OPINI | POLITIK
“Jika Metaverse ini benar-benar terealisasi maka akan berpotensi mengubah bagaimana cara kita bersosialisasi, bekerja, berbisnis, dan bahkan cara manusia memandang kehidupan termasuk manuver kapitalisme bekerja,”
Oleh : Rahmah Khairani, S.Pd
Apa itu Metaverse?
Metaverse jadi isu perbincangan setelah Facebook mengumumkan perubahan nama menjadi Meta. Isu ini cukup menarik perhatian setelah Mark Zuckerberg sang punggawa Facebook bersama timnya mengumumkan akan menggelontorkan dana sebesar 10 milliar US dollar atau setara dengan 140 T untuk membangun metaverse di tahun ini.
Matthew Ball seorang penulis metaverse primer menulis bahwa “Metaverse adalah jaringan luas dari media virtual tiga dimensi yang bekerja secara real-time dan persisten, serta mendukung kesinambungan identitas, objek, sejarah, pembayaran, dan hak yang mana dunia itu dialami secara serempak oleh jumlah pengguna yang tidak terbatas.”
Sedangkan Facebook mendefinisikan metaverse sebagai “Seperangkat ruang virtual yang dapat anda ciptakan dan jelajahi dengan orang lain yang tidak berada di ruang fisik yang sama dengan anda.”
Digadang-gadang para pengamat jika Metaverse ini benar-benar terealisasi maka akan berpotensi mengubah bagaimana cara kita bersosialisasi, bekerja, berbisnis, dan bahkan cara manusia memandang kehidupan termasuk manuver kapitalisme bekerja. Bagi para pelaku bisnis metaverse adalah tanah garapan baru yang kaya potensi untuk dikeruk.
Metaverse dianalogikan mirip sebuah games dimana kita menciptakan avatar diri kita sendiri untuk berinteraksi dengan pemain lain di dunia virtual tersebut tanpa batas. Bedanya jika games dimainkan dengan menatap layar gadget, metaverse dimainkan dengan perangkat Virtual Reality (VR) sehingga membawa pemain benar-benar merasakan ada di dunia virtual tersebut seakan nyata.
Secara penglihatan metaverse juga memiliki tampilan 3 dimensi yang sangat mirip dengan dunia nyata. Lebih jauh lagi, metaverse dianalogikan seperti sebuah planet tak berpenghuni yang baru ditemukan dengan kekayaan potensi keuntungan yang dilihat dari kacamata bisnis maupun industri digital kreatif. Maka, wajar dari awal ditemukan, metaverse sudah mengundang persaingan antar perusahaan-perusahaan raksasa yang berusaha meletakkan dominasinya di awal karena bargaining position ini akan menentukan siapa yang akan meraup untung lebih banyak layaknya peletak dasar (pondasi) bagi bangunan seperti Facebook yang selalu lebih unggul dari platform lainnya.
Di metaverse perusahaan pengembang dapat membangun berbagai fasilitas umum seperti mall, perkantoran, tempat rekreasi, sekolah dan sebagainya. Bahkan kita bisa menjual lapak-lapak tanah, rumah, apartemen, dan ruang perkantoran. Beragam teknologi mutakhir dipakai demi mengundang sebanyak-banyaknya orang untuk mau tinggal di dunia tersebut. Hanya saja semua fasilitas ini tidak nyata alias hanya virtual saja yang bisa diakses dengan perangkat VR.
Ekonomi Metaverse
Facebook begitu bernafsu menggarap bisnis di metaverse sebab peluang maraup keuntungan besar terbuka di depan mata. Pertanyaannya bagaimanakah ekonomi metaverse berputar? Kita bisa membayangkan metaverse seperti sebuah games virtual dengan avatar-avatar plyaer yang harus mengentaskan misi berhadiah poin.
Poin-poin ini dapat ditukarkan dengan “nyawa” untuk menternakkan avatar-avatar player. Semakin sering menang, maka semakin banyak peluang untuk berternak player yang dapat dijual ke pemain lain, disewakan ke pemain baru, atau diberikan ke pemain yang tidak punya modal dengan konsep memperkerjakan orang untuk bermain games tersebut yang menghasilkan keuntungan berbasis bagi hasil.
Membeli sebidang tanah atau papan billboard dengan uang kripto di metaverse juga akan menjanjikan keuntungan dari potensi penyewaannya untuk kepentingan bisnis oleh para kapitalis. Begitu pun dengan adanya mall, perkantoran, dan pasar, semua dapat menjadi lapak berputarnya ekonomi. Maka tentu para tuan tanah dan pengusaha yang paling awal masuk ke metaverse adalah yang paling banyak mendapatkan keuntungan ketimbang pemain-pemain lain.
Bayangkan jika pemain-pemain facebook yang kini sudah mencapai 3 milliyar pengguna pindah ke metaverse untuk memulai dunia baru. Dengan perputaran ekonomi layaknya dunia nyata masa kini, maka kapitalisme berevolusi masuk menguasai pasar ekonomi termuktahir yang pernah ada dalam peradaban manusia. Penjualan barang dan jasa, penyewaan lapak-lapak perdagangan, hiburan, dan buruh pekerja akan memenuhi dunia metaverse.
Para kapitalis dapat sesuka hati menaikkan harga sewa lapak maupaun harga barang dan jasa, para mitra harus menerima pembagian hasil yang semakin mengecil sebab tidak ada intervensi pemerintah di dalamnya. Ketimpangan ekonomi pun terjadi, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Pada akhirnya pihak yang paling diuntungkan adalah yang membangun dunia tersebut di awal. Merekalah yang menjadi premiere cell seperti “Ymir” di anime Attack on Titan (AOT).
Bagi sebagian orang ekonomi metaverse akan berjalan dengan mekanisme pasar berbasis mata uang kripto yang akan membuka pasar bebas yang sebenar-benarnya. Mereka menganggap bahwa pasar bebas adalah cara untuk memberikan kesejahteraan kepada seluruh pelaku ekonomi. Inilah yang dianggap sebagai sumber kebahagiaan bagi manusia alias tujuan hidup manusia di dunia ini.
Dunia Ilusi Kapitalistik
Kecanggihan dunia digital tidak dapat dipungkiri membawa manusia semakin meninggalkan dunia nyata yang sebenarnya. Menurut Fedinandus Setu, Plt. Kepala Biro Humas Kominfo, ada sekitar 142 juta pengguna internet di Indonesia, dimana 30 juta anak milenial aktif bermain game.
“Dari 142 juta pengguna akses internet, data kami menunjukkan sekitar 30 juta anak millenial aktif bermain game setiap harinya.” Kata Ferdinandus Setu. (Okezone, 3/19). Angka yang sangat wajar dengan semakin maraknya game-game yang tercipta. Semakin subur karena dipertandingkan dengan hadiah fantastis puluhan juta.
Bagi kapitalis ini adalah ladang subur untuk berinvestasi mengingat tidak ada halangan bagi kaum millenial hari ini untuk tidak terpapar game addictive sehingga tahan berjam-jam di depan gawai mereka hanya untuk sekedar menikmati “hiburan.”
Kapitalisme-liberalis membangun “rumah” untuk para penikmat dunia khayalan namun sayang mereka tidak menyediakan “rumah sakit” akibat candu yang ditimbulkannya. Compulsive Gaming, sebutan WHO bagi orang yang kecanduan bermain game dilihat sebagai penyakin mental baru dalam kesehatan psikologis manusia. Mark D. Griffiths, seorang Profesor Kecanduan Prilaku di Universitas Nottingham Trent, Inggris yang berfokus di bidang kecanduan perilaku yaitu gangguan judi, kecanduan game, kecanduan internet, kecanduan seks, dan kecanduan kerja, mengungkapkan bahwa video game adalah seperti semacam judi non-finansial dari sudut pandang psikologis. Penjudi menggunakan uang untuk menjaga skor, sedangkan games menggunakan poin (Dreamers.id, 6/18)
Dunia digital di era kapitalistik bekerja dengan memainkan algoritma pencarian untuk membaca pasar. Dari sanalah mereka mengetahui apa yang paling digemari oleh orang-orang. Sehingga tanpa sadar tontonan-tontonan yang relevan sambung-menyambung memenuhi beranda media sosial yang membuat orang-orang menghabiskan waktu banyak untuk memuaskan rasa penasaran dan hawa nafsu mereka.
