“Adanya pemahaman bahwa Papua tidak memiliki sejarah dengan NKRI, menjadi poin-poin utama lahirnya kelompok separatisme di Papua, sebut saja OPM,”
Oleh : Resti Meitania
Jakarta | Lapan6Online : Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat yang di sampaikan oleh Benny Wenda selaku ketua ULMWP (persatuan gerakan pembebasan papua barat) melalui akun twitternya pada 1 desember 2020 lalu, banyak menuai kritik dari berbagai pihak.
Kelompok separatisme di wilayah Papua memang sudah lama menanti kemerdekaan agar bisa lepas dari negara kesatuan indonesia. Rasa ketidakadilan dan kesejahteraan yang minim, serta adanya pemahaman bahwa Papua tidak memiliki sejarah dengan NKRI, menjadi poin-poin utama lahirnya kelompok separatisme di Papua, sebut saja OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Sejak OPM lahir sekitar tahun 1965 hingga hari ini, berulang kali terjadi konflik dalam wilayah Papua dan berkali-kali pula mereka berupaya melepaskan diri dari Indonesia.
Puncaknya adalah deklarasi kemerdekaan papua yang disampaikan oleh Benny Wenda beberapa waktu lalu. Hal tersebut dengan mudah dilakukan dan ini menunjukkan adanya kelalaian dari sikap dan kebijakan pemerintah selama ini dalam menangani para kaum separatis di Papua.
Di sisi lain, deklarasi yang terjadi baru-baru ini memang mendapat banyak kritik juga pro-kontra dalam tubuh Papua sendiri. Namun, yang mesti kita cermati adalah terkait eksistensi gerakan-gerakan separatisme di Papua.
Berpuluh tahun mereka berhasil menduduki dan berpengaruh di wilayah Papua, bahkan lebih dari 5 kali rezim berganti, mereka juga masih bertahan. Gerakan mereka dalam upaya memerdekakan Papua-pun bukanlah main-main.
Terbukti dari betapa sistematis dan seringnya mereka mencoba melakukan berbagai upaya diplomasi dengan negara-negara lain.
Seolah dibiarkan oleh pemerintah Indonesia, mereka terkesan bebas melenggang. Program dan dana otsus yang pemerintah gulirkan dalam rangka upaya untuk meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Papua-pun belum menampakkan hasil nyata.
Justru program ini juga memicu banyak unjuk rasa penolakan di wilayah Papua itu sendiri. Alhasil sampai detik ini, Papua belum bisa mencicipi nilai kesejahteraan yang layak dan sesuai dengan standar di negeri ini. Tak cukup hanya itu, kini status papua sebagai wilayah termiskin di Indonesia pun masih bertahan.
Seolah dikesampingkan, maka wajar saja, jika sebagian besar masyarakat Papua lebih memilih utk berpisah dari NKRI, agar dapat menata kesejahteraan dan pembangunannya sendiri.
Namun, hal tersebut justru lebih banyak direspon oleh negara-negara lain, ketimbang oleh negerinya sendiri, Indonesia. Seolah cuek dan tidak peduli akan upaya pemisahan Papua dari NKRI. Bahkan kelompok separatisnya pun hanya “dijuluki” KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata), padahal mereka jelas-jelas membuat makar besar di negara ini.
Di luar daripada kesenjangan sosial dalam negeri dan sanksi tegas yang mesti dilakukan oleh pemerintah, mereka juga mesti memperhatikan pengaruh dari luar penyebab tingginya eksistensi kelompok separatis di negeri ini.
Indonesia sudah semestinya melindungi semua wilayah dari intervensi asing dan pengaruh-pengaruh dari luar negara. Khususnya dalam hal ini Papua.
Karena upaya memisahkan Papua dari NKRI bukanlah solusi. Papua harus bangkit dalam belaian ibu pertiwi. Gejolak separatis yang berpuluh-puluh tahun terjadi, bukanlah sekedar akibat dari sikap acuh pemerintah akan kondisi kesejahteraan di sana. Melainkan karena Indonesia berada dalam cengkeraman sistem kapitalis-sekuler yang mementingkan urusan para pemilik modal dan tuan-tuan mereka saja.
Sehingga ketidakadilan akan terasa menonjol di kalangan masyarakat menengah ke bawah. Kesejahteraan dan pembangunan suatu negara pun tidak akan merata.
Segala bentuk anggaran yang dikucurkan pun akan mengalir ke dalam kantong-kantong yang haus akan kekuasaan.
Inilah yang mengakibatkan munculnya gerakan-gerakan separatis yang ingin memisahkan wilayahnya dengan pemerintahan yang sedang berjalan.
Padahal, dalam sejarah peradaban manusia, 13 abad lalu, islam mengabadikan kekuatan dari persatuan wilayah-wilayah dalam satu naungan. Dalam islam, persatuan itu adalah wajib. Bahkan ada sanksi berat bagi siapa saja yang membuat makar, salah satunya memisahkan wilayah dari negara.
Siapapun yang membuat makar, maka islam memerintahkan untuk memeranginya. Walaupun dalam hal ini bukan perang untuk menumpahkan darah, melainkan untuk memberi pelajaran saja.
Sebegitu pentingnya persatuan, bahkan permasalahan ini termasuk kedalam qadhiyyah mashiriyyah (permasalahan yang mesti diselesaikan dengan pertaruhan hidup atau mati).
Begitu pula dengan kesejahteraan pada setiap wilayah. Sistem islam, melakukan sistem ekonomi negara yang terpusat. Membuat penyebaran anggaran merata dan terarah. Karena yang paling utama adalah kesadaran dari para pemimpinnya bahwasanya setiap kebijakan mereka akan dimintai pertanggungjawaban kelak diakhirat.
Tak ada wilayah yang berupaya memisahkan diri dari daulah (negara islam) karena semua kebutuhan sandang, pangan, papan dan segala bentuk pembangunan terpenuhi dengan penuh amanah.
Inilah yang bisa dirasakan oleh papua. Jika saja, kebijakan para penguasa negeri, hari ini bersandar pada aturan islam. Tidak ada kesenjangan sosial, tidak ada minimnya kesejahteraan, bahkan tidak akan lahir benih-benih separatisme. Sebagaimana islam berhasil menyatukan 2/3 dunia selama 13 abad lamanya. Papua, yakinlah harapan itu masih ada.
Sumber referensi :
https://m.cnnindonesia.com/nasional/20200925202116-32-551153/19-tahun-dana-otsus-yang-tak-mampir-di-hati-warga-papua
https://www.google.com/amp/s/amp.suara.com/news/2020/12/02/115830/tolak-deklarasi-ulmwp-opm-benny-wenda-adalah-warga-inggris-bukan-papua
http://m.voa-islam.com/news/citizens-jurnalism/2019/03/12/62529/separatis-opm-dan-cara-islam-menanganinya/
https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/janette44939/5bffca286ddcae1cce658344/alasan-serta-tindak-lanjut-terhadap-berdirinya-opm
(GF/RIN)