“Kekacauan ini adalah penyakit bawaan demokrasi, tetapi rakyat tidak memiliki solusi. Politisi yang memiliki kesadaran pun seolah berdiam diri dan beralasan menunggangi demokrasi untuk merubahnya sesuai visi-misi,”
Oleh: Aktif Suhartini, S.Pd.I.,
MENCARI pasangan hidup ternyata tidak sesulit mencari pasangan koalisi dalam memperebutkan kursi kepemimpinan di negara demokrasi. Menjelang Pesta Pemilu 2024, euforia penyambutan pemilihan wakil rakyat tidak pernah mendapatkan pemimpin yang benar-benar memikirkan kesejahteraan rakyatnya.
Rakyat tidak pernah terpuaskan dengan kepemimpinan yang notabene pilihan rakyat sendiri. Pasalnya, pemilu berbau dukungan politik dan uang sebagai umpan untuk menang. Rakyat sebagai bagian terpenting tidak pernah dididik dengan politik yang benar, tapi ditakuti dengan politik identitas yang kerap dialamatkan kepada Islam.
Bayangkan saja, jika pemilu dipenuhi peredaran uang di publik, rasanya mengharapkan kehadiran seorang pejabat yang suci dan jujur begitu sulit. Pemilu hanyalah sekadar gincu memoles calon-calon yang siap-siap untuk balik modal ketika menjabat di pemerintahan.
Terkadang dibumbui dengan dalih-dalih yang pragmatis mematikan akal manusia. Biaya mahal mendorong calon pemimpin rakyat untuk meyusun strategi korupsi ketika duduk di kursi jabatan. Berapa banyak pejabat dan anggota legislatif yang terlibat praktik penyelewengan jabatan dan bersifat koruptif? Pastinya sudah menjadi hal yang dianggap biasa saja.
Korupsi yang merajalela juga menegaskan bahwa pemegang amanah kekuasaan, adalah orang-orang yang serakah, lebih mementingkan diri dan kelompoknya, tanpa pernah mau peduli dan tidak akan peduli dengan nasib rakyat yang semakin sulit.
Di usia kemerdekaannya yang ke 78 tahun ini, ternyata rakyat Indonesia masih harus memperjuangkan sendiri untuk terwujudnya hak-hak konstitusionalnya yang merupakan hak dasar dalam bernegara. Bahkan rakyat seperti berhadap-hadapan dengan pemerintah yang lebih berpihak pada kepentingan pemodal dan juga kepentingan kelompoknya sendiri. Astaqfirullah.
Disaat sebelum terpilih sebagai pemimpin rakyat, mereka mengemis-ngemis kepada rakyat meminta suaranya, dengan meratap memohon “Pilihlah Aku sebagai Presidenmu”.
Namun apa yang terjadi setelah mereka menduduki jabatan presiden? Janji yang hidupnya akan didedikasikan untuk kepentingan rakyat, ternyata untuk bertemu dengan presiden yang dipilih oleh rakyat ternyata sulit dan rakyat tidak berhak untuk menentukan jadwal bertemu dengan presiden.
Sebagian rakyat akhirnya menyadari dampak liberalisasi politik demokrasi. Biaya pemilu yang mahal dikeluarkan panitia. Begitu pula calon legislatif yang harus merogoh koceknya lebih dalam. Tidak cuma jutaan, tetapi menyentuh angka miliaran. Bisa dibayangkan jika pemilu dipenuhi peredaran uang di publik, rasanya mengharapkan kehadiran seorang pejabat yang suci dan jujur begitu sulit.
Ternyata demokrasi tidak seindah yang digambarkan dalam teori. Praktik demokrasi berkali-kali mengangkangi akal sehat. Seseorang yang tidak layak menjabat, dipoles untuk bisa naik jabatan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemilik modal apabila mereka tidak bermain langsung dalam pemilu, terkadang mereka duduk di belakang dengan menempatkan diri sebagai sutradara.
Praktik demokrasi makin ke kinian diibaratkan penyakit yang bertambah akut. Sementara rakyatnya masih silau dengan mimpi indahnya demokrasi yang sangat sulit terwujud.
Penyebabnya karena jargon dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat dianggap memikat. Faktanya jargon ini bertolak belakang dengan kepentingan politisi yang didanai oligarki. Alhasil rakyat tersingkir dan jargon itu berganti dari oligarki oleh oligarki dan untuk oligarki.
Parahnya, sakit bawaan ini tidak disadari oleh para pemikir, akademisi, dan intelektual yang mengkaji demokrasi. Mereka cenderung memegang teguh demokrasi dan mencoba dikembalikan kepada teks dan teori aslinya. Hingga memandang demokrasi dari kacamata musyawarah dan keadilan yang akan dirasakan rakyat kian jauh dari kenyataan.
Oleh karenanya, kekacauan ini adalah penyakit bawaan demokrasi, tetapi rakyat tidak memiliki solusi. Politisi yang memiliki kesadaran pun seolah berdiam diri dan beralasan menunggangi demokrasi untuk merubahnya sesuai visi-misi.
Rakyat pun tidak pernah ditunjukkan jalan terang untuk keluar dari kubangan demokrasi. Pragmatisme yang menjangkiti rakyat dan pejabat, demi kemenangan maka dimainkan politik uang. Rakyat pun tak mau memilih kalau tidak ada uang.
Edukasi politik pun minim. Pembahasan politik dianggap sulit dan menyulitkan. Alhasil mengambil sikap mudah dan mengabaikan pembahasan yang sebenarnya menyangkut hajat hidup orang banyak. Demokrasi didengungkan oleh negara pengusungnya sebagai sistem yang ideal. Tak ayal negeri-negeri tempat Muslim tinggal turut serta mengambilnya pasca keluar dari kediktatoran. Politik uang, biaya mahal, dan penyakit turunan dalam kontestasi pemilihan demokrasi telah merusak kehidupan berbangsa dan bernegara.
Politik uang cenderung menyuburkan praktik suap-menyuap. Penyakit akut ini tidak akan hilang, jika terus dipelihara tanpa mau beralih ke sistem politik yang lebih bersahaja. Bahkan penyakit ini akan bertambah akut dan dianggap lumrah dalam kancah perpolitikan. Kalau sudah begini, rakyat yang perlahan kelimpungan dan perlahan-ahan akan mengalami kematian. Naudzubillah.
Namun lain halnya di dalam politik Islam. Politik Islam tidak bertumpu pada uang untuk menduduki jabatan. Landasannya akidah Islam yang kokoh. Kepribadian politisi diukur bukan dengan banyaknya modal dan terkenal, tapi lebih pada kepribadian Islami yang terpatri pada aspek pemikiran dan tingkah laku keseharian.
Dunia politik Islam berfokus pada pengurusan umat dengan syariah kaffah. Jadi menitikberatkan pada Islam yang terwujud secara nyata dalam kehidupan. Di dalam Politik Islam penentuan memiliki jabatan sistemnya tidak seperti demokrasi.
Untuk menjadi wakil dalam majelis umat tak perlu biaya mahal dengan modal besar. Jabatan merupakan keterwakilan untuk mengoreksi penguasa dan mengawal penerapan syariah. Tujuannya bukan sekadar jabatan, tapi ketaatan. Untuk menjadi gubernur atau wali tak pakai pilah pilih. Cukup ditunjuk khalifah dengan orang yang sesuai syariah. Begitu pula khalifah diangkat dengan baiat, yaitu taat pada Allah dan Rasul-Nya.
Semua itu akan terwujud dalam bingkai politik Islam. Sudah semestinya umat Islam tidak perlu memiliki sistem lain karena sudah memiliki kekayaan khazanah politik Islam yang sumbernya dari Allah SWT Sang Maha Pencipta. Sistem demokrasi cocok jika diambil oleh suatu negara yang memisahkan agama dengan kehidupan dan tidak cocok jika diambil di negeri kaum Muslim yang tidak bisa memisahkan agama dari kehidupan.
Untuk itu hiduplah dengan sistem politik Islam karena politik Islam lebih pada pengurusan kehidupan dan penjagaan agama. Pasalnya, ajaran Islam terdiri dari perintah (awamir) dan larangan (nawahi). Kedua unsur ini membawa konsekuensi yakni bagi yang menuruti perintah akan mendapatkan pahala dan bagi yang melanggarnya akan mendapatkan sanksi. [*]
*Penulis Adalah Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok