OPINI | POLITIK
“Sekularisme telah menghilangkan peran agama dari kehidupan, termasuk dalam pengaturan ekonomi. Sistem kapitalisme menyandarkan kebutuhan manusia hanya terikat kepada materi saja,”
Oleh : Annisa Fauziah, S.Si
AWAL tahun 2023, diskursus mengenai pajak menjadi hal yang ramai dibicarakan oleh masyarakat. Sebab pemerintah menetapkan ketentuan baru terkait tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi atau karyawan yang berlaku pada tanggal 1 Januari 2023.
Pemerintah menerapkan tarif pajak atas Penghasilan Kena Pajak dibagi menjadi lima layer.
Tarif pajak PPh sebesar 5% ditetapkan pada layer pertama, yaitu untuk penghasilan sampai dengan Rp 60 juta. Maka, karyawan dengan gaji Rp 5 juta per bulan harus membayar pajak PPh sebesar 5%. Adapaun penghasilan pada layer terakhir, yaitu penghasilan di atas Rp 5 miliar dibandrol tarif pajak PPh sebesar 35%. (kontan.co.id, 1/1/2023).
Bukankah kondisi seperti ini semakin membebani rakyat di tengah kondisi perekonomian yang juga tidak menentu?
Ironisnya, fakta di lapangan justru menunjukkan kehidupan para pejabat yang kontras dengan kondisi masyarakat pada umumnya. Dilansir dari (tempo.co, 23/2/2023), Indonesia Corruption Watch (ICW), dalam laman resminya mencatat sepanjang 2005 hingga 2019 sedikitnya terdapat 13 kasus korupsi perpajakan dengan modus umum suap menyuap yang mencapai Rp 160 miliar.
Dengan dalih bahwasannya pajak adalah oleh rakyat dan untuk rakyat, seolah pemerintah menerapkan kebijakan ini untuk kesejahteraan rakyat. Namun, pada faktanya rakyat tidak merasakan kebermanfaatan pajak.
Misalnya saja, rakyat tetap harus membayar mahal tarif listrik, BBM, fasilitas kesehatan, dan pendidikan yang diklaim dibangun oleh pajak atau disubsidi pajak. Ironisnya, saat harta rakyat “dipalak” para pemangku kebijakan di negeri ini justru menikmati hasil pungutan pajak untuk memperkaya diri.
Skandal korupsi yang dilakukan para pejabat pajak hari ini sesungguhnya hanyalah fenomena gunung es. Sungguh ironis, kesejahteraan rakyat seolah menjadi slogan saja.
Padahal, bukankah berbagai kebijakan yang diterapkan saat ini justru semakin menunjukkan kezaliman yang dilakukan para penguasa? Dengan kebobrokan yang terjadi, mengapa negara-negara yang menerapkan sistem kapitalisme tetap mempertahankan pajak ini sebagai sumber pemasukan utama negara?
Sistem Kapitalisme Cacat dari Asasnya
Maraknya kasus korupsi para pejabat di Direktorat Jendral Pajak tidak lain karena diterapkannya sistem kapitalisme yang menjadikan menjadikan materi sebagai orientasinya.
Begitupun politik demokrasi menjadikan para pejabat terlibat transaksi politik dengan para pengusaha. Asas sekularisme semakin menyuburkan korupsi karena tidak ada standar halal dan haram bagi para penguasa serta tidak ada sikap amanah dalam kepemimpinan.
Di dalam sistem kapitalisme, pajak bahkan dijadikan sebagai sumber pendapatan utama dari sebuah negara. Kegagalan kapitalisme dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat berasal dari kesalahan yang bersifat sangat fundamental, yaitu dari asas dan pandangan terkait problematika ekonomi. Oleh karena itu, wajar jika penerapan gagasan turunannya pun menjadi keliru.
Kapitalisme dengan asasnya, yaitu sekularisme telah menghilangkan peran agama dari kehidupan, termasuk dalam pengaturan ekonomi. Sistem kapitalisme menyandarkan kebutuhan manusia hanya terikat kepada materi saja.
Adapun pandangan terkait sumber utama problematika ekonomi adalah kelangkaan maka kapitalisme memproduksi kekayaan dengan porsi yang jauh lebih besar daripada distribusi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Dengan demikian, apakah rakyat masih percaya jika kapitalisme mampu memberikan kesejahteraan yang hakiki ataukah hanya menjadi pemalak bagi rakyat?
Dalam Islam, kesejahteraan rakyat adalah sesuatu yang harus direalisasikan oleh penguasa. Sebab, penguasa memiliki amanah untuk mengurusi urusan rakyat. Dengan demikian, di dalam syariat Islam, berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh negara termasuk dalam pengaturan sumber-sumber pendapatan negara maupun alokasi penggunaan dana yang dikelola oleh lembaga yang disebut Baitul Mal.
Adapun pendapatan negara yang masuk ke dalam Baitul Mal di kelompokkan menjadi empat sumber.
Pertama berasal dari pengelolaan negara atas kepemilikan umum. Misalnya, air, padang rumput, api (energi).
Kedua, yaitu pengelolaan berupa khoroj, ghonimah dan jizyah serta harta milik negara.
Ketiga, berupa harta zakat yang pengambilan dan pendistribusiannya hanya untuk delapan asnaf yang disebutkan di dalam Al-Qur’an.
Keempat, yaitu pemasukan yang bersifat temporal seperti infak, wakaf, sedekah, hadiah, dharibah, dan lain-lain.
Dengan mekanisme pembiayaan tersebut, maka Baitul Mal tidak perlu lagi untuk menarik pajak untuk membiayai pengaturan dan pemeliharaan urusan dan kemaslahatan rakyat. Adapun dalam kondisi khusus, negara bisa mengambil pungutan yang disebut dengan dharîbah.
Pungutan ini tentu sangat berbeda dengan pajak atau kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi kapitalis. Sebab, dharibah bersifat temporer dan tidak bersifat kontinu, hanya boleh dipungut ketika di Baitul Mal tidak ada harta atau kurang.
Selain itu, pungutan ini hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang merupakan kewajiban bagi kaum Muslim dan sebatas jumlah yang diperlukan untuk pembiayaan wajib tersebut, tidak boleh lebih. Dharibah juga hanya diambil dari orang muslim dan kaya saja.
Sistem ekonomi Islam mampu memberikan jaminan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia, baik muslim maupun non-muslim. Dalam sistem ekonomi Islam, kesejahteraan diukur berdasarkan prinsip terpenuhinya kebutuhan setiap individu masyarakat, baik kebutuhan primer (sandang, pangan, dan papan) setiap orang serta pemenuhan kebutuhan sekunder.
Adapun sistem kapitalisme sekuler yang saat ini diterapkan di berbagai negeri telah menyuburkan praktik korupsi di kalangan para pejabat.
Hal ini membuktikan bahwa negara bukan lagi menjadi pengurus urusan umat, tetapi justru menjadi pemalak harta rakyat. Salah satunya dengan menjadikan perpajakan sebagai sumber utama untuk pemasukan negara. [*]
*Penulis Adalah Aktivis Muslimah