“Politik uang dalam budaya di Indonesia seperti memperoleh lahan yang subur seperti biasanya menjelang Pilpres, Pileg maupun Pilkada — bahkan Pilkades — di negeri kita,”
Oleh : Jacob Ereste
MUSIM begal sedang menjadi model untuk lebih cepat mewujudkan hasrat sahwat yang bejad. Dalam habitat politik pun, upaya merampas secara paksa partai politik sedang trend seperti mode menjelang Pemilu 2024. Jalan pintas serupa ini konon ceritanya bermula dari kebiasaan untuk hidup enak tanpa kerja keras.
Jadi segera bisa dibayangkan, bila budaya membegal partai politik sudah menjadi trend pada generasi tua, lalu bagaimana untuk generasi muda yang sangat diharap menjadi generasi penerus tidak hanya dalam peralihan politik, tapi juga dalam banyak hal yang lain.
Agaknya, fenomena begal politik ini, sealur dengan budaya dinasty yang mengemuka, akibat kegagalan dalam proses kaderisasi dan regenerasi yang dipaksakan, sehingga hasilnya pun secara maksimal paling banter setengah matang saja.
Fenomena dari kegagalan proses kaderisasi untuk regenerasi dominan telah dipertontonkan oleh partai politik yang tak cuma enggan melakukan pergantian kekuasaan (kepemimpinan), karena partai politik — juga negara — dikelola seperti perusahaan. Akibatnya, untung rugi dalam arti finansial menjadi acuan utama.
Politik uang dalam budaya di Indonesia seperti memperoleh lahan yang subur seperti biasanya menjelang Pilpres, Pileg maupun Pilkada — bahkan Pilkades — di negeri kita. Sikap bengal seperti ini wajar mulai disikapi oleh warga masyarakat yang sadar yang selama ini hanya diposisikan sebagai obyek — bukan subyek, maka dipilihlah cara dan sikap yang paling sederhana dan gampang ; ambil saja uang dan sembakonya, tapi tetap tidak memilih orangnya.
Dalam bidang hukum dan perundang-undangan — seperti diakui okeh Menko Polhukam Machfud MD — sudah menjadi bagian dari usaha industri. Semua bisa diatur sesuai pesanan. Termasuk dalam bidang pendidikan yang telah dibuktikan oleh perilaku rektor yang menerima sogokan. Sebab untuk menjadi pejabat rektor di perguruan tinggi, tarifnya sekarang berkisar antara dua hingga tiga milyar yang harus dihibahkan untuk sejumlah pihak.
Pengakuan yang gamblang ini diungkap juga oleh sejumlah kawan yang tersandung dalam proses pemilihan rektor di negeri ini. Umumnya mereka mengeluhkan, tarif yang dipatok lebih mahal dibanding nilai rumah dinas berikut kendaraan dinas yang kelak memang akan mereka nikmati juga.
Lalu apa yang tidak bernilai komersial, lha wong pasir laut saja boleh dikeruk semaunya sendiri demi cuan. Isu yang heboh terakhir adalah melelang sejumlah jalan toll yang tak mungkin mengalami kerugian itu, jika dibanding dengan Perusahaan Kereta Api yang juga merupakan kekayaan milik pemerintah.
Jadi hasrat untuk menjual jalan toll itu, bukan cuma ingin mendapat nilai yang ada dibawah meja dari manipulasi harga jual, rapi yang lebih gila dari itu sama halnya dengan menggadaikan kedaulatan negara dan kedaulatan rakyat yang seharusnya dilindungi seperti perintah UUD 1945 dengan pagar etika dan moral dan akhlak Pancasila.
Dalam kerangka inilah relevansi etik profetik yang dikirim Tuhan dari langit patut dan perlu dijadikan penuntun agar tak sesat menuju akhirat. Sebab saat melihat banyak wajah yang menghiba seperti memohon kepada Tuhan agar berkenan untuk menunda waktu kematian yang bejibun jumlahnya di rumah sakit, seakan Tuhan pun masih bisa ditipu dan dimanipulasi, seperti beragam pekerjaan yang telah dilakukan di bumi.
Jadi fenomena dalam budaya begal politik yang semakin liar berkembang sampai hari ini, seakan telah menjadi tradisi transaksi seperti serangan fajar sebagai strategi yang dianggap wajar. Karenanya, rakyat pun sudah harus lebih bijak untuk tidak menolak. Sebab rakyat Indonesia sekarang sudah cukup banyak belajar dari beragam macam kecurangan yang berulang. Lantaran Pemilu damai itu bisa dijaga bersama, tanpa menolak apapun bentuknya santunan dengan tetap pada pilihan semula. RS. Dharmais, 24-25 Juli 2023. (*)