“Terjadinya “common platform”antara perjuangan Jumhur Hidayat dan kaum buruh progresif dengan Anies Baswedan ke depan. Peluang untuk membuat UU Perburuhan yang lebih Pancasilais akan sangat sangat mungkin terjadi,”
Oleh : Dr. Syahganda Nainggolan
PEMIMPIN besar kaum buruh, yang juga ketua Serikat Buruh KSPSI, Mohammad Jumhur Hidayat, telah menjelaskan kepada hakim pengadilan PTUN Jakarta kenapa upah buruh yang dinaikkan Anies Baswedan pada tahun 2022, sebesar 5,1% mempunyai legitimasi historis.
Dalam “Bela Anies soal UMP DKI, Jumhur Sebut Upah Buruh di 3 Provinsi Ini lebih Buruk Dari Era Kolonial”, JPPN, 8/6/22, menurut dia upah buruh di era kolonial adalah setara dengan 6,5 kg beras perhari sementara sekarang ini upah buruh cuma 5,6 kg beras saja perhari.
Legitimasi historis yang harus dicamkan adalah gugatan soal nasib kaum buruh (tani) yang miskin tidak masuk akal itu disampaikan Bung Karno dalam pledoinya “Indonesia Menggugat”, dalam pengadilan di Bandung, 1930. Sudah jelas itu adalah masa kolonial. Sehingga kaum buruh tidak pantas mendapatkan nasib yang sama atau bahkan lebih buruk di era kemerdekaan ini.
Sesungguhnya, Anies dan Jumhur saling membela dalam urusan kaum buruh. Sebab, Jumhur datang di persidangan PTUN itu membela keputusan Anies yang digugat kaum kapitalis, karena mereka tidak bisa menerima Anies melawan UU Omnibus Law, yang turunannya PP36/2021 terkait upah hanya membolehkan kenaikan upah sebesar 1% saja.
Ganjar Pranowo, misalnya, hanya menaikkan 0,87%. Artinya Anies menaikkan upah sebanyak 580 kali lebih banyak dari Ganjar Pranowo saat itu. Pengusaha marah dan menggugat Anies ke pengadilan. Jadi Anies membela kaum buruh dan Jumhur membela keputusan Anies yang membela kaum buruh.
Alienasi Kaum Buruh
Problem pokok perjuangan buruh adalah pembebasan diri dari alienasi. Apa itu? Alienasi adalah situasi di mana buruh tidak ikut mengontrol nilai dari produk yang dia ikut menciptakannya. Dalam dunia modern yang dikontrol kaum kapitalis, buruh hanya merupakan skrup-skrup kecil yang disetarakan dengan alat produksi lainnya, tanah, uang dan mesin-mesin.
Buruh bukanlah manusia, karena yang dihargai oleh majikan adalah jasa tenaga buruh. Jasa tenaga ini bukan human, melainkan satuan kerja yang dihasilkan oleh tenaga buruh per waktu tertentu. Dengan membayar satuan kerja tersebut, hubungan industrial antara buruh dan majikan terputus.
Untuk mempertahankan dirinya dalam sistem reproduksi konstan, buruh harus membelanjakan uang upahnya untuk mengkonsumsi makanan, sehingga makanan itu kembali menghasilkan tenaga untuk dijual kembali pada majikan.
Jika dia gagal menciptakan tenaga baru, maka dia akan tersingkir dari sistem kerja yang ada. Akhirnya buruh masuk pada siklus kehidupan produksi dan reproduksi, lalu lelah dan kehilangan arti kehidupan lainnya dalam sistem sosial yang lebih besar.
Pada saat buruh harus bertahan hidup yang keras dalam sistem produksi kapitalis, maka dia teralienasi atau terasing. Karena hubungan antara dirinya dengan manusia lainnya, dalam sistem kerja, serta dalam proses produksi, terbatas pada kepentingan non human. Produk hasil kerjanya juga tidak terhubung lagi pada sistem nilai atau rasa yang dia sertakan pada proses produksi.
Pada era tertentu, khususnya di eropa, alienasi kaum buruh berhasil dihilangkan atau setidaknya direduksi secara tajam melalui berbagai kebijakan sistem kerja yang manusiawi (decent work, yakni upah yang layak, welfare, dialog antara buruh-majikan, karir, dll) dan bahkan memberikan kekuasaan politik bagi kaum buruh, baik di parlemen maupun pemerintahan.
Dalam posisi yang ekstrem, misalnya, di negara Skandinavia, seorang buruh yang melebihi waktu kerja, ditelpon oleh pejabat dinas Tenaga Kerja, diingatkan untuk pulang ke rumah, karena keluarga mereka sudah menunggu. Pemerasan tenaga buruh diganti dengan hubungan industrial yang manusiawi.
Omnibus Law Yang ditolak
Jumhur Hidayat telah di penjara rezim Jokowi karena melakukan penghinaan terhadap UU Omnibus Law (OBL) yang mengebiri nasib kaum buruh. Menurutnya, OBL telah menghancurkan hubungan industrial yang sudah mulai membaik di era sebelum Jokowi. Di era berlakunya OBL maka upah buruh, kerja layak, welfare dan juga kepastian kontrak kerja hilang. Begitu juga banyak hak-hak buruh lainnya terabaikan. Oleh karena itu, Jumhur beserta organisasinya melakukan perlawanan menolak berlakunya UU Omnibus law tersebut.
