Siapa Pun Presidennya, Arah Kebijakan Politik AS Tetap Sama

0
62
Ilustrasi/Net
“AS-lah yang berperan besar membuat negeri-negeri Muslim tercerai berai dengan proyek global bernama war on terrorism yang bergeser menjadi perang melawan radikalisme,”

Oleh : Ananiwati

Jakarta | Lapan6Online : Terpilihnya Joe Biden dalam pemilu di Amerika Serikat (AS) menyisakan banyak tanya, terutama terkait langkah politiknya terhadap dunia Islam. Joe Biden melenggang ke Gedung Putih dengan 290 suara elektoral yang diraihnya sejauh ini di pilpres AS. Kemenangan Joe Biden banyak diberitakan oleh media-media ternama AS seperti CNN, NBC News dan CBS News.

Biden yang dipilih oleh lebih dari 74 juta rakyat ini telah berkumpul dengan wapresnya, Kamala Harris, di kota asalnya di Wilmington, Delaware.

Kemenangan Biden ini membuat pengamanan dari paspampres diperketat dan eks Senator Delaware itu akan dilantik pada 20 Januari 2021. Dengan hasil ini Joe Biden menjadi presiden tertua di AS.

Ananiwati/Foto : Istimewa

Eks wapres Barack Obama selama 2 periode itu bakal berusia 78 tahun saat dilantik tahun depan. Kemudian Kamala Harris yang merupakan senator dan mantan jaksa agung California, akan mengukir sejarah sebagai wanita kulit hitam pertama yang duduk di kursi nomor 2 Gedung Putih.

Biden pun berjanji akan berusaha untuk menyatukan negara dan mengerahkan kekuatan kepatutan untuk memerangi pandemi Covid-19, membangun kembali kemakmuran ekonomi, menjamin perawatan kesehatan untuk keluarga Amerika dan membasmi rasisme sistemik. Joe Biden akan mencabut sejumlah kebijakan kontroversial Presiden Donald Trump terkait Palestina dan Timur Tengah.

Biden sesumbar akan lebih memperhatikan umat Islam. Ia berjanji akan mengisi jajaran stafnya dari kaum Muslim. Dalam acara online yang dipandu Emgage Action, Biden memuji Islam dan mengatakan Islam adalah salah satu agama terbaik.

Biden seolah membawa pesan yang lebih menggugah ketimbang Trump. Dalam kampanyenya kala itu, ia bahkan mengutip hadits Nabi SAW tentang melawan kemungkaran.

Ia juga berjanji akan mencabut kebijakan Trump tentang larangan Muslim masuk ke negaranya. Terpilihnya Joe Biden dianggap memberi harapan baru dan diperkirakan akan menyelesaikan konflik Palestina-Israel ke meja perundingan atau jalur diplomatik.

Padahal, kemenangan Biden tidak terlepas dari kontroversi yang kerap ditunjukkan Trump selama menjabat sebagai Presiden AS. Trump lebih frontal, sarkas dan cenderung blak-blakan.

Biden ingin menampilkan kembali wajah AS yang tenang dan stabil, bukan meledak-ledak sebagaimana yang dilakukan Trump selama ini. Warga AS pun berujar, “Siapa pun dia, asal bukan Trump.”

Kebijakan Trump sejauh ini secara terang-terangan tidak memihak kepada umat Islam. Ia bahkan dengan lantang mendukung penuh kebijakan Israel. Saat Israel mengakuisisi wilayah Tepi Barat, Trump diam.

Terhadap isu umat Islam, Trump bungkam. Biden datang seakan memberi harapan baru bagi nasib umat Islam dengan tampilan kalem dan lebih merangkul. Mencermati respons umat Islam terhadap Biden, tampaknya umat kembali terlena dengan kampanye dan janji islami Biden. Seolah lupa siapa AS dan bagaimana politik luar negeri mereka.

Hingga saat ini, dominasi AS sebagai polisi dunia belum tergantikan. Juru atur dunia ini meski berganti wajah presidennya, mereka tetap berada pada jalur kapitalis sekuler yang menjadi ideologinya. Jadi, secara umum tidak akan ada perubahan yang mendasar siapa pun yang terpilih.

Amerika tetaplah Amerika yang bermain di panggung yang sama yakni kapitalisme global, siapapun pemainnya. Siapapun presidennya, arah kebijakan politik AS tetap sama.

