OPINI | POLITIK
“Hal ini wajar terjadi sebab sistem kapitalisme telah menjadikan penguasa tidak hadir sebagai pengurus rakyat, mereka duduk berkuasa hanya sebagai regulator. Alhasil asuransi dijadikan sebagai jaminan terhadap permasalahan yang ada di dunia ini termasuk sektor pertanian,”
Oleh : Halizah Hafaz Hutasuhut S.Pd
PULUHAN hektare tanaman padi dan sayuran di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur dilanda hujan dengan intensitas tinggi khususnya di wilayah Balikpapan Utara dan Balikpapan Timur.
Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) mengajak para petani untuk memaksimalkan asuransi pertanian untuk menghindari kerugian akibat gagal panen.
“Tanaman padi menghadapi banyak tantangan, bahkan dapat menyebabkan gagal panen. Hal tersebut harus diantisipasi agar petani bisa terhindar dari kerugian,” kata Mentan SYL dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, pada Sabtu (3/9/2022).
Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian (Kementan) Ali Jamil. Menurutnya, agar terhindar dari kerugian, petani bisa memanfaatkan asuransi pertanian.
“Asuransi bisa menjamin petani untuk terus menanam meski terjadi gagal panen. Sebab, ada klaim yang bisa dimanfaatkan sehingga petani tetap memiliki modal untuk terus menanam. Untuk itu, kami terus mendorong petani agar memanfaatkan asuransi,” katanya.
Kekhawatiran akan ancaman gagal panen akibat hujan dengan intensitas tinggi tersebut juga disampaikan Kepala Dinas Pangan, Pertanian dan Perikanan (DP3) Kota Balikpapan Heria Prisni. Menurutnya, puluhan hektare tanaman padi dan sayuran, khususnya di Balikpapan Utara dan Balikpapan Timur, bergantung pada cuaca.
Inilah kenyataan yang harus dialami para petani ketika cuaca mengalami perubahan secara tiba-tiba. Akhirnya solusi yang diberikan kepada para petani adalah dengan menggunakan asuransi agar mendapatkan jaminan ketika kerugian akan dialami para petani.
Solusi ini tentu lahir dari sistem demokrasi kapitalisme yang diterapkan di negeri ini, sebab asuransi dalam sistem ini menjadi alat yang mampu menjaminan kehidupan rakyat.
Hal ini wajar terjadi sebab sistem kapitalisme telah menjadikan penguasa tidak hadir sebagai pengurus rakyat, mereka duduk berkuasa hanya sebagai regulator. Alhasil asuransi dijadikan sebagai jaminan terhadap permasalahan yang ada di dunia ini termasuk sektor pertanian.
Padahal dalam syari’at Islam hukum asuransi adalah haram. Hukum ini mencakup semua jenis asuransi yaitu asuransi jiwa, asuransi barang, atau asuransi harta benda dan lain-lain.
Sebab keharamannya terletak pada akadnya yang batil. Selain itu, janji yang diberikan oleh perusahaan asuransi pada saat penandatanganan polis asuransi adalah janji yang batil. Dengan demikian meminta harta melalui akad semacam ini hukumnya haram.
Hartanya dikategorikan harta yang diperoleh dengan cara yang batil, dan termasuk dalam kategori harta-harta yang ghulul (penggelapan harta). Dengan demikian tidak dibenarkan seorang muslim untuk memilih asuransi sebagai jaminan kehidupan mereka bagaimanapun jenis asuransinya.
Berbeda jauh dengan Islam sebagai agama ideologis yang tidak hanya mengatur urusan ibadah, ritual dan spiritual, melainkan juga mengatur tata cara bernegara yang memiliki seperangkat aturan agar tidak tercipta permasalahan dalam sektor pertanian. Sebab pertanian tidak hanya terbatas pada pengelolaan lahan pertanahan.
Tapi juga mencakup aktivitas perekonomian yang bertujuan menambahkan dan mendapatkan kekayaan dengan cara meningkatkan produksi nabati dan hewani. Maka pertanian memiliki urgensi yang besar dalam kehidupan karena termasuk kedalam sumber makanan manusia dan sumber banyak bahan-bahan nabati dan hewani.
Sebagaimana pertanian memiliki peranan dalam pemasukan umat dan kekayaannya serta mempekerjakan sejumlah besar tenaga kerja dari rakyat negara Islam.
Aturan Islam secara praktis akan diterapkan dalam sebuah negara yaitu Khilafah Islam. Adapun upaya yang akan dilakukan Khilafah untuk menjaga kerugian dalam pertanian adalah menerapkan politik pertanian. Khilafah akan memperbaiki kebijakan untuk meningkatkan produksi pertanian melalui intensifikasi dan ekstensifikasi.
Intensifikasi ditempuh dengan jalan penggunaan sarana produksi pertanian yang lebih baik. Untuk itu khilafah akan menerapkan kebijakan pemberian subsidi untuk keperluan sarana produksi pertanian. Keberadaan diwan ‘atha (biro subsidi) dalam baitul mal akan mampu menjamin keperluan-keperluan para petani menjadi prioritas pengeluaran baitul mal.
Para petani akan diberikan bantuan, dukungan dan fasilitas dalam berbagai bentuk seperti modal, peralatan, benih, teknologi, teknik budidaya, obat-obatan, research, pemasaran, informasi, dsb. Baik secara langsung atau semacam subsidi. Maka seluruh lahan yang ada akan produktif.
Khilafah juga akan membangun infrastruktur pertanian, jalan, komunikasi, dsb sehingga arus distribusi lancar.
Sedangkan ekstensifikasi pertanian dilakukan untuk meningkatkan luasan lahan pertanian yang diolah. Untuk itu khilafah akan menerapkan kebijakan yang dapat mendukung terciptanya perluasan lahan pertanian tersebut. Diantaranya, khilafah akan menjamin kepemilikan lahan pertanian yang diperoleh dengan jalan menghidupkan lahan mati (ihya’ul mawat) dan pemagaran (tahjir) bila para petani tidak menggarapnya secara langsung.
Khilafah juga dapat memberikan tanah pertanian (iqtha’) yang dimiliki negara kepada siapa saja yang mampu mengolahnya. Begitu pula dengan persoalan keterbatasan lahan juga dapat diselesaikan dengan pembukaan lahan baru, seperti mengeringkan rawa dan merekayasanya menjadi lahan pertanian lalu dibagikan kepada rakyat yang mampu mengolahnya.
Semua itu mendapatkan dukungan dan fasilitas dari negara Islam. Maka dari itu sudah seharusnya kita kembali pada sistem Islam agar jaminan dan kesejahteraan dapat terwujud. Wallahua’lam bisshawwab. (*)
*Penulis Adalah Aktivis Dakwah dan Praktisi Pendidikan