Agama dan Kepemimpinan Ideal

0
19

Penulis: Sudarnoto A. Hakim, (*)

Lapan6online.com : Leadership yang berbasiskan kepada landasan spiritualitas agama telah lama menjadi perhatian masyarakat luas dan bahkan para ahli. Perdebatan tentu muncul dan tidak sedikit kalangan yang mempertanyakan pentingnya agama dalam menata kehidupan.

Pro-kontra ini muncul antara lain juga karena kuatnya muatan politik. Tak sedikit juga kalangan yang sangat meyakini bahwa  kehadiran agama dalam membangun kehidupan dan memecahkan berbagai permasalahan sangatlah penting dan karena itu, tidak sedikit kita jumpai sekarang gerakan baik yang berskala nasional maupun internasional yang menawarkan spiritualitas agama atau ajaran agama sebagai landasan pijak atau perspektif dalam memberikan makna penting bagi perubahan mendasar terhadap mentalitas, kepribadian dan bahkan sistem kehidupan.

Mungkinkah itu? Paper ini dimaksudkan ingin memberikan perhatian kepada pentingnya pendidikan karakter di mana kesadaran agama disemai dan dipupuk dan soal prophetic leadership sebagai model penting membangun peradaban luhur.

Pendidikan Karakter

Penulis ingin memberikan pemaknaan bahwa apa yang disebut sebagai gerakan spiritualitas agama adalah merupakan upaya yang sistimatis dalam rangka menciptakan karakter, watak atau kepribadian yang kokoh yang bersumber kepada nilai-nilai luhur kebudayaan masyarakat dan terutama kepada ajaran agama. Dan ini adalah pendidikan.

Esensi pendidikan dengan demikian ialah melahirkan manusia yang berkarakter/bekepribadian kokoh, bukan semata melahirkan manusia yang pandai atau berilmu pengetahuan. Ada visi yang kuat dari pekerjaan “mendidik” ini. Mendidik adalah upaya sungguh-sungguh terprogram dan sistimatis untuk mengangkat “derajat, martabat” dan “membebaskan” masyarakat dari keterpurukan antara lain akibat dari sikap diskriminatif.

Banyak masyarakat yang saat ini, misalnya, tidak memperoleh akses pendidikan yang wajar karena diskriminasi. Pendidikan pada hakikatnya memang membangun manusia seutuhnya: kepribadian diperkuat, wawasan dikembangkan dan integritas diperkokoh.

Pendidikan bukanlah seperti pabrik yang melahirkan pekerja untuk economic advantages sebesar-besarnya. Ada tujuan moral, ada soal Tuhan, kepribadian, ilmu integratif dan komitmen membangun kesejahteraan sejati. Kebudayaan yang memberikan tempat bagi kemanusiaan harus dibangun melalui pendidikan paradigmatik seperti ini.

Kepeloporan pendidikan liberatif-humanistik seperti ini benar-benar dibutuhkan saat ini sehingga benar-benar melahirkan pribadi-pribadi yang berkarakter kuat yang nampak mulai semakin tidak terasa saat ini. Banyak kasus eksploitasi dan korupsi yang terjadi bahkan di lembaga pendidikan pada umumnya; penindasan secara sosial ekonomi dan bahkan fisik terjadi; kejahatan juga terjadi.

Kehawatiran masyarakat mulai muncul bahwa keteladanan akan terkubur, nilai-nilai luhur terpinggirkan. Masyarakat skeptis atas ketakberdayaan lembaga pendidikan sebagai tempat yang menyenangkan menyemai ilmu, memperkokoh kepribadian dan menempa integritas. Pendidikan mulai tereduksi maknanya sedemikan rupa menjadi persoalan teknikal yaitu transfer ilmu pengetahuan semata.

Karena itu, pemerintah bersama dengan elemen masyarakat lainnya perlu memainkan peran kepeloporan renaissans pendidikan  agar ke depan pendidikan terutama di Indonesia benar-benar mencerahkan dan melahirkan kebudayaan luhur.

Kepemimpinan Yang Kredibel

Hal atau faktor lain yang patut menjadi perhatian ialah soal leadership. Tak dipungkiri kenyataan bahwa carut marut moral yang antara lain sudah menjadi wabah nasional ini sangat kuat terkait dengan melemahnya kepemimpinan, sebuah kepemimpinan yang tidak berintegritas.

Ada beberapa integritas yang seharusnya dimiliki para pemimpin, antara lain ialah integritas moral keagamaan, integritas institusional, integritas sosial, integritas politik, integritas hukum dan Integritas kebangsaan.

Atas dasar ini maka tidak berlebihan untuk kembali merujuk kepada Propthetic Leadership sebagai model ideal yang sesungguhnya masih sangat relevan saat ini. Dari sudut Islam, empat sifat wajib Rasul Muhammad yaitu Sidiq, Tabligh, Amanah dan Fathonah merupakan modal utama dalam mengemban amanah kepemimpinan membangun kemaslahatan bersama.

