OPINI | POLITIK
“Memang tidak bisa dipungkiri bahwa konten-konten di internet perlu ada pengawasan, sebab banyaknya penyebaran konten yang mengandung pornografi, penistaan agama, diskriminasi SARA, dan lain sebagainya,”
Oleh : Ami Petiwi Suwito,
PESATNYA perkembangan teknologi menyebabkan platform penyiaran tidak terbatas pada televisi dan radio, melainkan sudah meluas pada platform media sosial.
Dengan begitu, peraturan negara mengenai penyiaran memang perlu pembaharuan sesuai dengan perkembangan zaman. Maka pemerintah telah lama menyiapkan RUU Penyiaran sebagai pengganti UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran guna mengakomodasi peralihan dari sistem penyiaran analog ke digital.
Tapi, ditemukan banyak pasal karet dan kontroversial setelah masyarakat membaca RUU Penyiaran terbaru yang ingin segera disahkan oleh DPR RI. Rancangan undang-undang yang seharusnya mendorong penyiaran yang bermutu malah membatasi ruang kritik sekaligus melemahkan peran jurnalis di Indonesia. Berikut ini beberapa poin dalam RUU Penyiaran yang kontroversial karena berpotensi mengalihfungsikan penyiaran Indonesia untuk kepentingan pemerintah semata.
Larangan Penayangan Jurnalisme Investigasi
Pelemahan peran pers tersirat jelas dalam Pasal 56 ayat 2 yang memuat larangan-larangan standar isi siaran (SIS) terutama pada poin C yang berisi larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
Padahal, jurnalisme investigasi adalah nyawa dalam dunia jurnalistik. Tanpanya, para jurnalis hanya bisa memaparkan fakta-fakta di permukaan saja. Ketiadaan penggalian fakta lebih dalam untuk membongkar kebenaran peristiwa sama saja dengan membungkam pers.
Cukup jelas bahwa investigasi adalah karya jurnalistik yang mendorong masyarakat untuk berpikir kritis selama ini. Berbagai peristiwa dan isu di negeri ini pun bisa tercerahkan karena adanya investigasi. Investigasi-investigasi tersebut telah mengekspos isu-isu seperti bisnis batu bara Indonesia, peristiwa Penembakan 50 Kilometer, dan polemik Tes Wawasan Kebangsaan KPK, dan isu lainnya tanpa campur tangan korporat. Perlu diakui bahwa bebebrapa tahun terakhir ini, karya jurnalistik berupa investigasi bermutu melimpah di media Indonesia.
Oleh karena itu, masyarakat Indonesia yang awalnya buta politik mulai tersadarkan betapa tidak berpihaknya negara terhadap rakyat. Dengan demikian, bisa dibayangkan betapa sulitnya akses masyarakat terhadap hasil penyelidikan yang bermutu jika RUU Penyiaran ini disahkan.
Ruang Digital pun Ikut Terbungkam
Seperti yang sudah disebut di awal, salah satu tujuan dari RUU Penyiaran ini adalah untuk mengakomodasi peralihan dari sistem penyiaran analog ke digital.
Terlihat dalam Pasal 34F Ayat (2), adanya kewajiban penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau platform teknologi penyiaran lainnya melakukan verifikasi konten siaran ke KPI sesuai dengan pedoman perilaku penyiaran (P3) dan standar isi siaran (SIS). Artinya, konten di ruang digital alias internet pun ikut diawasi oleh KPI layaknya siaran di televisi dan radio.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa konten-konten di internet perlu ada pengawasan, sebab banyaknya penyebaran konten yang mengandung pornografi, penistaan agama, diskriminasi SARA, dan lain sebagainya.
Namun beberapa jenis konten yang akan dilarang KPI untuk diunggah di internet justru merupakan konten-konten yang dibutuhkan masyarakat. Jika investigasi jurnalistik telah dilarang untuk disiarkan dalam televisi dan radio, maka pengunggahan investigasi di internet pun akan dilarang.
Padahal internet selama ini merupakan ruang aman untuk menyebarkan hasil investigasi jurnalistik mengingat sulitnya menyiarkan investigasi di saluran televisi. Harus ke mana lagikah para jurnalis dan aktivis lainnya menyebarluaskan karya investigasi jika ruang digital pun ikut terbungkum?
Pelemahan Pers, Buah Sistem Kapitalisme
Saudara-saudara, sesungguhnya upaya pelemahan pers sudah lama terjadi di negeri ini sebelum adanya RUU Penyiaran. Bahkan sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, jurnalis yang mengkritik pemerintah kolonial Belanda seringkali terkena delik pers dan disiksa sebagai hukuman. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pun, pelemahan pers tidak berhenti begitu saja.
Pada masa Orde Lama, diberlakukan penahanan, sanksi perizinan, dan sanksi ekonomi terkait pemberitaan media. Kemudian pada Orde Baru, pers diharuskan berada dalam pengawasan pemerintah sehingga tidak leluasa membongkar kesalahan pemerintah. Maka tak heran jika terjadi banyak kasus penculikan dan pembunuhan tokoh aktivis pada masa-masa ini.
Adapun setelah kejatuhan Presiden Soekarno pada tahun 1998, kehidupan pers mengalami perubahan.
Pada masa Reformasi, pers Indonesia kini punya diberi ruang berkarya yang lebih leluasa. Namun penghalangan terhadap jurnalisme dan kekerasan pada wartawan masih terus terjadi. Sebab kapitalisme masih menyelimuti sistem negara, sehingga pemerintah masih bergantung pada oligarki. Akibatnya, negara pun tidak menginginkan praktik kapitalis dalam pemerintahan ikut terbongkar oleh pers.
Satu-satunya solusi untuk menghentikan pelemahan pers secara tuntas adalah dengan menerapkan sistem kehidupan Islam secara kaffah. Sebab Islam dengan tegas melarang bentuk praktik kapitalisme yang memporoskan kehidupan manusia pada uang, bukan ketaatan pada Allah azza wa jala.
Dengan begitu, sistem kapitalisme akan tergantikan oleh sistem Islam yang akan memberi amanah besar kepada penguasa untuk menyejahterahkan masyarakat dan menjaga hasil bumi negerinya. Masyarakat dalam sistem Islam pun punya hak untuk mengkritik penguasa yang bertindak sewenang-wenang. [**]
*Penulis Adalah Anggota Komunitas Muslimah Menulis, (KMM) Depok