfaat bagi umat, yaitu menjadikan mahasiswa yang memiliki kepribadian Islam dan dapat menguasai berbagai bidang ilmu.
Perubahan yang diusung mahasiswa saat ini tidak akan menghasilkan perubahan yang hakiki, jika tidak dilakukan seperti yang dikehendaki Rasul kita. Rasulullah saw adalah teladan dalam mengusung perubahan hakiki. Bukan hawa nafsu dan kecintaan dunia yang menjadi penuntun langkahnya.
Para pemuda haruslah mengokohkan keimanan bahwa Islam adalah agama sekaligus sistem kehidupan serta merekapun harus terlibat dalam dakwah demi tegaknya syariah dan khilafah. (*)
*Penulis Adalah Mahasiswi Universitas Gunadarma