Umat mestinya menyadari kemenangan Biden-Harris tidaklah sesederhana itu. Alasannya yakni: Pertama, Biden adalah pemimpin produk demokrasi.

Kampanye manis yang dilakukan Biden tak lebih hanya untuk mendobrak elektabilitasnya sebagai calon presiden yang membawa misi berbeda dari Trump. Pencitraan adalah hal yang wajib dilakukan bagi kontestan pemilu demokrasi. Tujuannya, agar pemilih terpikat dan memberi dukungan suara untuknya.

Biden membawa style yang lebih soft dibandingkan Trump yang keras. Terpilihnya Kamala Harris, peranakan India, bertujuan menggaet suara dari kalangan minoritas yang banyak dihuni kaum berkulit hitam.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa membangun citra positif adalah bagian terpenting kampanye ala demokrasi. Itulah yang sedang dilakukan Biden saat ini. Menciptakan citra positif bagi dunia dengan merangkul umat, antirasis dan pembawaannya tenang. Semua ini hanya tentang citra dan janji manis semata.

Kedua, siapa pun presidennya, wajah AS tetap sama. Jangan lupa! AS adalah negara pengemban ideologi kapitalisme. Ideologi ini disebarkan ke negeri-negeri Muslim demi menjalankan misi politik luar negerinya. Imperialisme sebagai metode khas bagi ideologi kapitalisme adalah jati diri AS yang sesungguhnya.

Ketiga, AS bukanlah negara emersatu, namun ia sumber konflik. Lebih tepatnya, AS-lah yang berperan besar membuat negeri-negeri Muslim tercerai berai dengan proyek global bernama war on terrorism yang bergeser menjadi perang melawan radikalisme. Akidah sekularisme yang diusung AS juga mengubah wajah kehidupan kaum Muslim terpuruk. Rusak dalam segala sendi kehidupan.

Paham liberalisme Barat juga memorakporandakan pemahaman kaum Muslim terhadap Islam. Jadi, bila Biden menyatakan akan mempersatukan semua golongan, itu hanyalah pemanis. Mungkin lebih tepatnya ia akan menjadi pemersatu kepentingan AS atas negara lainnya.

Jangan terlewat pula bagaimana potret peradaban kapitalis sekuler di AS. Di balik nama kebesarannya, AS menimbun banyak masalah internal di negaranya. Seperti kemiskinan, meningkatnya kriminalitas, kebebasan tanpa batas, kekerasan seksual, rasisme, hingga utang negara.

Meski memiliki power sebagai negara besar, AS memiliki utang terbanyak di dunia. Jumlah utang negara di masa Donald Trump saja mencapai US$ 21 miliar atau hampir setara dengan Rp 300 ribu triliun pada tahun 2018. Dari total utang negara-negara di dunia yang mencapai US$ 63 triliun, kurang lebih 31 persennya merupakan utang AS.

Biden bukanlah harapan baru bagi umat Islam. Obama, Trump, atau Biden hanyalah pion dalam menjalankan kebijakan politik luar negeri AS yang bersandar pada ideologi kapitalisme mereka. Lantas, bagaimana harapan baru bagi umat Islam sendiri?

Menggantungkan harapan Islam kepada AS dan Barat sama halnya memberi angin segar bagi negara imperialis tersebut untuk memainkan peran dan kepentingan mereka. Umat tidak boleh teperdaya janji manis mereka. Harapan baru itu hanya ada pada Islam dan khilafah.

Hanya khilafah yang mampu menandingi kekuatan AS sebagai negara adidaya dan mempersatukan kekuatan kaum Muslim dunia dan mampu membebaskan negeri Muslim dari penjajahan AS dan sekutunya. Penegakan khilafah adalah agenda masa depan bagi umat Islam.

Apa yang dituntut dari seorang Muslim terhadap negara Amerika sebagai negara kafir kolonial adalah terus melakukan perjuangan melawan penjajahannya dalam segala bentuknya, pemikiran, politik, ekonomi dan militer serta mengungkap semua rencananya, membongkar setiap persekongkolannya untuk menyelamatkan, membebaskan umat dari dominasinya, serta membersihkan apapun bentuk pengaruhnya. [*]

*Penulis Adalah Aktivis Dakwah di Kota Depok

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini