OPINI | POLITIK
“Demokrasi yang sering digembar-gemborkan sebagai sistem yang ideal untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, nyatanya telah berubah menjadi mesin penggerak lahirnya oligarki baru dan penguasa zalim yang hanya memperbarui metode kediktatoran dalam kemasan yang lebih canggih,”
Oleh : Aktif Suhartini, S.Pd.I.,
KEBRUTALAN aparat pemerintah terhadap para pendemo atau pengunjuk rasa tidak dapat dipungkiri lagi. Aparat pemerintah justru melakukan kekerasan fisik menganiyaya pendemo, menyiksa ataupun menyakiti secara verbal, memaki-maki pengunjuk rasa.
Mirisnya aparat justru menyemprotkan gas air mata, dan melakukan tindakan represif lainnya. Padahal mereka sedang menyuarakan aspirasinya agar didengar oleh pemerintah. Sayangnya, mereka diperlakukan dengan semena-mena.
Sebagaimana yang terjadi pada 23 Agustus 2024 lalu, ribuan mahasiswa dari 15 perguruan tinggi menggelar unjuk rasa di depan kantor DPRD Jawa Barat di Kota Bandung. Mereka menuntut DPR RI mengeluarkan putusan resmi pembatalan RUU Pilkada 2024.
Hal tersebut terus terjadi seolah aparat tidak mau belajar dari sejarah, bahwa penggunaan kekuatan yang melampaui batas, seperti kekerasan fisik telah merenggut hak asasi manusia, yakni hak untuk berkumpul damai, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa dan diperlakukan tidak manusiawi.
Padahal, mereka bukan kriminal, tapi warga yang ingin mengkritik pejabat dan lembaga negara. Bahkan jika melanggar hukum pun, tidak boleh diperlakukan dengan tindakan brutal, polisi harus selalu berpihak pada kebenaran sehingga dapat berperan melindungi dan mengayomi masyarakat.
Tidakkah kita merasa bosan dan jenuh dengan kejadian seperti ini yang terus berulang? Itu semua terjadi akibat ketidakpuasan dengan undang-undang buatan manusia yang bisa diubah sesuai dengan kebutuhan penguasa agar terealisasinya hajat para pengusaha.
Hal tersebut menunjukkan sejatinya demokrasi tidak memberi ruang untuk kritik dan koreksi dari rakyat. Tak hanua itu, demokrasi telah gagal lindungi hak rakyat.
Secara hakiki, demokrasi tidak akan pernah membela seseorang yang membelanya mati-matian. Sebagai sebuah pemikiran, demokrasi itu utopis, meskipun dikatakan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, namun hakikatnya itu hanyalah jargon yang tidak pernah terwujud.
Sejak lahirnya, ide demokrasi di Barat maupun di negeri-negeri yang lain termasuk di negeri ini, faktanya demokrasi senantiasa berpihak kepada para kapitalis. Itulah wajah asli demokrasi yang harus kita terima hari ini.
Oleh karenanya, kita harus membuka mata lebar-lebar dan melihat kenyataan pahit di hadapan kita. Demokrasi yang sering digembar-gemborkan sebagai sistem yang ideal untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, nyatanya telah berubah menjadi mesin penggerak lahirnya oligarki baru dan penguasa zalim yang hanya memperbarui metode kediktatoran dalam kemasan yang lebih canggih.
Demokrasi, adalah tarik ulur otoritarianisme atas nama rakyat. Rakyat marah diulur, rakyat diam ditarik. Begitulah seterusnya metode yang dipakai, karena sesungguhnya musuh yang paling berbahaya bukanlah yang berdiri di hadapanmu untuk menghalangimu langkahmu menggapai tujuanmu.
Tapi dia yang seakan mendorongmu untuk maju, tapi sebenarnya hendak menjerumuskanmu. Apakah kita masih akan tetap bertahan dengan sisten demokrasi dan terus akan tertipu lagi?
Seharusnya bila ingin menjadi pemimpin maka berilmulah. Pahamilah ilmu agama seharusnya faqih dalam masalah dien, paham dan mengerti ilmu memimpin. Itu modal bagi kita agar bisa amanah dalam menjalankan roda kepemimpinan. Modal besar pula agar dapat menjadi pemimpin yang baik, menjaga rakyatnya agar berada dalam kebenaran dan mendapatkan ridha Allah atas kepemimpinannya.
Apakah yang akan terjadi apabila pemimpin itu tak berilmu dan jauh sekali dari agama? Hal ini akan menjadi bencana yang sangat besar bagi orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin yang tak berilmu, apalagi tak berakhlak, maka akan memimpin dengan mengutamakan hawa nafsu, hingga cenderung akan sangat merusak dan mampu menyesatkan banyak orang. Hingga menghasilkan banyak pengikutnya yang menjadi buta sebagaimana butanya dia dalam nafsu kekuasaan.
Sadarlah, salah satu mekanisme untuk menjaga agar pemerintah tetap berada di jalan Allah dengan adanya muhasabah lil hukam, ada lembaga seperti majelis ummah dan Qadli Madzalim, dan Islam juga menjadikan amar makruf nahi munkar sebagai kewajiban setiap individu, kelompok dan masyarakat, sehingga penguasa akan selalu berada dalam koridor sistem Islam. Penguasa juga memahami tujuan adanya muhasabah, yaitu tetap tegaknya aturan Allah di muka bumi, sehingga terwujud negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Namun, negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur akan terwujud ketika negara tersebut hanya menerapkan aturan Islam secara kaffah, yakni Khilafah Islam. [**]
*Penulis Adalah Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok