Ngeri, Gonjang Ganjing Swasembada Pangan

0
14
Nuryanti, Lingkar Studi Muslimah Bali/Foto : Istimewa

OPINI | POLITIK | EKONOMI

“Persoalan bahan pangan dan kelangkaan bahan pangan akan selalu menghantui masyarakat, pangan adalah masalah primer. Negara seharusnya tidak boleh bergantung pada negara lain,”

Oleh : Nuryanti

FENOMENA kenaikan harga sembako menjadi suguhan jamu pahit bagi masyarakat kita. Kebutuhan pokok masyarakat saat ini terus mengalami peningkatan silih berganti bahkan berbarengan. Muncul lagi akhir-akhir ini adalah kenaikan harga mie instan yang mencapai hampir 3 kali lipat.

Dikutip dari msn.com, harga terigu di pasaran akan naik akibat melonjaknya harga gandum. Meski pasokan gandum secara perlahan masuk ke pasar ekspor internasional, akan tetapi harga gandum malah meningkat karena biaya logistik yang tinggi sehingga berimbas pada kenaikan mie instan yang berbahan dasar terigu.

Di sisi lain, pemerintah juga sedang mengunggulkan swasembada beras di tengah kelangkaan gandum. Alih-alih menyejahterakan, justru pengunggulan swasembada beras yang dilakukan pemerintah merupakan hasil dari mekanisme penghargaan swasembada beras yang berkomitmen menjaga ketahanan pangan.

Mie instan yang naik 3 kali lipat merupakan hal yang tidak masuk akal. Melihat kondisi bahan pangan di negeri Indonesia masuk urutan 5 besar dalam pengadaan bahan pangan terutama mie instan, padahal mie instan merupakan makanan penduduk yang perekonomiannya berada di bawah garis kemiskinan.

Berkurangnya pasokan gandum ke Indonesia adalah salah satu akibat dari perselisihan yang terjadi antara Ukraina dan Rusia sehingga berefek pada bahan pangan mie instan yang berbahan dasar tepung terigu. Kemudian Indonesia mengklaim bahwa, pemerintah terus berupaya dalam mempertahankan swasembada pangan.

Hal ini jelas meresahkan masyarakat dan mengganggu kemaslahatan dalam pemenuhan bahan pangan, meski di saat yang sama pemerintah mengunggulkan swasembada beras.

Mie instan merupakan makanan sehari-hari masyarakat menengah ke bawah. Jika kenaikan mie instan tetap dilakukan akan berdampak pada seluruh kalangan masyarakat. Seharusnya kebijakan ini menjadi penolong dalam upaya menghasilkan swasembada pangan yang hakiki dengan membuat variasi bahan yang dibutuhkan dalam produksi sejenis mie instan.

Pemerintah juga tidak boleh membiarkan swasembada pangan pada bahan makanan pokok saja, sedangkan bahan pangan lain bergantung pada impor.

Hal ini bisa mengakibatkan kelangkaan atau minimnya ketersediaan bahan pangan di pasaran dan ketiadaan stok pangan. Jika sudah demikian, alhasil harga akan melambung tinggi.

Ujung-ujungnya pemerintah akan mengeluarkan kebijakan impor untuk menutupi kekurangan bahan pangan yang beredar di pasaran.

Di samping itu juga, ketiadaan upaya dalam berbagai jenis bahan pangan untuk gizi masyarakat menjadikan negara bergantung pada impor. Maka potensi negeri ini untuk mewujudkan kemandirian pangan malah akan terabaikan.

Semua itu bisa terjadi akibat cengkraman kapitalisme dan keterikatan Indonesia dalam perjanjian internasional sehingga tidak mandiri dan selalu bergantung pada luar negeri. Maka dari itu, selama negeri ini masih menerapkan sistem kapitalisme liberal maka swasembada pangan yang hakiki tidak pernah terwujud.

Persoalan bahan pangan dan kelangkaan bahan pangan akan selalu menghantui masyarakat, pangan adalah masalah primer. Negara seharusnya tidak boleh bergantung pada negara lain. Negara seharusnya memberi sudsidi sebesar-besarnya kepada para petani agar bisa memproduksi pangan, dan keuntungan para petani bisa didapat sebesar-besarnya.

Rasullullah pernah mencontohkan, bagaimana politik agraria yang berkeadilan, yaitu mengklasifikasikan kepemilikan harta serta menghidupkan tanah mati untuk dimanfaatkan dan dikelola masyarakat. Oleh karena itu, politik pertanian dalam Islam mengacu kepada peningkatan produksi pertanian dan distribusi pangan yang adil.

Begitu juga dalam aspek produksi, negara tidak boleh melakukan impor, negara wajib memberdayakan pertanian, dan tidak boleh membiarkan lahan pertanian habis untuk peningkatan di sektor industri.

Sebab lahan pertanian sangat erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan negara sudah sepatutnya menerapkan kebijakan meningkatkan produktifitas lahan yang sudah tersedia, menyebarluaskan teknologi budidaya terbaru di kalangan petani seperti pengadaan mesin-mesin, benih unggul, serta sarana produksi pertanian.

Dengan mengadopsi kebijakan-kebijakan pangan dalam sistem Islam, kemandirian pangan akan terwujud. Masyarakat pun tidak lagi dihantui dengan kenaikan harga barang seperti sembako. Semua itu akan terwujud di bawah naungan Islam bukan dalam sistem demokrasi sekuler saat ini. [*GF/RIN]

*Penulis Adalah Lingkar Studi Muslimah Bali