Intoleransi di Indonesia : Ancaman Hak Beragama Umat Selain Islam?

0
8
Ilustrasi

OPINI | POLITIK

“Penolakan ini mencerminkan kurangnya pemahaman dan informasi di kalangan masyarakat mengenai esensi ajaran agama, yang seharusnya mempromosikan kedamaian dan saling menghormati,”

Oleh : Anggi Angraini

Penolakan pendirian sekolah Kristen Gamaliel di Parepare, Sulawesi Selatan, oleh sekelompok masyarakat dinilai mencederai semangat toleransi yang seharusnya menjadi landasan hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Hal ini ditegaskan oleh Siti Kholisoh, Plh. Direktur Eksekutif Wahid Foundation, setiap warga negara berhak mendirikan lembaga pendidikan berbasis agama, asalkan memenuhi persyaratan administratif yang ditetapkan. Tindakan intoleransi ini tidak hanya merusak hak umat beragama, tapi juga bertentangan dengan prinsip demokrasi dan konstitusi Indonesia.

Menurut Siti, peraturan dalam sistem pendidikan nasional telah mengatur sekolah keagamaan, sebagai bagian dari pendidikan swasta, memiliki hak untuk didirikan. Penolakan ini mencerminkan kurangnya pemahaman dan informasi di kalangan masyarakat mengenai esensi ajaran agama, yang seharusnya mempromosikan kedamaian dan saling menghormati.

Untuk memelihara pluralitas, semua pihak, bukan hanya pemerintah, perlu berperan aktif mendukung dialog antaragama.

Ia juga mendorong masyarakat untuk meningkatkan minat baca dan memanfaatkan media digital dengan bijak. Literasi yang baik diharapkan dapat mengurangi intoleransi dan menciptakan masyarakat yang lebih terbuka terhadap perbedaan. Tanggung jawab untuk membangun toleransi adalah tanggung jawab bersama, dan dukungan terhadap kebijakan yang memperkuat dialog antaragama sangat diperlukan (sumber: Beritasatu.com, Antara).

Standar Ganda Intoleransi?
Intoleransi dianggap sebagai ancaman bagi kehidupan beragama di Indonesia, meskipun mayoritas penduduknya Muslim. Ironisnya, upaya umat Islam untuk menerapkan ajaran mereka seringkali dinilai intoleran. Penolakan masyarakat Parepare terhadap pendirian sekolah Kristen, misalnya, seharusnya dipahami sebagai upaya melindungi keyakinan mereka, bukan sebagai sikap intoleransi.

Demikian pula, penolakan terhadap kebaktian di lingkungan mayoritas Muslim bukanlah pertanda konflik, tapi reaksi terhadap potensi gangguan yang ditimbulkan. Masyarakat Muslim khawatir akan misi pemurtadan (misionaris), Ini juga karena biasanya dalam kebaktian dinyanyikan lagu-lagu rohani dengan suara keras, tentu ini cukup mengganggu sekitarnya. Mereka merasa terancam oleh berdirinya lembaga berbasis agama tertentu.

Ironisnya, karena tindakan seperti itu, mereka sering dilabeli sebagai intoleran, sementara tindakan yang jelas menghalangi praktik agama mereka tidak dianggap demikian. Hal ini menciptakan ketidakadilan, karena kelompok minoritas seringkali dianggap sebagai korban, meskipun mereka juga dapat bersikap intoleran. Ketiadaan dukungan negara sebagai pelindung menambah masalah, dengan liberalisasi akidah yang dibiarkan. Di sisi lain, sekolah Islam sering dituduh radikal atau fundamental, sementara ajaran Islam yang mendasar justru dilarang. Ini menunjukkan sikap intoleran negara terhadap umat Islam yang ingin menjalankan ajaran mereka dengan benar.

Toleransi menurut perspektif Barat
Istilah toleran dan intoleran muncul setelah serangan 11 September 2001, saat AS mengumumkan perang melawan terorisme, termasuk terhadap Islam radikal. AS juga mempromosikan Islam yang sejalan dengan nilai-nilai sekuler Barat, seperti Islam liberal dan moderat, untuk menghambat kebangkitan Islam.

Dokumen RAND Corporation 2007 mengusulkan pembentukan jaringan Muslim moderat yang toleran terhadap nilai-nilai Barat, seperti sekularisme, liberalisme, pluralisme, demokrasi, feminisme, dan lainnya. Akibatnya, banyak negara Muslim, termasuk Indonesia, mulai mengadopsi konsep Islam moderat yang seringkali mengarah pada sinkretisme agama.

Umat Muslim diajarkan semua agama setara, sementara Islam sebenarnya memiliki definisi toleransi sendiri yang telah dipraktikkan sejak masa Khilafah. Kerukunan antarumat beragama lebih baik pada masa itu dibandingkan dengan sekarang, karena konflik antaragama tetap terjadi, seringkali merugikan umat Islam. Oleh karena itu, umat Muslim seharusnya mengikuti definisi toleransi yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Istilah toleransi juga digunakan oleh negara-negara imperialis non-Muslim untuk memperkuat paham demokrasi sekuler dan menyerang ajaran Islam. Misalnya, seorang Muslim yang menyebut orang lain ‘kafir’ dianggap intoleran, sedangkan pengakuan terhadap kebenaran agama lain dan praktik amoral sering dianggap toleransi. Dengan demikian, istilah toleransi sering disalahgunakan untuk menyerang Islam dan mendukung sistem sekuler.

