OPINI | POLITIK
“Padahal sejarah secara empiris telah memberikan gambaran satu sistem pemerintahan yang apik, berkeadilan dan mensejahterakan umat manusia yang pernah hadir di muka bumi,”
Oleh : Yanti Bidari,
DINAMIKA Pemilu 2024 mencuat bak roller-coaster. Kita tentu ingat polemik yang muncul sejak 3 tahun silam yaitu isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden dan ujungnya tetap diselenggarakannya Pemilu di 2024.
Disusul tahun berikutnya ketika nama-nama anggota dan ketua KPU-Bawaslu bocor ke tengah masyarakat lewat pesan berantai sebelum fit and proper test dilaksanakan, dan akhirnya nama-nama tersebutlah yang disahkan oleh Komisi II DPR.
Cakrawala politik jelang pemilu semakin terwarnai secara maksimal dengan penyalahgunaan wewenang dan bertumbuhnya politik dinasti ketika MK melakukan uji materi atas permohonan usia minimal capres dan cawapres dalam UU Pemilu Pasal 169 huruf q diikuti dengan politisasi bansos dan kampanye beraroma KKN.
Pemilu pilpres dan pileg kali ini memiliki nuansa yang sama dengan pemilu sebelumnya. Obral janji, money politic, black campaign, intimidasi, kecurangan dalam banyak hal, pelanggaran administratif, pelanggaran kode etik, pelanggaran tindak pidana (seperti ijazah palsu), dan berbagai pernak-pernik lainnya tampil mencoreng slogan pemilu Luber-Jurdil. Sesuatu yang sudah bukan hal asing lagi, seolah pemilu tidak lengkap tanpa itu semua.
Pada Pemilu 2019, Bawaslu mencatat ada 6.274 kasus pelanggaran Pemilu. Sementara per 24 Januari 2024, Bawaslu mengklaim telah menangani dugaan pelanggaran pemilu sebanyak 1.236 kasus yang terdiri dari 848 laporan dan 388 temuan.
Dari total dugaan pelanggaran pemilu itu, Bawaslu menyatakan 347 kasus merupakan pelanggaran pemilu, sedangkan 225 bukan pelanggaran pemilu. Padahal Direktur DEEP (Democracy and Electoral Empowerment Partnership) Neni Nur Hayati menyebut dugaan kecurangan dan pelanggaran Pemilu 2024 lebih parah dibanding pemilu sebelumnya.
Saat ini publik tengah memperbincangkan anomali perhitungan suara yang berbeda antara hasil Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi) dan jumlah Formulir C1-Plano. Adanya system error pada Sirekap menjadi dalih lembaga penyelenggara Pemilu.
KPU mengklaim telah mengoreksi data anomali Pilpres di 154.541 TPS, data anomali Pileg DPR RI di 13.767 TPS dan DPD RI di 16.450 TPS. Sebelumnya marak pula beberapa tokoh masyarakat mengetengahkan wacana tentang pemakzulan presiden dan wacana beberapa parpol untuk mengajukan hak angket lewat fraksi-fraksi mereka di DPR RI terkait dengan berbagai indikasi terjadinya abuse of power dari penguasa untuk kemenangan salah satu paslon. Namun hal itu sampai hari ini masih sebatas wacana.
Pemilu yang penuh drama dan trik-intrik sesungguhnya mewakili dari seluruh pelaksanaan demokrasi di negara ini. Pemilu yang dianggap sebagai puncak dari realisasi nilai-nilai demokrasi justru memberikan gambaran bobroknya dari apa yang disebut (oleh Benjamin Franklin) sebagai sistem dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat ini. Bukan sekali dua kali bangsa ini menyelenggarakan pemilu. Bukan sekali dua kali pula berganti pemimpin dan jajarannya berikut paket kebijakan yang digulirkan.
Namun perubahan yang dicita-citakan rakyat seolah menguap begitu saja. Dan mereka hanya bisa mengharapkan perubahan lima tahun sekali untuk kemudian tenggelam kembali dalam rutinitas pergulatan hidup, dan sekali lagi penyelenggaraan negara berjalan di rel yang menjauh dari tujuannya untuk menyejahterakan rakyat.
Selama berlangsungnya pemilu, para penguasa, petinggi partai, dan politisi mencurahkan perhatiannya ke tengah gelanggang arena pemilu, tidak memperdulikan kondisi rakyat.
