Larangan Pernikahan Anak dan Dispensasi Nikah Bukanlah Solusi yang Tepat

0
27
Ilustrasi Larangan Pernikahan Anak/Foto : Net

OPINI

“Revisi dari UU perkawinan anak memperketat batas usia minimal anak boleh menikah bukanlah solusi karena isu ini hanya untuk legitimasi kebijakan yang sekuler karena dalam waktu yang sama pemerintah membuka celah pergaulan bebas,”

Oleh : Rahmadani

BELAKANGAN aktivis perempuan mengkritisi meningkatnya angka pernikahan dini di Indonesia bahkan menduduki peringkat dua di ASEAN. Menurut data Badan Pusat Statistik, perkawinan anak berusia 17 tahun ke bawah paling tinggi ditemukan di Kalimantan Selatan, yakni sebesar 27,82 persen.

Tak ayal, pembahasan persoalan ini gencar diketengahkan di berbagai segmen, tidak terkecuali dari sisi hukum dan konstitusional. Dari jalur legislatif, spirit pernikahan anak di bawah umur tergambar dengan dinaikkannya batas usia menikah dalam Undang-Undang (UU) Perkawinan dari 16 tahun untuk anak perempuan menjadi 19 tahun, sama dengan batas usia menikah bagi anak laki-laki.

Badan Legislasi (Baleg) DPR telah menyetujui ditetapkannya batas minimal usia perkawinan bagi perempuan dan laki-laki menjadi 19 tahun. Keputusan ini disepakati dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) Baleg DPR bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Kementerian Agama (Kemag), Kementerian Kesehatan (Kemkes) dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumham) terkait penyempurnaan UU Perkawinan di Jakarta, Mahkamah Agung juga dengan responsif mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 5 Tahun 2019 sebagai pedoman dalam mengadili permohonan dispensasi nikah.

Sebelumnya, batas usia khusus perempuan di dalam UU Perkawinan ini terlalu muda, sehingga masyarakat yang tergabung dalam Koalisi 18+ dan Kementerian Sebelumnya, batas usia khusus perempuan di dalam UU Perkawinan ini terlalu muda, sehingga masyarakat yang tergabung dalam Koalisi 18+ dan Kementerian PPPA mengajukan judicial review dengan gugatan menaikkan batas usia ini.

Aktivis sekuler menganggap menghentikan perkawinan anak harus sampai ke akar persoalan, yaitu pemahaman tafsir agama, adat dan masalah struktural seperti kemiskinan. Pemerintah perlu bekerja lebih keras lagi menghentikan perkawinan anak.

Kampanye anti pernikahan anak sudah sejak lama dikampanyekan yang sejalan dengan agenda global PBB hak anak harus dijaga. Karena pernikahan dini dianggap mendiskriminasikan perempuan dan berbahaya bagi kesehatan reproduksi. Akibat tidak adanya kesiapan mental yang dianggap telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

Umat semestinya mewaspadai terus bergulirnya isu sejenis untuk melegitimasi kebijakan yang lebih sekuler yang terbukti malah menimbulkan beragam persoalan baru. Permasalahan utama bukan pada usia pernikahan. Revisi dari UU perkawinan anak memperketat batas usia minimal anak boleh menikah bukanlah solusi karena isu ini hanya untuk legitimasi kebijakan yang sekuler karena dalam waktu yang sama pemerintah membuka celah pergaulan bebas.

Pergaulan bebas ini yang sebenarnya akar dari perzinaan, penyegeraan nikah. Terjadinya perselingkuhan yang membuat keharmonisan rumah tangga menjadi rusak.

Bukanlah jadi solusi yang benar jika hal ini dibiarkan terus menerus karena malah menambah persoalan baru. Kampanye global anti pernikahan anak yang dibenarkan maka sama dengan menyatakan hukum Allah tidak relevan dengan zaman.

Larangan atas pernikahan anak dan dispensasi nikah bukanlah solusi yang tepat. Pemberlakuan sistem pendidikan Islam agar generasi dapat mempersiapkan diri memasuki gerbang keluarga dan pengajaran sistem pergaulan Islam dapat mencegah pergaula bebas remaja.

Hal ini menjadi bukti syariat Islam menjadi satu-satunya rujukan dalam menerapkan hukum termasuk dalam hal pernikahan karena usia bukan problem dalam pernikahan tetapi peran orang tua menyiapkan lingkungan juga mendukung bahkan negara dengan sistemnya juga siap.

Dalam sistem Islam perhatian besar pada sistem pendidikan yang menerapkan kurikulum Islam sejak dini. Kurikulum Islam akan menghasilkan output yang siap menjalankan hukum syariat dan menanggung amanah besar menjadi orang tua, menjadi pemimpin bagi masyarakat hingga menyebarkan risalah Islam nan agung.

Aturan Islam secara otomatis dapat menyetop pergaulan bebas. Pemberlakuan sistem Islam oleh negara akan menciptakan masyarakat yang memiliki kepedulian dalam hal menjaga perilaku seluruh masyarakat yang senantiasa mulia dan bermartabat, jauh dari perilaku merusak. Kewajiban lain negara dalam hal menciptakan media yang jauh dari konten-konten yang dapat merusak akidah dan akhlak masyarakat.

Negara menetapkan sanksi yang tegas bagi pelanggar ketentuan syariat pelaku maksiat dan menjerakan bagi pelakunya sebab sistem saksi Islam bersifat sebagai pencegah dan penebus. Sanksi dalam Islam dapat menebus sanksi akhirat. Kasus zina akan dikenakan sanski rajam, dicambuk sampai diasingkan. Seluruh hal tersebut dapat tercipta dan terealisasikan jika syariat Islam diterapkan. [*]

*Penulis Adalah Mahasiswi Universitas Indonesia

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini