“Semenjak adanya UU tersebut semakin banyak rakyat yang ditangkap karena dalih pencemaran nama baik terhadap tokoh negara yang tidak terima kinerjanya di kritik oleh rakyat yang memilihnya,”
Oleh : Albayyinah Putri,. S.T
INDONESIA sedang dihebohkan dengan salah satu kritik dari pemuda asal Lampung Timur melalui TikTok nya @awbimaxreborn, Bima Yudho Saputro content creator yang sedang berkuliah di Sydney Australia dengan berani membuka kebobrokan yang terjadi di kota asalnya.
Diantaranya adalah permasalahan jalan protokol yang tidak kerap diperbaiki hingga terlihat sangat tidak layak dilalui oleh pengendara dan bahkan sangat berbahaya bagi para pengendara yang melalui jalan tersebut.
Dari apa yang disampaikan Bima di TikTok miliknya, Ia menggunakan diksi ‘Dajjal’ untuk pemerintah provinsi Lampung akibat fenomena yang ada. Dikutip dari Kompas.id, Bima merilis video berdurasi 3 menit 28 detik di akun TikTok miliknya.
Ia menyampaikan kekecewaannya terhadap kondisi di Lampung yang menurut dia tidak mengalami kemajuan. Bima menyindir sejumlah sektor di Provinsi Lampung, di antaranya infrastruktur, proyek Kota Baru, sistem pendidikan, birokrasi, dan pertanian. Ternyata pernyataannya tersebut dibagikan oleh netizen sehingga membuatnya viral dan sampai ke pihak pemerintah provinsi.
Dampak dari viralnya tersebut ternyata berdampak buruk bagi Bima, lantaran Ia dilaporkan oleh seorang advokat menggunakan UU ITE atas tuduhan membuat keonaran dengan berita bohong serta menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA.
Pengacara Ginda Ansori Wayka adalah orang yang melaporkan Bima mengaku hanya melaporkan ada kalimat provinsi dajjal saja, sedangkan kalimat yang lainnya sejalan dengan sikapnya. Ia meminta Bima berhenti membuat guncang Lampung (lampung.tribunnews.com 17/04/2023).
Namun, hal tersebut malah direspon sebaliknya oleh netizen, khusus nya mereka yang juga tinggal di Lampung. Mereka merasa bahwa kritikan Bima benar adanya, dan harusnya bisa menjadi refleksi pemerintah bukannya malah mangkir dari kritik tersebut dan melaporkan Sang pengkitik.
Apakah penguasa di negeri ini anti kritik? Kabid Humas Polda Lampung, Kombes Pol Zahwani Pandra Arsyad mengatakan, laporan tersebut telah diterima pihak kepolisian dan saat ini masih harus dipelajari guna dapat diselidiki terkait persangkaan dugaan pelanggaran tindak pidana dimaksud.
Karena berdasarkan KUHAP kepolisian tidak boleh menolak laporan masyarakat. Sebab, semua warga negara memiliki posisi yang sama di mata hukum (merdeka.com 17/04/2023). Namun, dari laporan yang terjadi, Bima mendapatkan dukungan dari beberapa pihak, setelah Ia menyampaikan bahwa keluarga nya di Indonesia mendapat intimidasi dan ancaman dari pihak-pihak tertentu akibat ‘ulahnya’ mengkritik pemerintah.
Salah satunya adalah pengacara kondang Hotman Paris, Ia mengatakan agar Bima men-DM-nya saja jika ada masalah yang terjadi. Orang tua Bima pun khawatir atas apa yang terjadi dan tidak mengizinkan Bima untuk mudik ke Indonesia.
Setelah insiden ini, Bima diketahui justru memperoleh visa perlindungan dari Australia (Subclass 866)—visa yang diberikan pihak Australia, salah satunya karena alasan pemohon mengalami persekusi di negara asal (bbc.com 13/04/2023).
Dari fakta yang telah disampaikan, membuktikan bahwa system demokrasi tidak sepenuhnya memberikan kebebasan berpendapat pada rakyatnya. Semu tergantung kebutuhan dan keinginan penguasa yang menjalankan aturan di system ini.