Hubungan industrial yang Pancasilais mengharuskan industrialisasi yang tumbuh karena kerjasama yang baik antara buruh dan kaum kapitalis. Keduanya harus berbagi tanggung jawab, sekaligus berbagi kesejahteraan. Menurut Jumhur, pembagian keuntungan kaum buruh dan majikan di Indonesia adalah yang terburuk di Asean, yakni porsi return to capital mencapai 61 persen, sedang return to Labor (buruh) hanya 39%.
Belum lagi hak-hak normatif buruh untuk berkembang sebagai sumberdaya manusia Indonesia yang terabaikan. Jika kita membandingkan buruh kita dengan buruh Korea Selatan, Malaysia dan Thailand, maka kita akan melihat berbagai keterbelakangan terjadi saat ini di sini.
Itu pula yang menjelaskan jutaan buruh kita merantau mengadu nasib di Malaysia dan berbagai negara, yang seharusnya bisa saja tidak terjadi, asalkan kita membangun hubungan industrial yang Pancasilais.
Dalam hal upah, memang menarik saat ini. Atas alasan diskresi, menteri tenaga kerja membuat payung di luar OBL dalam soal upah, yakni Permenaker 18/2022. Upah pada tahun 2022 akhirnya bisa naik di atas inflasi, seperti Ganjar menaikkan upah 8,01%. Namun, jika kita melihat diskresi Menaker tersebut, kita harus berterima kasih pada kaum buruh yang selama setahun lebih berdemonstrasi menentang penggunaan OBL.
Meskipun dalam hal upah telah ada diskresi, namun jika OBL tidak dicabut, selamanya, maka tantangan upah tetap besar, karena diskresi upah oleh Menaker saat ini bisa dilakukan berbeda atau lebih buruk pada masa mendatang, jika ganti menterinya.
Oleh karena itu maka gerakan kaum buruh menolak OBL harus terus disalurkan pada pemimpin mendatang, yang mengusung tema perubahan. Sebuah tema yang menolak kepemimpinan status quo, di mana dipastikan akan mempertahankan UU yang diciptakan rezim Jokowi.
Anies dan Social Market Economy
Jumhur Hidayat telah mengecam OBL dan masuk penjara. Menurutnya OBL adalah untuk “primitive investors”. Primitive investor bisa disamakan dengan kaum kapitalis yang rakus.
Pada sisi lain, Anies Baswedan menawarkan perubahan sistem perekonomian ke depan, jika dia memimpin Indonesia, dari ” Free Market Economy ” menjadi “Social Market Economy”. Social Market Economy lebih berkeadilan sosial, karena asumsi market bekerja sempurna direvisi.
Dalam konteks perburuhan, konsep ini tidak lagi melihat buruh sebagai objek belaka, khususnya bukan lagi sebagai alat produksi. Melainkan, buruh merupakan manusia. Dalam free market economy, free fight competition, efisiensi maksimal dicapai dengan menyingkirkan buruh-buruh yang tidak beruntung.
Sedangkan dalam social market economy, buruh akan dikembangkan menjadi kekuatan produktif dengan bantuan negara. Tema ini sering dikenal sebagai Active Labor Market Policy (ALMP).
Konsekuensi pilihan Anies atas Social Market Economy adalah terjadinya “common platform”antara perjuangan Jumhur Hidayat dan kaum buruh progresif dengan Anies Baswedan ke depan. Peluang untuk membuat UU Perburuhan yang lebih Pancasilais akan sangat sangat mungkin terjadi.
Penutup
Membebaskan kaum buruh dari alienasi dan ketertindasan membutuhkan kerangka berpikir yang revolusioner, bukan reaksioner. Untuk itu kepemimpinan ke depan, yang pro perubahan, harus bertemu dengan cara berpikir buruh yang progresif.
Anies Baswedan dan Jumhur Hidayat, ketua kaum buruh, telah bersinergi dalam menolak Omnibus Law diterapkan dalam penetapan upah murah tahun lalu. Anies, tahun lalu, membuat UMP naik 5,1%, Ganjar pada saat yang sama menaikan 0,87%, dengan resiko anti UU OBL. Di pengadilan, Jumhur Hidayat, membela keputusan Anies tersebut. Sekali lagi di sini Anies menunjukkan watak anti oligarki.
Soal upah adalah salah satu soal bagi hak-hak buruh dalam sistem hubungan industrial Pancasila yang sesungguhnya. Bahkan, riset mengatakan hak-hak buruh soal upah tidak bisa di subtitusi dengan hak welfare lainnya (kesejahteraan dari pemerintah). Meskipun, hak-hak lainnya harus diperjuangkan juga, agar menjadikan buruh sederajat dengan majikan sebagai sesama manusia.
Perjuangan buruh kedepan, khususnya kaum buruh progresif, harus bersama dengan pemimpin perubahan. Itu adalah kesadaran revolusioner kaum buruh. Pemimpin Kaum Buruh Revolusioner, seperti kelompok Jumhur Hidayat, harus membicarakan sinergitas dengan Anies Baswedan untuk membebaskan buruh dari rantai alienasi dan ketertindasan, yang sudah berlangsung seratus tahun sejak VOC. Hancurkan upah murah.
May Day. Selamat Hari Buruh! (*)
*Penulis Adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle