KALEIDOSKOP AJI
“AJI menilai peraturan MA ini akan membatasi hak jurnalis dalam mencari informasi, yang itu diatur dan dilindungi oleh Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers,”
Lapan6Online | Jakarta : Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Abdul Manan mengatakan, tahun 2020 menjadi tahun yang kelam bagi insan pers di Indonesia.
Mulai dari pandemi Covid-19 yang memberikan tekanan ekonomi bagi pers, ancaman kebebasan dan kekerasan, hingga regulasi yang merugikan.
“Tahun 2020 akan dikenang sebagai tahun yang khusus dalam sejarah Indonesia, termasuk juga pers,” ujar Abdul dikutip dari siaran pers, pada Selasa (29/12/2020).
AJI Indonesia mencatat 84 kasus kekerasan terhadap jurnalis selama 1 Januari – 25 Desember 2020. Jumlah ini terbanyak sejak AJI memonitor kasus kekerasan jurnalis sejak tahun 2006.
“AJI menduga kekerasan terhadap jurnalis di lapangan masih lebih banyak yang belum tercatat karena keterbatasan sumber daya manusia untuk memverifikasi kasus. Ini seperti yang terjadi di sejumlah wilayah Papua dan Papua Barat,” ujar Abdul.
Kasus kekerasan terbanyak terjadi di Jakarta (17 kasus), kemudian Malang (15 kasus), Surabaya (7 kasus), Samarinda (5 kasus), Palu, Gorontalo, Lampung masing-masing 4 kasus.
Jenis kekerasan yang dialami jurnalis sebagian besar berupa intimidasi (25 kasus), kekerasan fisik (17 kasus), perusakan, perampasan alat atau data hasil liputan (15 kasus), ancaman atau teror 8 kasus. Polisi menempati urutan pertama pelaku kekerasan terhadap jurnalis dengan 58 kasus, disusul orang tak dikenal 9 kasus, dan warga 7 kasus.
Selain fisik, kekerasan terhadap jurnalis juga merambah ranah digital. Kasus teranyar adalah jurnalis Tempo yang mengalami percobaan peretasan pada 24 Desember 2020, setelah menulis laporan pembagian bantuan sosial. Pelaku berusaha meretas surat elektronik, akun media sosial sampai aplikasi pengirim pesan.
Situs Tempo.co dan Tirto.id juga diincar oleh peretas. Pelaku meretas sistem manajemen konten dan menghapus tujuh artikel Tirto.id. Terhadap Tempo.co, peretas berusaha mematikan server. Begitu juga situs Magdalene.co dan Konde.co, mendapatkan serangan siber hingga kesulitan diakses.
Sepanjang 2020 juga terjadi kasus doxing alias pelacakan dan pembongkaran identitas, terhadap sejumlah jurnalis. Jurnalis cek fakta Liputan6.com mendapatkan serangan doxing terkait karya jurnalistik yang diunggah pada 10 September 2020. Pelaku mempublikasikan data jurnalis ke sejumlah akun media sosial, foto jurnalis tersebut diambil tanpa izin dan diubah untuk mendeskreditkan korban.
Dua jurnalis pemeriksa fakta Tempo.co, Ika Ningtyas dan Zainal Ishaq mengalami kasus doxing serupa setelah membuat empat artikel verifikasi klaim dokter hewan M. Indro Cahyono terkait Covid-19 sejak April-Juli 2020.
Jurnalis Detik.com juga mengalami serangan doxing karena menulis rencana kunjungan kerja Presiden Jokowi ke Bekasi untuk membuka mall di tengah kasus Covid-19 masih tinggi. Identitas jurnalis itu diekspos, serta ada ancaman pembunuhan dan teror order makanan fiktif.
Pemidanaan Jurnalis
Tahun 2020 mencatat pemidanaan terhadap jurnalis Banjarhits.com, Diananta Putra Sumedi. Kasus Diananta bermula dari berita yang ditayangkan Banjarhits.id/Kumparan.com berjudul “Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel” pada 8 November 2019 pukul 19.00 WITA. Berita ini ditulis oleh Diananta dan merupakan hasil wawancara dengan narasumber dari masyarakat adat suku dayak yaitu Bujino, Riwinto, dan Sukirman.
Awalnya kasus dilaporkan ke Dewan Pers. Meski sudah diproses, polisi tetap memproses kasus hingga masuk ke pengadilan. Diananta divonis bersalah menyebarkan informasi menimbulkan kebencian individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan sesuai pasal 28 Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. AJI menilai, hakim mengabaikan UU Pers sebagai lex specialist dibandingkan UU ITE, yang mengatur mekanisme penyelesaian sengketa pemberitaan.
“Vonis ini menjadi preseden buruk bagi pers karena bisa dipakai oleh siapa saja untuk mempidanakan, dan mengintimidasi, jika terusik oleh pemberitaan media. Tentu saja ini akan berdampak pada tumpulnya fungsi kontrol sosial oleh pers,” kata Abdul.
AJI Indonesia juga menyoroti regulasi UU Omnibus Law Cipta Kerja yang disahkan tahun ini. Undang-undang sapu jagat ini berusaha mengubah sejumlah undang-undang sekaligus. Semula akan mencakup 79 undang-undang, belakangan ada yang dikeluarkan dari pembahasan namun ada juga yang dimasukkan lagi menjelang akhir.
“Undang-undang yang berhubungan dengan jurnalis dan media yang hendak diubah adalah Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang Undang Ketenagakerjaan. Undang Undang Pers kemudian dikeluarkan dari pembahasan setelah mendapat protes dari komunitas pers,” kata Abdul.
Selain itu, AJI juga menyoroti Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Lingkungan Pengadilan yang ditetapkan pada 27 November 2020.
Aturan itu mengatur pengambilan foto, rekaman audio, dan rekaman audio visual harus seizin hakim atau ketua majelis hakim. Substansi aturan itu sama dengan Surat Edaran Nomor 2 tahun 2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan pada 7 Februari 2020 lalu. Bahkan, ada ancaman pemidanaan bagi yang melanggar.
“AJI menilai peraturan MA ini akan membatasi hak jurnalis dalam mencari informasi, yang itu diatur dan dilindungi oleh Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers,” kata Abdul.
Pandemi dan Dampak Bagi Jurnalis
AJI menyoroti kebijakan media yang tak menguntungkan pekerjanya akibat dari pandemi Covid-19. Dengan alasan bertahan dari krisis, sejumlah media melakukan pemutusan hubungan kerja, menunda, dan memotong gaji.
AJI mencatat media siber Kumparan pada Juni 2020 melakukan PHK terhadap sejumlah karyawan dengan proses sosialisasi singkat dan karyawan yang di-PHK hanya mendapat pemberitahuan melalui surat elektronik.
Awal Agustus 2020, AJI Surabaya mencatat pekerja media Jawa Pos dipaksa untuk pensiun dini dengan alasan untuk efisiensi. Mereka yang menolak akan di-PHK. Ironisnya, Jawa Pos mempekerjakan kembali beberapa yang diberhentikan dengan status karyawan kontrak.
Pada bulan yang sama, Jakarta Post juga mengumumkan PHK besar-besaran karena alasan kesulitan pembiayaan. Tawaran PHK juga disampaikan Tempo kepada karyawannya. 19 karyawan dipanggil satu persatu untuk mendapat surat pemberitahuan PHK.
Selain itu, AJI mendapat laporan sejumlah perusahaan media menunda pembayaran gaji serta tunjangan hari raya, serta memotong gaji karyawan karena pandemi Covid-19.
“Dahsyatnya pukulan pandemi tentu dirasakan semua pihak, namun demikian krisis ini tidak bisa dijadikan alasan bagi perusahaan-perusahaan media untuk bertindak sewenang-wenang kepada karyawannya. AJI mendesak perusahaan media menghentikan kebijakan penundaan gaji, pemotongan gaji, dan PHK sepihak. Kalau pun ada upaya drastis yang akan dilakukan, harus dilakukan sesuai undang-undang,” kata Abdul.
Dari hasil Survei AJI bersama International Federation Journalists (IFJ) pada 27 Oktober-13 November 2020, diketahui bahwa pandemi berdampak serius bagi media. Dari 792 pekerja media yang menjadi responden survei, inilah yang dialami: pengurangan honor (53,9 persen), pemotongan gaji (24,7 persen), PHK (5,9 persen), perumahan karyawan (4,1 persen), dan lainnya.
Selain masalah ketenagakerjaan, AJI mendapatkan laporan sejumlah perusahaan media abai melindungi pekerja dari penyebaran virus corona. Seperti penyediaan APB, fasilitas testing, hingga menyiapkan standar operasional prosedur pencegahan.
“Dari total 792 pekerja media yang menjadi responden, sebanyak 63,2 persen di antaranya mengaku tidak dibekali alat pelindung diri (APD) dari perusahaan. Hanya 36,8 persen responden yang menyatakan dibekali APD oleh perusahaan saat bekerja di tengah pandemi Covid-19,” kata Abdul.
“Selain APD, pemberian layanan tes Covid-19 baik rapid test maupun swab test (PCR) juga minim. Sebanyak 63,8 persen responden mengaku perusahaannya tidak menyediakan layanan tes Covid-19 dan hanya 23,9 persen yang mengatakan ada layanan tes Covid-19, kemudian 12,4 persen sisanya mengaku tidak tahu menahu,” tutupnya. mdk/Red
*Sumber : merdeka.com