Barat menunjukkan ketidakkonsistenan dalam makna toleransi; Muslimah yang berhijab dianggap intoleran, sementara larangan hijab tidak dicap sama. Ironisnya lagi, tindakan yang melanggar toleransi, seperti lomba kartun Nabi Muhammad, dianggap sebagai kebebasan berekspresi, sedangkan penolakan umat Islam terhadap pembangunan gereja dicap intoleransi. Banyak umat Islam terjebak dalam pemahaman yang mencampurkan kebenaran dan kebatilan, di mana menegakkan kebenaran dianggap intoleran, sementara menerima kemaksiatan dianggap toleransi.

Islam Intoleran?
Islam adalah agama yang menghargai keberagaman masyarakat yang plural. Dalam Islam Daulah (Negara) akan melindungi berbagai suku dan agama selama mereka mematuhi hukum Islam. Kata ‘toleransi’ berasal dari bahasa Inggris, yaitu ‘tolerance’, dan dalam bahasa Arab, diungkapkan dengan istilah at-tasâmuh atau at-tasâhul. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), toleransi didefinisikan sebagai sifat atau sikap menenggang. Toleransi berarti menghargai, membiarkan, atau mengizinkan pandangan dan kepercayaan yang berbeda dari pandangan pribadi.

Islam menetapkan ketentuan dan batasan yang jelas mengenai toleransi, di antaranya sebagai berikut:

Pertama, Islam menolak kebenaran agama atau keyakinan lain, yang dianggap sebagai kekufuran. Ini mencakup paham seperti kapitalisme, demokrasi, pluralisme, sekularisme, dan liberalisme. Semua agama selain Islam dianggap kufur, karena hanya Islam yang diridhai Allah.

Mereka yang meyakini paham selain Islam, baik sebagian maupun keseluruhan, dianggap kafir, seperti tercantum dalam firman Allah:
“إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ”
Agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam (QS Ali Imran: 19)

Kedua, tidak ada toleransi dalam perkara-perkara yang telah ditetapkan oleh dalil qath’i, baik dalam akidah maupun syariat. Islam tidak mengizinkan keyakinan yang bertentangan dengan akidah, seperti ateisme dan politeisme, serta penolakan terhadap ajaran seperti kewajiban salat, zakat, dan puasa.

Ketiga, interaksi antara Muslim dan non-Muslim diizinkan dalam hal-hal mubah, seperti jual beli dan kerja sama bisnis, namun ada larangan dalam hal-hal tertentu yang dilarang syariat, seperti menikahi wanita musyrik.

Keempat, meskipun ada ketentuan ini, Muslim memiliki kewajiban untuk berdakwah dan berjihad melawan kaum kafir sesuai dengan syariat Islam. Non-Muslim yang tinggal di bawah pemerintahan Islam akan mendapatkan hak dan perlindungan yang sama dengan Muslim, sedangkan hubungan dengan kafir harbi adalah hubungan perang, di mana interaksi dilarang.

Islam juga mengajarkan pentingnya dakwah dan perlindungan bagi non-Muslim yang hidup di bawah naungan pemerintahan Islam. Sejarah mencatat bahwa sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan para khulafaurasyidin, Islam telah menunjukkan sikap toleran terhadap pluralitas. Di Madinah, berbagai suku dipersaudarakan di bawah prinsip keimanan. Perlakuan adil terhadap non-Muslim di Daulah Islam bukan sekadar konsep, tetapi telah terbukti dalam praktiknya.

Umat Muslim telah menunjukkan bagaimana syariat Islam mampu mengatasi keragaman dan perbedaan. Dalam praktiknya, Umat Islam tidak memaksa orang kafir untuk memeluk Islam (lihat Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 256) dan membiarkan mereka menjalankan ibadah sesuai keyakinan mereka.

Selain itu, umat Muslim dilarang menghina keyakinan lain tanpa dasar ilmu (lihat Al-Qur’an surah 6: 108). Islam juga mendorong umat Muslim untuk berdialog dengan nonmuslim secara baik (lihat Al-Qur’an surah 29: 46) dan memenuhi hak-hak mereka dalam kerangka yang ditentukan oleh syariat.

Seorang orientalis dan sejarawan Kristen, T.W. Arnold bahkan pernah menyebutkan dalam bukunya, The Preaching of Islam: A History of Propagation of the Muslim Faith, Ia menyatakan bahwa meskipun jumlah orang Yunani lebih banyak daripada Turki di provinsi Khilafah di Eropa, mereka mendapatkan toleransi keagamaan dan perlindungan jiwa serta harta. Ini membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan.

Arnold juga mencatat, perlakuan adil terhadap warga Kristen oleh Pemerintahan Ottoman selama dua abad setelah penaklukan Yunani menciptakan contoh toleransi yang belum pernah ada di Eropa. Kaum Protestan Silecia menghormati pemerintah Turki, dan kaum Cossack yang tertekan di Rusia menikmati suasana toleransi di bawah pemerintahan Sultan.

Oleh karena itu, umat Muslim tidak mengalami masalah dalam toleransi. Mereka terbiasa hidup dalam kemajemukan dan memiliki tradisi toleransi yang tinggi, memperlakukan orang dengan keyakinan berbeda secara santun, adil, dan manusiawi. [**]

*Penulis Adalah Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta