OPINI
“Memang benar, seharusnya hukum berlaku sama kepada siapa saja, tak lagi memandang apakah rakyat ataupun pejabat, apakah ulama ataupun umara. Serta tak lagi memandang suku dan agamanya,”
Oleh : Tri Yuni Sadikin
DI NEGERI ini, kita sering mendengar ungkapan “Indonesia adalah negara hukum”. Seakan dianggap bijaksana, para petinggi dan pesohor negeri dengan bangga berkata bahwa Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan menganggap bahwa semua warga negara sama kedudukannya dimata hukum.
Nyatanya, azas praduga tak bersalah hanya sebagai pembuka perkara, pemanis lip service. Memang benar, seharusnya hukum berlaku sama kepada siapa saja, tak lagi memandang apakah rakyat ataupun pejabat, apakah ulama ataupun umara. Serta tak lagi memandang suku dan agamanya.
Kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia seakan tak berlaku pada peradilan hukum disini.
Namun apakah memang benar demikian adanya? Sementara berbagai fakta didepan mata berkata sebaliknya. Keadilan bagaikan barang langka yang mahal harganya. Tidak cukup terbayar dengan harta namun juga nyawa. Diantara banyaknya fakta kasus ketidakdilan yang terjadi, marilah kita melihat pada satu kasus yang dialami seorang ulama besar, yakni Habib Rizieq Shihab atau HRS.
Nampak nyata perlakuan berbeda kepada para ulama yang terlihat berseberangan pendapat dengan penguasa. Ulama yang sejatinya menjadi pendamping, penasihat umara dengan ilmu dan kebijaksanaannya serta mampu membawa negara bertakwa dan berdaya, justru tidak dipandang oleh sedikitpun oleh penguasa dzalim saat ini. Kecuali ulama yang dekat dengan kekuasaan, haus akan godaan harta, tahta dan jabatan.
Diskriminasi hukum menjadi hal biasa dalam sistem sekular saat ini. Perlakuan hukum terhadap rakyat jelata ataupun ulama akan berbeda dengan perlakuan hukum yang diterima oleh terdakwa pada kasus korupsi ataupun narkoba ataupun pencemaran nama baik, asalkan dekat dengan penguasa, hukum berjalan leluasa suka-suka. [*]