OPINI
“Termasuk pendidikan yang bisa dinikmati secara gratis dengan kurikulum dan tenaga pengajar yang berkualitas. Bukan hanya siswa yang terpenuhi hak-hak belajarnya, para guru juga diberi upah yang sangat besar pada masa itu,”
Oleh : Irma Sari
Beberapa tahun terakhir, pendidikan di Indonesia sepertinya kian memprihatinkan. Berbagai kebijakan-kebijakan yang tak masuk akal diterapkan dalam sistem pendidikan di tiap-tiap sekolah. Mulai dari kurikulum yang berganti-ganti sebanyak 11 kali, terhitung dari tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, 2013, dan 2015.
Nyatanya, berbagai macam kurikulum tak berdampak signifikan terhadap kemajuan sumber daya manusia di negeri ini. Bayangkan, pada masa golden age dimana anak-anak belum diwajibkan untuk bisa calistung (membaca, menulis, berhitung), mau tak mau para orang tua memasukkan anak-anaknya ke TK atau PAUD, karena kurikulum menekankan pada bagaimana anak siap sekolah dan nyaman berada dilingkungan sekolah.
Ditambah lagi dihapuskannya pendidikan moral dan agama pada mata pelajaran, membuat moral dan etika kebanyakan siswa-siswinya kian bobrok bahkan tak beradab terhadap guru. Serta yang tak kalah memprihatinkan fenomena siswa SMP yang tak bisa membaca.
Dengan adanya larangan untuk memberikan peringkat dan setiap murid harus naik kelas tanpa memperhitungkan kemampuannya. Ini menghilangkan daya juang mereka dalam akademis karena bisa tak bisa mereka tetap bisa naik kelas.
Lantas, bagaimana Islam memandang permasalahan ini? Dalam Islam menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap ummat dan setiap kalangan. Dibawah kepemimpinan Islam biaya pendidikan gratis dan difasilitasi oleh negara dari jenjang sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi.
Tentunya hal ini bukan khayalan atau dongeng semata, karena pernah terjadi satu abad sebelum runtuhnya daulah kepemimpinan Islam yang pernah berjaya dalam memimpin 2/3 dunia.
Dibawah naungan Islam, semua hak-hak warna negara terpenuhi dengan adil dan bijaksana, termasuk pendidikan yang bisa dinikmati secara gratis dengan kurikulum dan tenaga pengajar yang berkualitas. Bukan hanya siswa yang terpenuhi hak-hak belajarnya, para guru juga diberi upah yang sangat besar pada masa itu.
Berbanding terbalik dengan sistem kapitalisme yang terjadi saat ini, bukan? Dimana para penguasa hanya mementingkan kepentingan pribadi dan keluarganya, tak serta merta memikirkan kepentingan masyarakat. Materi dan keuntungan menjadi tolak ukur dalam menerapkan undang-undang.
Jadi tak heran jika para pelajar sekarang yang harusnya kelak menjadi penerus peradaban, kini rusak akhlak dan prestasinya. Hal ini sejalan dengan upah guru yang begitu minim dengan seabrek tugas dan resiko dalam mendidik siswa-siswinya yang terkadang suatu waktu dapat menjebloskan mereka dalam permasalahan hukum. Wallahu’alam bishawwab. (**)
*Penulis Adalah Aktivis Dakwah