OPINI | POLITIK
“Pendidikan tak terkecuali berbasis agama seperti pondok pesantren, Islam yang diajarkan hanya pada aspek ritual saja, sekedar hafalan dan praktek untuk meraih nilai akademik tanpa berimbas pada perilaku dan akhlaknya,”
Oleh : Meilani Afifah
Belum tuntas penanganan kasus bullying yang menghebohkan jagad maya karena melibatkan salah satu anak artis yang menjadi salah satu pelaku kasus bullying di Binus School Serpong. Dunia pendidikan kembali berduka, kasus bullying kembali terjadi bahkan sampai berujung pada kematian.
Kasus tersebut dialami oleh seorang santri pondok pesantren (ponpes) di kecamatan Mojo Kabupaten Kediri bernama Bintang.
Sebelumnya beredar video viral kemarahan keluarga korban pada saat pengantaran jenazah oleh pihak ponpes ke rumah korban di Banyuwangi Jawa Timur. Menurut pihak ponpes korban dinyatakan meninggal dunia hari Jumat 23 februari 2024 akibat jatuh dari kamar mandi.
Namun keluarga curiga dan melihat beberapa kejanggalan karena pihak ponpes tidak menginginkan keluarga melihat jenazah korban, apalagi terdapat bercak darah di kain kafan korban.
Kasus ini kemudian ditangani oleh kepolisian resor Kediri kota, Jawa Timur dan telah menetapkan 4 tersangka diduga melakukan penganiayaan terhadap korban karena terjadi kesalahpahaman. (Liputan6.com/28-2-2024).
Kasus tersebut juga menghebohkan dunia maya setelah beredar chattingan korban dengan sang ibu yang berisi minta tolong untuk dijemput pulang ke rumah, namun sang ibu menolak dan menyarankan untuk bersabar hingga ramadhan tiba.
Bullying Semakin Marak
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyatakan di tahun 2023 ada 30 kasus bullying yang terjadi dan meningkat 9 kasus dari tahun sebelumnya yakni tahun 2022. (Kompas.id, 1-1-2024).
Problem bullying semakin hari semakin kompleks. Kasus tersebut mengakibatkan pada luka batin, trauma, luka fisik, kelumpuhan hingga kematian, bahkan korban menjadi pelaku bullying berikutnya. Hal tersebut menjadi mata rantai yang terbentuk dan menjadi pola kebiasaan yang terjadi di sekolah tak terkecuali di pondok pesantren.
Berbagai rencana dan solusi sudah dilakukan oleh negara. Misal sejak 2021, Puspeka bekerja sama dengan Unicef Indonesia untuk melaksanakan bimbingan Teknik (Bimtek) Roots kepada 7. 369 satuan Pendidikan termasuk melatih 13. 790 fasilitator guru dan membentuk 43. 442 siswa agen perubahan. (Kompasiana, 26-3-2023)
Roots adalah program pencegahan kekerasan, khususnya perundungan. Dalam 2 tahun pelaksanaannya, program tersebut sudah mendorong sebanyak 34, 14 persen satuan Pendidikan membentuk tim pencegahan kekerasan.
Solusi berikutnya datang dari mantan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) periode 2017 -2022, Assoc, Prof dr Susanto, membentuk Gerakan Anti Bullying dengan mengadakan Olimpiade Anti Bullying tingkat Nasional (Republika online, 21-10-2023).
Selanjutnya layanan psikologi juga telah disediakan di satuan Pendidikan. Namun solusi tersebut tidak membuahkan hasil yang signifikan, justru yang terjadi fenomena bullying semakin marak bahkan menjadi fenomena gunung es yang faktanya jauh lebih besar dibandingkan dari data-data yang ada.