Sebut saja kelangkaan beras dan kenaikan harga kebutuhan pokok yang terjadi sebelum, selama hingga setelah Pemilu. Kegagalan mitigasi pangan jelas mencerminkan sikap penguasa dan pejabat yang abai terhadap kepentingan rakyat. Saat ini pun rakyat tengah dihadapkan pada kenaikan tarif tol (Januari-Maret 2024), dibayang-bayangi dengan kenaikan harga BBM dan TDL di bulan-bulan mendatang, dan kenaikan harga bahan pokok yang semakin meroket menjelang Ramadhan dan Idul Fitri.
Sejatinya penikmat hajatan lima tahunan ini mereka yang berebut kekuasaan dan kekayaan, yaitu elit politisi dan petinggi partai. Bukan panggung bagi pejuang keadilan dan rakyat kebanyakan. Yang paling berkepentingan dengan hasil pemilu ini sesungguhnya adalah para oligarki dan asing, yang mana kita ketahui Indonesia telah menjelma menjadi negara korporasi.
Mereka harus bisa memastikan calon penguasa berikutnya akan mampu memberikan servis tebaik untuk kepentingan mereka. Rakyat yang seharusnya menjadi aktor utama justru menjadi korban. Aspirasi rakyat sebatas dimanfaatkan untuk kepentingan para politisi meraih kekuasaan dengan diimingi janji manis dan sedikit rupiah.
Ketika pemilu usai para caleg dan capres cawapres terpilih tidak lagi peduli terhadap janji-janji yang telah mereka umbar, demikian pula terhadap rakyat yang harus mereka wakili dan urusi. Dari pemilu yang satu ke pemilu berikutnya rakyat tidak menemukan perubahan yang berarti kecuali kondisi yang semakin sulit dan kezaliman yang semakin masif. Sementara para politisi akan sibuk membalas budi kepada para donatur dengan meluluskan berbagai kepentingan mereka.
Bukankah telah jelas selama kekuasaan ditunggangi oleh pemilik modal (kapitalis), maka selama itu pula kedaulatan negara tergadai. Hal itu sangat niscaya terealisasi dalam sistem pemerintahan demokrasi di bawah naungan ideologi sekuler kapitalis.
Karena dalam demokrasi yang saat ini menjadi pagu tatanan pemerintahan di dunia, azas manfaat sangat dikedepankan. Lihatlah saat ini walaupun hasil rekapitulasi pemilu belum selesai, namun pihak dengan jumlah perolehan lebih kecil mulai merapat kepada pihak dengan persentase terbesar. Memang benar tidak ada musuh yang abadi, melainkan kepentinganlah yang abadi. Kalah menang tidak masalah selama masih memungkinkan berada dalam circle kekuasaan.
Kemudian orang bertanya apa yang salah dengan demokrasi? Tidak ada yang salah dengan demokrasi melainkan segelintir oknumlah yang telah mencoreng nilai kebaikan dari demokrasi. Lalu muncul lagi pertanyaan, mengapa oknum-oknum ini terus bermunculan?
Karena hilangnya supremasi hukum, penerapan hukum yang memihak pada satu kepentingan. Seharusnya pertanyaan itu dilanjutkan dengan pertanyaan lain, mengapa bisa terjadi demikian? Hal tersebut dimungkinkan dalam sistem demokrasi itu sendiri.
Demokrasi adalah suatu tatanan pemerintahan yang lahir 5 abad SM di Yunani yang memberikan izin dan hak yang sama kepada warga negara untuk berpendapat dan turut serta dalam pengambilan keputusan di pemerintahan melalui pemungutan suara mayoritas. Jadi segala urusan pemerintahan diselesaikan oleh seluruh rakyat.
Kemudian dipertegas oleh Aristoteles bahwa prinsip demokrasi itu kebebasan, melalui kebebasan lah setiap warga negara bisa saling berbagi kekuasaan di dalam negaranya dan membuat aturan untuk diterapkan di antara mereka. Montesquieu memframingnya dengan trias politica yakni pemilihan pemimpin dan wakil rakyat dilakukan dengan pemilihan umum.
Sepanjang sejarah penerapan demokrasi, baru pada abad ke 19 pemberian hak yang sama diterapkan kepada seluruh warga negara. Pada masa sebelumnya hak demokratis hanya diberikan kepada kaum lelaki merdeka saja hingga kepada kelompok elite tertentu.
