“Hal ini juga menunjukkan kebobrokan sistem demokrasi kapitalis yang selamanya tidak akan berpihak pada syariat Allah, karena selalu disetir oleh korporat yang punya andil besar soal kursi kekuasaan,”
Oleh : Deti Kutsiya Dewi
Jakarta | Lapan6Online : Rancangan undang-undang larangan minuman beralkohol (RUU Minol) kembali diperbincangkan dan diusung untuk segera dilegalkan pada 2020. RUU Minol sebenarnya sempat dibahas pada 2015, namun tertunda hingga lima tahun lamanya karena adanya perbedaan pendapat antara pemerintah dan DPR.
Kini anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) kembali mengajukan RUU Minol. Mereka mengusung RUU Minol tersebut dengan dalih untuk mentaati agama dan menjaga ketertiban negara karena tingkat kriminalitas yang semakin meningkat di Indonesia yang diakibatkan oleh hilangnya akal sehat dan kesadaran akibat mengonsumsi minol.
Dikutip dari BBC.com, Jumat (13/11/2020) Illiza Sa’aduddin Djamal, salah satu pengusung RUU Minol yang merupakan anggota PPP mengatakan, “Minuman beralkohol bisa merusak kesehatan dan berakibat fatal terhadap hilangnya akal dan sebagainya. Dalam kondisi mabuk… kan banyak kasus pemerkosaan dan kematian akibat kecelakaan lalu lintas dan kasus-kasus lainnya yang berakibat fatal. Yang kita inginkan adalah melindungi masyarakat dari dampak negatif minuman keras tersebut, jadi biar lebih tertib, dan ada ketenteraman.”
Di dalam RUU Minol pasal 1 dijelaskan bahwa yang dimaksud minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung etanol yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi. Dalam RUU Minol ini juga menegaskan bahwa akan ada sanksi pidana bagi orang yang memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan dan menjual minol. Pada pasal 18 Bab VI Ketentuan Pidana RUU Minol menyatakan bahwa orang yang memproduksi minol bisa dipenjara maksimal 10 tahun atau denda maksimal Rp1 miliar.
Namun, pasal 8 angka (2) Bab III disebutkan bahwa larangan yang diatur tersebut tidak berlaku untuk kepentingan terbatas, yaitu kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai kepentingan terbatas ini diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pengusungan RUU Minol pada 2020 ini kembali menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Salah satunya Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonnesia (PGI) Gomar Gultom angkat suara dan mengatakan bahwa, dengan adanya RUU Minol akan membuat kemunduran beberapa langkah ke belakang bagi Indonesia, karena negara lain saja seperti Uni Emirat Arab mulai membebaskan minuman beralkohol untuk dikonsumsi bebas di masyarakat.
Menurutnya dibandingkan memberi larangan, lebih baik diadakan pengendalian, pengaturan dan pengawasan yang ketat dan harus diikuti oleh penegakan hukum secara konsisten.
Selain itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Minuman Beralkohol Indonesia (APBMI), Stefanus juga mengemukakan kekhawatirannya apabila RUU Minol ini sampai lolos maka sama saja membunuh pariwisata Indonesia.
Berdasarkan informasi dari Kementerian Keuangan minuman beralkohol menyumbangkan sekitar Rp7,3 triliun pada penerimaan cukai 2019, sementara tahun lalu DKI Jakarta memiliki saham perusahaan produsen bir, PT Delta Djakarta dan mendapatkan lebih dari Rp100 miliar dari deviden perusahaan tersebut.
Di sisi lain peneliti lembaga the Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Felippa Amanta juga mempertanyakan urgensi DPR membahas RUU tersebut.
Berdasarkan data dari WHO, Felippa mengatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang konsumsi alkohol paling sedikit di dunia. Ia juga menjelaskan bahwa sebagian besar konsumsi alkohol di Indonesia itu tidak tercatat atau tidak legal. Sehingga ia berpendapat alih-alih melarang, pemerintah lebih baik mengatur dan mengawasi distribusi minuman keras.
Pro dan kontra yang terjadi mengenai RUU Minol ini membuktikan bahwa pelarangan minol secara tegas di negeri ini mustahil untuk dilakukan. Bahkan salah satu kontra tersebut datang dari dalam pemerintahan negara sendiri yang mengkhawatirkan hilangnya sumbangsih yang dihasilkan dari penjualan minol di Indonesia.
Miris memang, ke mana akal sehat para penguasa di negeri ini? Padahal jelas-jelas Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya bergama Islam dan paham betul bahwa mengonsumsi minol yang sifatnya memabukkan hukumnya haram.
Selain itu dampak dari konsumsi minol juga tidak baik, seperti timbulnya kekerasan, pelecehan seksual, kecelakaan lalu lintas dan masih banyak lagi.
Namun apa yang terjadi? Pemerintah malah mengabaikan fakta tersebut dan mencoba menutup mata dan telinga hanya karena mendapatkan banyak keuntungan dari jual beli minol tersebut. RUU Minol pun sebenarnya tidak sepenuhnya sesuai syariat Allah bila alasannya untuk mentaati agama, karena di dalamnya masih diberikan pengecualian-pengecualian yang mana pengecualian tersebut dibuat tentu untuk tetap meraup keuntungan.
Apakah mungkin pembahasan RUU Minol oleh DPR hanya untuk mengambil simpati masyarakat yang mayoritas Muslim untuk mendapatkan suara menjelang pemilu?
Inilah gambaran sistem demokrasi kapitalis yang merajalela di negeri ini, ketika ada permintaan, memberikan keuntungan dan dapat membantu negara maka dipertahankan meskipun haram hukumnya. Hal ini juga menunjukkan kebobrokan sistem demokrasi kapitalis yang selamanya tidak akan berpihak pada syariat Allah, karena selalu disetir oleh korporat yang punya andil besar soal kursi kekuasaan.
Maka, pelarangan minol dalam sistem demokrasi, mustahil!
Lain halnya bila negara menggunakan sistem pemerintahan Islam (khilafah) dengan dasar hukum yang digunakan adalah halal dan haram berdasarkan syariat Allah dan bukan berdasarkan keuntungan. Pemimpin (khalifah) akan berperan sebagai perisai dan melindungi masyarakat dari musuh dengan kekuasaanya.
Khalifah akan melindungi rakyatnya dari hal-hal yang membahayakan, salah satunya adalah minol (khamr).
Tentunya khalifah tidak perlu menunggu persetujuan dari siapa pun untuk menjalankan larangan soal minol.
Karena di dalam Islam cairan memabukkan baik sedikit atau banyak hukumnya adalah haram. Seperti firman Allah SWT dalam Qur’an Surah Al-Maidah ayat 90 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, sungguh (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah semua itu agar kalian beruntung.”
Dalam firman tersebut, Allah SWT telah tegas mengatakan bahwa meminum khamr itu adalah perbuatan setan dan kita diperintahkan untuk menjauhinya.
Dalam hadits riwayat at-Tirmidzi dan Ibn Majah dikatakan bahwa Rasulullah SAW telah melaknat dalam hal khamr sepuluh pihak, yaitu pemerasnya, yang minta diperaskan, peminumnya, pembawanya, yang minta dibawakan, penuangnya, penjualnya, pemakan harganya, pembelinya, dan yang minta dibelikan. Dan bagi yang melanggarnya tentu diberikan sanksi, Rasulullah SAW pernah mencambuk peminum khamr dengan pelepah kurma dan terompah sebanyak empat puluh kali (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi dan Abu Dawud)
Selain sanksi bagi peminum khamr, sanksi lainnya bagi yang masuk dalam kategori yang telah Rasul laknat tentu diberikan sanksi berupa ta’zir dan sang pemimpin lah yang menentukan sanksinya, tentunya sanksi yang diberikan harus sesuai syariat Islam dan memberikan efek jera.
Bahkan bagi produsen dan pengedarnya akan diberikan sanksi yang lebih berat dibandingkan peminumnya.
Begitulah perbedaan nyata antara larangan yang berkaitan dengan minol antara sistem demokrasi kapitalis dengan sistem Islam. Jika masih saja terkurung dalam sistem demokrasi kapitalis, tentunya kita tidak akan pernah bisa terbebas dari peredaran minol dan hanya dengan sistem Islamlah larangan minol atau khamr dapat dilaksanakan secara tegas dan produksinya dapat dibasmi secara tuntas, karena syariat Allah adalah sebaik-baik aturan. [*]
*Penulis Adalah Alumni PNJ