Akibat Sistem Sekularisme Kapitalisme
Maraknya kasus bullying tidak terlepas dari pola kehidupan saat ini yang terbentuk dari ide sekularisme kapitalisme, ide yang memisahkan agama dari kehidupan, akibatnya masyarakat dan generasi tidak mengetahui perihal halal dan haram, tidak takut kepada Allah, jauh dari akhlak mulia. Ide tersebut juga mengukur standar kebahagiaan dengan kepuasan jasadiyah (materi), melakukan sesuatu karena eksistensi diri untuk kepuasan dirinya, merasa dirinya lebih hebat dari korban, tanpa melihat lagi apakah perbuatan tersebut benar atau tidak.
Mirisnya lagi sistem pendidikan hari ini juga mengadopsi sistem sekulerisme kapitalisme tanpa adanya upaya pembentukan kepribadian para generasi yang menjadikan mereka generasi yang bertaqwa. Akibatnya generasi semakin jauh dari agamanya.
Mereka hanya mengejar nilai akademik dan kesenangan duniawi. Padahal pendidikan yang menjauhkan generasi dari agama merupakan hal yang sangat berbahaya dan merusak generasi. Mereka akan semakin berperilaku bebas, sesuka hati, sangat mudah melukai orang lain, dan mudah melakukan tindakan buruk lainnya.
Pendidikan tak terkecuali berbasis agama seperti pondok pesantren, Islam yang diajarkan hanya pada aspek ritual saja, sekedar hafalan dan praktek untuk meraih nilai akademik tanpa berimbas pada perilaku dan akhlaknya. Aspek lain yakni nilai-nilai kehidupan dan pergaulan justru yang ditanamkan adalah nilai-nilai liberal kapital (bebas) yang berasal dari Barat. Padahal ia bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Hal ini diperparah dengan peran media sekuler hari ini yang mendominasi perilaku generasi hingga semakin merusak. Yakni dengan mempertontonkan tayangan tindak kekerasan dan hal buruk lainnya.
Rumah juga menjadi aspek penting melahirkan generasi yang rusak akibat keluarga yang tidak paham nilai-nilai Islam, jauh dari ketaatan. Bahkan tak sedikit perilaku kekerasan juga tanpa disadari justru dicontohkan oleh orangtuanya.
Butuh Solusi Tuntas
Masalah bullying butuh solusi yang komprehensif, sistemik dan juga terintegrasi. Solusi ini hanya bisa terwujud dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah. Pertama, keluarga sebagai elemen yang paling utama dalam mendidik generasi dengan akidah Islam.
Ibu sebagai sekolah pertama mendidik anak-anak dengan kasih sayang, membekali dengan ilmu Islam hingga anak akan beraktivitas sesuai dengan syariat Islam. Keluarga islami juga akan menjadikan generasi kokoh dengan memiliki kepribadian Islam dalam dirinya.
Kedua, masyarakat yang menjalani kehidupan Islam dengan benar, menciptakan suasana keimanan di tengah-tengah masyarakat, melakukan aktivitas amar makruf nahyi mungkar dan saling menasehati dalam kebenaran, akan menciptakan generasi yang bertaqwa, berkepribadian Islam serta jauh dari maksiat.
Ketiga, negara memiliki peran besar dalam membentuk generasi. Negaralah yang akan mengatur sistem pendidikan berbasis akidah Islam dengan tujuan pendidikan untuk membentuk generasi berkepribadian Islam yakni memiliki pola pikir Islam dan pola sikap Islam.
Sehingga mereka sibuk berlomba-lomba dalam ketaatan, menguasai tsaqafah Islam dan unggul dalam sains dan teknologi.
Negara juga mengelola media sebagai sarana dakwah, menyebarkan tsaqafah Islam, memberikan tontonan yang menambah ketaqwaan kepada Allah serta membentuk ketaatan pada generasi. Sungguh hanya dengan khilafah masalah bullying akan bisa diselesaikan dengan tuntas. Wallahu a’lam bi asshowab. (***)
*Penulis Adalah Aktivis Dakwah