Pandangan Islami Terkait Metaverse
Sebagai seorang muslim, kita diajarkan untuk memiliki orientasi hidup bervisi akhirat sebab telah memandang bahwa kehidupan dunia hanyalah tempat persinggahan. Islam tidak memungkiri adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat canggih seperti sekarang, bahkan para “peramu” teknologi modern banyak dikenal berasal dari peradaban Islam.
Namun, perbedaannya adalah seorang muslim berpikir untuk kepentingan umat sedangkan kapitalis berpikir untuk kepentingan diri sendiri. Seorang muslim, karyanya membawa kepada kebaikan umat, sedangkan kapitalis, karyanya membawa kepada kebaikan investor namun berlindung di balik narasi “demi kebahagiaan orang-orang.”
Meskipun metaverse belum benar-benar terjadi sekarang, namun “aromanya” sudah tercium di tahun ini dan disinyalir membawa evolusi media ke arah yang jauh lebih dalam dan melenakan manusia dari kehidupan nyata di dunia. Bagi seorang muslim, tentu perbuatan ini adalah kerugian fatal karena menghabiskan waktu, energi, tenaga, maupun harta untuk sesuatu yang tidak berguna bagi kehidupan akhirat malah semakin menjauhkannya dari benak umat. Padahal, kehidupan akhirat adalah kehidupan yang sebenarnya.
Metaverse adalah jebakan yang harus dihindari oleh kaum muslimin sehingga mereka tidak menjadi segman pasar para kapitalis. Alhasil menjauhkan mereka dari perjuangan kebangkitan umat yang hakiki. Tergelincirnya seorang muslim pada jebakan-jebakan serupa adalah akibat rendahnya taraf berpikir umat Islam sehingga membiarkan pikiran mereka “dibajak” para kapitalis dan memaksakan kesenangan semu kepada mereka. Akibatnya anak-anak kaum muslimin selalu sibuk dengan dunia maya dan abai akan kondisi umat. Padahal kondisi mereka adalah bagian dari problematika umat yang masuk ke dalam medan perang pendangkalan pemikiran. Sedangkan di dalam Islam semua teknologi ditujukan untuk politik jihad fi sabilillah.
Allah ta’ala berfiman, “Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk mengahadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan) (TQS. Al-Anfal: 60).
Hukum yang terdapat pada ayat ini adalah mengenai persiapan kekuatan. Sedangkan masalah yang terjadi saat itu diatasi dengan mempersiapkan kekuatan fisik, diantaranya dengan cara menambatkan kuda-kuda. Adapun bentuk (arah) ‘illat dari hukum tersebut adalah untuk menakut-nakuti musuh.
Karena itu, apabila saat ini kita hendak mengambil hukum mempersiapkan kekuatan dari dalil tersebut, yaitu mempersiapkan segala hal yang dapat menakut-nakuti musuh. Kita tidak boleh terikat dengan apa yang telah dilakukan musuh untuk mengatasi masalah yang pernah terjadi pada saat itu, sebagaimana yang tercantum dalam nash, yaitu harus menambatkan kuda (Taqiyuddin An-Nabhani, Mafahim HT: 71). Artinya, tujuan dari politik jihad adalah untuk menakut-nakuti musuh, sehingga umat Islam dipersilahkan untuk mempersiapkan kekuatan apa saja untuk tujuan tersebut, termasuk memanfaatkan teknologi digital.
Inilah teknologi dalam pandangan Islam. Islam mengaturnya agar membawa kebaikan kepada seluruh ummat. Bukan sebaliknya di era kapitalis ini, teknologi yang dibuat berdampak menjauhkan umat Islam dari Allah dan Islam itu sendiri. Maka, sangat penting bagi kita untuk menjadi Islam sebagai kepemimpinan umat. Menjalankan politik Islam demi mengurusi umat di dalam negeri maupun luar negeri. Wallahu’alam bish showab. (*)
*Penulis Adalah Aktivis Dakwah dan Pendidik