Belum lagi pembuatan undang-undang yang kadang tidak berdasarkan kebutuhan rakyat. Contoh saja UU ITE, yang belakangan menjadi perbincangan masyarakat, karena UU ini terkesan membungkam masyarakat dan menghalangi rakyat dalam mengkritik pemerintahan.
Salah satunya adalah pasal 27 ayat 3 “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Semenjak adanya UU tersebut semakin banyak rakyat yang ditangkap karena dalih pencemaran nama baik terhadap tokoh negara yang tidak terima kinerjanya di kritik oleh rakyat yang memilihnya. Akibat pasal karet yang tercantum dalam UU tersebut, banyak rakyat yang menjadi korban. Padahal rakyat punya hak menagih janji-janji yang diberikan oleh para penguasa ketika mereka butuh suara saat pemilihan umum.
Fenomena yang biasa terjadi di system demokrasi, para penguasa akan tun ke jalan, blusukan, meminta sura dan perhatian rakyat ketika pemilihan berlangsung. Mengumbar janji-janji manis pasti terjadi, namun setelah terpilih apa yang terjadi?
Tak sepenuhnya janji tersebut dipenuhi, tak sedikit rakyat menelat “pil pahit” kekecewaan atas pengkhianatan yang dilakukan pilihan yan sebelumnya mereka percaya. Rezim anti kritik, itulah yang sering dilontarkan oleh rakyat pada setiap mereka yang dihadapkan pembungkaman opini.
Sistem demokrasi yang lahir dari ideologi kapitalisme, membuat undang-undang yang dibuat berdasarkan ‘kebutuhan’ pemerintahan, seperti fakta yang ada. Dan penguasa hanya berkedudukan sebagai regulator, menjalankan undang-undang.
Mereka yang memiliki tujuan yang sama dan saling menguntungkan disitulah tempat mereka bekerja, tapi jika tidak sesuai atau bahkan ideologinya bertentangan, entah apa yang akan yang terjadi setelahnya. Begitulah cara kerja system saat ini, apa lagi jika ada pihak-pihak yang sekiranya mengancam kedudukan peguasa, maka mereka tidak akan disa. Seperti yang terjadi pada beberapa kasus yang pernah terjadi, salah satunya yang baru-baru ini di Lampung.
Berbeda dengan yang didefiisikan oleh Islam, kritik adalah salah satu cara umat untuk menjaga penguasa agar tidak terjerumus pada pelanggaran syari’at atau kelalaian terhadap kepentingan umat. Penguasa yang diberikan Amanah oleh rakyat untuk mengurusi segala urusan umat, sudah semestinya berlapang dada menerima kritikan dari umat.
Karena penguasa dan pemerintahan yang memimpin adalah pelayan umat, bukan sebaliknya yang malah minta dilayani dan dimengerti oleh rakyat. Islam juga mewajibkan ber-amar ma’ruf nahiy munkar pada seluruh umat Muslim, aktivitas ini yang membuat umat Islam di berikan label sebagai umat terbaik. Seperti Firman Allah SWT:
“Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran 3 : 104).
Aktivitas amar makruf nahi mungkar yang terbesar ialah mengoreksi kebijakan penguasa yang zalim terhadap rakyatnya. Sebagaimana sabda Nabi saw.,
“Sebaik-baik jihad ialah berkata yang benar di hadapan penguasa yang zalim atau pemimpin yang zalim.” (HR. Abu Dawub, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Penguasa dalam Islam tidak anti terhadap kritik, setiap umat berhak menyampaikan aspirasinya secara langsung terhadap penguasa (khalifah), seperti layaknya seorang wanita dalam masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khaththab ra. Terkait pembatasan mahar terhadap Wanita.
Begitu pula dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang legawo menerima kritik dari putranya sendiri lantaran ingin beristirahat sejenak sementara masih banyak urusan rakyat menanti untuk diurus.
Sehingga dari kisah tersebut, membuktikan bahwa pemerintahan Islam tidaklah anti kritik, memberikan jalan dan kebebasan untuk umat memberikan masukan dan saran kepada penguasa, agar penguasa kerap bermuhasabah atas kepemimpinannya karena kebijakannya kelak akan berpengaruh pada kemaslahatan umat. Dan itu semua adalah Amanah yang kelak akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT. Wallahu’alam. [*]
*Penulis Adalah Graduate Student in Environmental Engineering South Korea