OPINI | POLITIK
“Buktinya banyak anak di bawah umur yang dengan mudah mengakses dan membeli miras. Bahkan pengonsumsi miras paling banyak adalah kaula muda,”
Oleh : Eka Purwaningsih, S.Pd,
RAMADHAN sebentar lagi. Seperti biasa, menjelang bulan Suci, biasanya akan banyak dan lebih diperketat lagi Razia “penyakit masyarakat” termasuk razia minuman keras (miras) atau minuman beralkohol (minol).
Namun, apakah penjual miras skala besar ditangkap? Pabrik produsen miras yang memiliki izin/legal dihukum dan ditindak tegas? Jawabannya tentu tidak.
Miras yang haram hanya ditertibkan, diatur tapi tidak dilarang. Diperketat hanya menjelang Ramadhan, tidak setiap saat. Menjadi ilegal jika dijual di tempat yang tidak berizin, tapi menjadi legal di tempat yang memiliki izin.
Dalam UU minol, miras masih boleh diperjualbelikan di tempat tertentu sesuai dengan aturan UU. Ini menjadi bukti bahwa secara sadar atau tidak sadar, saat ini kita diatur dengan sistem Kapitalisme-sekuler.
Wajarlah jika eksistensi miras tidak dapat diberantas selama negeri ini terkungkung dengan aturan kapitalistik. Aturan yang akan berpihak kepada apapun yang mendatangkan keuntungan materi yang besar. Karena menjadi salah satu pemasukan negara dari pajak. Pendapatan negara dari minuman beralkohol dilaporkan pada tahun 2017 mencapai Rp 5,6 Triliun (Republika.co.id 13/04/2018).
Bahkan, Dirktur Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai, Heru Pambudi menyatakan Pemerintah menargetkan setoran cukai minuman mengandung etil alkohol (MMEA) sebesar Rp 6,5 triliun di tahun 2018 (Liputan 6.com 07/11/2017).
Miras bukanlah suatu yang haram di negeri ini. Keberadaannya tidak dilarang, tetapi diatur dan diawasi. Sementara masih banyak terjadi pelanggaran dan kelonggaran pengawasan. Buktinya banyak anak di bawah umur yang dengan mudah mengakses dan membeli miras. Bahkan pengonsumsi miras paling banyak adalah kaula muda.
Harga miras legal selangit, sudah tentu tidak dapat dijangkau oleh mereka yang sudah kadung kecanduan miras namun kontong pas-pasan. Akhirnya mengkonsumsi miras oplosan yang ramah di kantong dan mudah didapat menjadi pilihan.
Padahal, tidak dapat dipungkiri bahwa terjadinya tindak kriminal, kecelakaan lalulintas, pembunuhan, pemerkosaan yang terjadi akibat miras sebagai pemicunya. Miras juga akan menimbulkan berbagai gangguan kesehatan bagi peminumnya, mulai dari keracunan, kerusakan organ penting, kerusakan syaraf hingga kematian.
Paradigma kapitalistik inilah sesungguhnya yang menyebabkan penyelesaian kasus miras tak ada ujungnya. Akhirnya kasus serupa terus saja terjadi dan berulang sementara kerusakan moral, kerusakan sosial, rusaknya generasi sudah sangat jelas di depan mata.
Tak heran, karena di negeri yang menganut kapitalisme-sekuler, kepentingan pemilik modal lebih didengar sementara aturan agama di kesampingkan.
Miras harus diberantas hingga ke akarnya tanpa menimbang apakah legal atau ilegal. Harus dihapuskan produksi-distribusi miras dengan alasan apapun karena bertentangan dengan syariat.
Jika sudah sangat merusak, mengapa masih saja paradigma kapitalistik yang digunakan?
Kembali saja pada Islam. Islam sudah sangat jelas menyatakan bahwa semua yang memabukkan itu haram, termasuk miras. Maka bukan hanya mengkonsumsinya, memproduksinya, menjualnya dan lain-lain pun tidak diperbolehkan.
Dari Anas ra. “Sesungguhnya Rasulullah SAW melaknat dalam khamr sepuluh personel yaitu: pemerasnya (pembuatnya), distributor, peminumnya, pembawanya, pengirimnya, penuangnya, penjualnya, pemakan uang hasilnya, pembayarnya, pemesannya.” (HR Ibnu Majah dan Tirmidzhi).
Islam akan menutup rapat keran miras dari hulu sampai ke hilir. Memberikan hukuman yang tegas bagi siapa saja yang melanggarnya. Islam memandang bahwa menjaga keamanan, kehormatan rakyat, dan keselamatan generasi adalah tanggung jawab negara yang jauh lebih berharga nilainya dibandingkan dengan keuntungan materi.
Penerapan syari’at islam secara sistemik akan mampu melenyapkan kemirisan akibat miras, semua masalah dan kerusakan yang ditimbulkannya. Dengan begitu akan mendatangkan keberkahan di langit dan di bumi sebab Allah ridho karenanya. Menjadi Rahmat bagi seluruh alam. Wallahu’alam bishawaab. [*GF/RIN]
*Penulis Adalah Pemerhati generasi, Pegiat literasi