Di AS saja penyertaan penuh warga negara belum sempurna dilakukan sampai muncul Gerakan hak-hak sipil Afrika-Amerika (1955-1968) dan disahkan Kongres AS melalui UU Hak Suara 1965. Demokrasi meluas ke seluruh penjuru dunia pada awal abad 20 seiring rangkaian perang, revolusi, dekolonisasi, pembubaran Kesultanan Ustmaniyah, dan kejatuhan aliansi Austria-Hungaria.
Pada faktanya demokrasi tidak benar-benar mampu mengejawantahkan kekuasaan dan kedaulatan murni di tangan rakyat. Karena ia akan terwarnai oleh ideologi yang menaunginya.
Berbicara tentang kebebasan dan persamaan hak yang diusung demokrasi, termasuk pula di dalamnya membuat aturan hidup dan berkehidupan. Maka di tangan ideologi kapitalis aturan ini akan banyak ditentukan oleh para pemilik modal. Sementara di tangan ideologi sosialis, aturan akan dikendalikan oleh pihak berkuasa yang otoriter. Keberpihakan kepada kepentingan rakyat semakin kabur.
Di atas itu semua, aturan yang lahir dari buah pemikiran manusia – yang notabene adalah makhluk lemah yang memiliki keterbatasan- akan menghasilkan tatanan yang lemah dan terbatas pula, memiliki kontradiksi dan bias di sana-sini. Oleh karena itu memberi celah bagi pelanggaran di sana-sini, baik pelanggaran atas aturan itu sendiri maupun atas hak orang lain, tergantung kepentingan besar yang bermain. Kebebasan yang diusung demokrasi adalah kebebasan individu mutlak yang tidak terbatas, yang berpotensi menimbulkan persengketaan dan kekacauan dalam tatanan masyarakat.
Pada kenyataannya negara-negara pengusung demokrasi – katakanlah AS dan sekutunya – telah gagal menyejahterakan umat manusia. Mereka bahkan atas nama demokrasi telah melakukan intervensi, subversi, invasi militer, dan pelanggaran HAM di berbagai belahan dunia.
Mereka terus-menerus mencampuri urusan dalam negeri negara lain dan mengobarkan perang dengan kedok demokrasi, sehingga menciptakan gejolak regional dan bencana kemanusiaan. Di dalam negeri masing-masing, mereka juga telah gagal mewujudkan tatanan kenegaraan yang mampu menjamin kesejahteraan, rasa aman, kesetaraan, keadilan, atau pun menutup jurang kesenjangan ekonomi bagi warga negaranya.
Hingga pada hari ini, demokrasi yang diterapkan belum bisa menghapuskan persoalan rasisme.
Sampai kapan kita berharap pada demokrasi? Pasalnya, praktik demokrasi disebarkan Barat beserta ideologinya adalah alat untuk menjajah negeri-negeri yang ada di dunia terutamanya negeri-negeri kaum Muslim. Umat dibuat menjauh dari aturan Rabnya, dan secara bersamaan dicekoki dengan aturan-aturan yang merugikan umat namun memperkokoh hegemoni mereka.
Masyarakat seolah menutup mata dari kelemahan dan kebobrokan demokrasi. Seakan-akan tidak ada alternatif lain. Padahal sejarah secara empiris telah memberikan gambaran satu sistem pemerintahan yang apik, berkeadilan dan mensejahterakan umat manusia yang pernah hadir di muka bumi. Sistem ini diterapkan selama belasan abad. Namun fakta ini dimanipulasi untuk dikubur dalam-dalam.
Sistem pemerintahan yang dimaksud adalah sistem pemerintahan Islam atau yang dikenal sebagai sistem kekhilafahan. Sistem ini memberikan kekuasaan di tangan rakyat (umat) namun membatasi kedaulatan (as siydah) berada di tangan Syara’. Berbagai aturan dan hukum telah ditetapkan Allah SWT sebagai Sang Pembuat Hukum. Halal haram, baik buruk, termasuk sanksi perbuatan telah termaktub dalam Al Quran dan As Sunnah. Hukum yang bersumber kepada wahyu adalah hukum tertinggi yang sepatutnya diterapkan untuk umat manusia. [**]
*Penulis Adalah Pemerhati Masalah Sosial-Ekonomi