Kepemimpinan inilah yang, sebagaimana tercantum di dalam al-Qur’an Surat Ali Imron ayat 110, mengemban misi  “humanisasi, liberasi dan transendensi.” Kepemimpinan profetik ini harus diupayakan, diperjuangkan dan ditegakkan secara sungguh-sungguh dan progresif (berorientasi ke depan dan berkemajuan).

Sebagai ilustrasi soal pentingnya menegakkan dengan sungguh-sungguh kepemimpinan ini ialah kalau ada penguasa yang Dhalim/mendholimi masyarakat: tidak adil, koruptif, sewenang-wenang dan melakukan berbagai bentuk kejahatan (kemunkaran) dan dibiarkan berlangsung, maka yang salah bukan saja penguasa akan tetapi masyarakat  yang tertindas yang berdiam diri tidak memperjuangkan (Jihad) dengan sungguh-sungguh  menghentikan kedhaliman. Karena itu, harus ada kelompok “Khoiru Ummah” (masyarakat terpilih dan terbaik dari kelompok manapun mereka) atau “civil society” yang melakukan pembebasan mengembalikan/menegakkan kedaulatan dan martabat masyarakat, negara dan bangsa sekaligus mengemban missi pencerahan.

Dengan demikian, menegakkan kepemimpinan itu, siapapun yang memimpin, dalam perspektif di atas sesungguhnya adalah melanjutkan missi kenabian (Nubuwah)  dan ini berlaku sepanjang masa. Karena itu wajib ditaati (Fardhu Kifayah). Ketaatan kepada kepemimpinan ini karena  adanya dua missi utama kenabian  yang diemban yaitu (1) haratsat al-Din: menjaga, melindungi, melestarikan agama, dan (2) Siyasat al-Dunya: mensiasati, mengatur, membangun kehidupan dan kemaslahatan bersama.

Artinya, jika ada kepemimpinan yang tidak melakukan tugas dan fungsinya (tidak Amanah) mengemban dua missi kenabian tersebut maka harus dikoreksi/diluruskan arah kiblat kebangsaannya karena berarti secara keagamaan maupun secara politik bermasalah serius.

Mandat politik dan hukum saja (meskipun penting) sama sekali tidak cukup menjadi modal sebagai pemimpin masyarakat dan bangsa. Missi Nubuwah musti diwujudkan lewat sebuah kepemimpinan politik yang kredibel, efektif, kuat melalui sebuah mandat politik yang meyakinkan dan keputusan hukum yang pasti.

Political leadership dalam perspektif ini merupakan Fardhu Kifayah bagi umat Islam karena itu harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Umat Islam harus menjadi  pemain utama dan teladan politik kebangsaan, di  wadah-wadah politik maupun kekuatan sosial manapun mereka. Masyarakat, bangsa atau negara yang dikendalikan oleh sebuah political leadership di atas adalah masyarakat, bangsa, negara yang berdaulat, bermartabat, berkeadilan, maslahat ammah; komitmen untuk bersih-bersih tidak diragukan.

Inilah masyarakat, negara bangsa yang, sebagaimana diurai di atas, berkomitmen untuk mengemban missi Nubuwah: (1) humanisasi, bersedia/berkomitmen untuk menjunjung tinggi dan membela martabat kemanusiaan dan kedaulatan; tidak membiarkan  jika ada yang direndahkan dan diinjak-injak oleh siapapun dengan alasan apapun. (2) Liberasi, berkomitmen kuat untuk membebaskan masyarakat dari jerat-jerat kemiskinan struktural, dari dominasi pemilik modal, dari kongsi kekuasaan dan uang; berkomitmen kuat untuk menciptakan keadilan dan tegakkan hukum seadil-adilnya. (3) Transendensi, berkomitmen kuat untuk melindungi agama, memfasilitasi masyarakat agar beriman bertaqwa apapun agama dan kepercayaan mereka. Tidak ada diskriminasi. Melindungi masyarakat dari segala bentuk ancaman pehamanan kagamaan yang menentang ideologi bangsa dan merusak kemanusiaan.

Pungkasan

Menciptakan pribadi yang luhur dan yang berkarakter kuat meniscayakan untuk membangun pendidikan yang benar-benar luhur terbebas dari kekotoran. Nilai-nilai luhur yang harus disemai dalam menyelenggarakan pendidikan bisa bermuara dari ajaran-ajaran agama dan kebudayaan. Reorientasi pendidikan atau renaissans pendidikan sangat diperlukan untuk melahirkan pribadi-pribadi yang luhur yang memiliki basis spiritual agama yang kokoh.

Faktor kepemimpinan juga sangat penting dalam membangun karakter yang luhur. Kepemimpinanlah yang memberikan arah dan keteladanan dan karena itu harus kredibel. Prophetic leadership haruslah menjadi rujukan dalam mengemban kemaslahatan bersama. Wallahualam.

Penulis adalah associate professor FAH UIN Jakarta, Wakil Ketua Majelis Diktilitbang PPM, Ketua Komisi Pendidikan dan Kaderisasi MUI (rmol)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini