“Bahwa hampir 70% tindak kekerasan yang terjadi akibat mabuk minol. Kejahatan ini hanya di satu tempat saja, sedangkan di tempat lain bisa jadi lebih parah lagi,”
Oleh : Maya Amellia Rosfitriani
Jakarta | Lapan6Online : Akhir-akhir ini Indonesia sedang dihebohkan kembali dengan pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU), sebelumnya dengan RUU Onimbus Law dan RUU PKS. Dan kini kembali dihebohkan lagi dengan RUU Larangan Minuman Beralkohol (RUU Larangan Minol) yang tengah digodok di DPR.
Banyak pihak yang mempertanyakan urgensi dari RUU tersebut. Terlebih menurut WHO Indonesia termasuk negara dengan tingkat konsumsi alkohol yang rendah dan sejumlah riset mengatakan tidak ada hubungannya minuman berakohol ini dengan tindak kejahatan. Meskipun sejumlah riset ilmiah tersebut tidak menyatakan adanya hubungan dengan tindak kejahatan, tetapi banyak tindak kejahatan bermula dari kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol.
Sebagaimana dikutip Jawapos.com (14/11/20), Karo Penmas Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol Awi Setiyono, mengatakan selama 3 tahun terakhir 2018-2020 tercatat 223 kasus kejahatan yang dimulai dari minuman beralkohol. Kasus pengadaan minol oplosan pun mencapai 1.045 dalam kurun 3 tahun kasus kejahatan akibat minol sudah lama terjadi di Indonesia.
Pada 2011, menurut Kepala Bidang Humas Polda Sulut Ajun Komisaris Besar Benny Bela di Sulawesi Utara, Manado, mengatakan bahwa hampir 70% tindak kekerasan yang terjadi akibat mabuk minol. Kejahatan ini hanya di satu tempat saja, sedangkan di tempat lain bisa jadi lebih parah lagi.
Akan tetapi, beberapa fraksi di DPR seperti Golkar dan PDI-P mengisyaratkan akan menolak RUU Laranagn Minol ini. Seperti yang dilansir Tempo.co (13/11/20), Ketua Kelompok Fraksi Golkar di Baleg, Firman Soebagyo, mengatakan bahwa RUU Larangan Minol ini telah dibahas sejak periode 2014-2019.
Namun pembahasannya mentok lantaran adanya perbedaan pendapat DPR dan Pemerintah. Dan ia juga mengingatkan ada persoalan keberagaman yang perlu diperhatikan.
Padahal poin penting dalam draf RUU Larangan Minol adalah larangan bagi siapa pun untuk memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan dan/atau menjual serta mengonsumsi minuman beralkohol.
Namun, ketentuan ini tidak berlaku untuk kepentingan tertentu seperti untuk kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan.
Bagi para pengusaha pariwisata, minuman beralkohol adalah pelengkap hiburan yang memikat para wisatawan mancanegara yang sedang melancong ke Indonesia. Dan bagi pemerintah, pajak dari minol adalah salah satu sumber pajak yang paling menjanjikan.
Begitu pun bagi para investor, perusahaan minol menghasilkan deviden yang cukup tinggi. Seperti yang terjadi di tahun lalu, DKI Jakarta memiliki saham perusahaan produsen bir, PT Delta Djakarta, mendapatkan lebih dari Rp 100 Miliar dari deviden perusahaan itu.
Disebutkan juga dalam draf RUU Larangan Minol bertujuan untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh minuman beralkohol; menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minuman beralkohol; serta menciptakan ketertiban dan ketenteraman di masyarakat dari gangguan yang ditimbulkan oleh peminum minuman beralkohol.
Dalam sistem demokrasi seperti ini, RUU Larangan minol dapat dipastikan, apabila disahkan, akan berubah menjadi UU Minol, yang mana tidak lagi berisi larangan mengonsumsi, memproduksi atau mengedarkan, akan tetapi hanya sebatas pengaturan atau regulasi bagi siapa yang boleh mengonsumsi, siapa yang boleh memproduksi, hingga siapa yang boleh mengedarkan minuman beralkohol.
Seperti inilah sistem demokrasi, hanya mementingkan kepentingan penguasa serta pengusaha, kemenangan diraih dengan melihat suara terbanyak tanpa memikirkan dampak buruk yang terjadi, apalagi memikiran bagaimana Islam mengatur minuman beralkohol. Karena memang demokrasi adalah sistem yang meletakkan kedaulatan dalam membuat peraturan ataupun keputusan di tangan manusia. Sementara akal manusia bersifat terbatas dan lemah, serta tidak akan mampu menyelesaikan masalah kecuali dengan jalan kompromi atau mementingkan kepentingan sendiri.
Islam sangat jelas mengharamkan minol. Maka, dalam Islam, yakni sistem khilafah, kedaulatan berada di tangan Allah SWT, bukan manusia. Segala aspek kehidupan diambil dari syariat Islam, termasuk hukum atas minuman beralkohol.
Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat, maka tidakkah kamu mau berhenti?” (QS Al Maidah: 90-91)
Ketika Allah mengharamkan minuman keras yang mengandung alkohol jelas merusak akal dan menyampaikan mudaratnya, ini menandakan bahwa Allah sudah menentukan yang terbaik bagi manusia. Maka sebagai seorang Mukmin, haruslah menaati perintah Allah demi mendapatkan ridha serta mahabbah Allah SWT.
Sedangkan bagi umat non-Muslim, mereka harus melakukan perjanjian dengan khalifah untuk tunduk dengan sistem khilafah. Jika syariat mereka tidak melarang minol atau dalam ritual keagamaan mereka mengharuskan penggunaan minol maka harus dilakukan di tempat yang privat.
Bahkan jika dalam dalam perjanjian mereka dengan khalifah, mereka mengatakan bahwa tidak menyebarkan bau khamr dan tidak akan mabuk, maka ketika mereka keluar rumah dan dari mereka tercium bau khamr, mereka akan ditindak tegas oleh khalifah dengan had (hukuman yang sudah ditentukan jenis hukumannya dalam syariat).
Pelarangan minuman beralkohol hanya bisa diterapkan apabila sistem negara ini menerapkan hukum syara secara kaffah, di bawah naungan khilafah. Karena dalam sistem khilafah akan melarang bisnis minol dan bisnis-bisnis haram lainnya yang memungkinkan tersedianya minol, yang nantinya akan menciptakan masyarakat yang anti maksiat. [*]
*Penulis Adalah Mahasiswi Gunadarma