OPINI | POLITIK
“Dengan keadaan ekonomi masyarakat Indonesia yang serba susah, para koruptor malah mencari celah melakukan korupsi besar-besaran demi gaya hidup predatornya. Tidak ada lagi rasa empati, bahkan mata dan telinganya sengaja ditutup hingga sama sekali tidak melihat dan mendengar jeritan-jeritan kelaparan dari rakyatnya,”
Oleh : Endah Sefria, SE
ELIT politik di negeri ini bagaikan para predator yang siap memangsa uang rakyat dari segala penjuru dan dalam setiap kesempatan, yang hangat dalam perbincangan KPK saat ini adalah kasus Lukas Enembe yang memiliki rekening gendut dan kekayaan dengan fantastis.
Bahkan KPK menegaskan bahwa Gubernur Papua yang satu ini bukan hanya korupsi satu miliar rupiah. Penyidik terus melakukan dugaan tindak pidana yang dilakukan Lukas Enembe, dan sekarang sudah dilakukan pemblokiran oleh pihak penyidik di KPK senilai 71 miliar rupiah atas beberapa jasa dan perbankan maupun asuransi.
Ada kasus-kasus lain yang sedang didalami, tetapi masih terkait dengan kasus ini juga, misalnya saja terkait dana operasional pimpinan, dana pengelolaan PON, kemudian pencucian uang yang dilakukan atau dimiliki oleh Lukas Enembe (news.detik.com, 20/09/2022).
Bukan hanya kasus Lukas Enembe, deretan mega korupsi yang merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah terkuak satu-persatu. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, untuk tiga kasus korupsi saja negara harus menanggung kerugian nyaris menyaingi dana yang diselewengkan banyak pihak dalam kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) pada tahun 1998 yang lalu.
Kasus yang pertama, kasus Surya Darmadi dengan kerugian negara 78 triliun rupiah, yang kedua, kasus Asabri merugikan negara hingga 23 triliun rupiah, dan yang terakhir, kasus Jiwasraya dengan kerugian negara sebesar 17 triliun rupiah. Untuk tiga kasus ini saja sudah membuat negara rugi hingga 118 triliun rupiah (cnbcindonesia.com, 17/08/22).
Yang membuat miris adalah dengan keadaan ekonomi masyarakat Indonesia yang serba susah, para koruptor malah mencari celah melakukan korupsi besar-besaran demi gaya hidup predatornya. Tidak ada lagi rasa empati, bahkan mata dan telinganya sengaja ditutup hingga sama sekali tidak melihat dan mendengar jeritan-jeritan kelaparan dari rakyatnya.
Gaya hidup elite politik yang serba hedonis ini kontras dengan kondisi masyarakatnya. Kemiskinan yang didera masyarakat seakan tidak pernah berakhir, bahkan makin lama makin parah saja.
Sulitnya lapangan kerja, berkurangnya ketersediaan pangan, dan sulitnya rakyat mengakses makanan bergizi sehingga kondisi kurang gizi generasi sudah tidak terelakkan lagi.
Benar jika dikatakan yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Bahkan ada yang mengatakan rakyat itu dilarang kaya, sengaja dibuat miskin. Kenapa? Biar suaranya mudah dibeli. Benar saja, jika rakyat hanya diperhatikan pada saat pemilu ataupun pilkada.
Setelah mereka duduk di kursi dan menjabat dalam posisi yang strategis, mereka akan memanfaatkannya, mengeruk kekayaan negara untuk kantong-kantong pribadinya selagi mereka menjabat, dan ini bukan rahasia lagi karena sudah terpola.
Biang masalah dari segala macam masalah ini karena negeri ini menganut paham kapitalisme-neoliberalisme. Karena kapitalis-sekuler membuka lebar pintu korupsi dari celah mana saja dan kapan saja.
Paham liberalisme adalah paham kebebasan yang memisahkan agama dari kehidupan. Standar perbuatan bukanlah halal haram, melainkan manfaat. Kebebasan kepemilikan adalah salah satu yang diagungkan dalam sistem ini. Jadi, wajar saja jika korupsi ini sudah seperti makan kerupuk yang dianggap lumrah untuk dilakukan tanpa ada beban sedikit pun.
Islam Menyelesaikan Masalah Korupsi
Islam memandang korupsi adalah perbuatan dosa besar, karena ia merusak tatanan kehidupan manusia. Larangan itu termaktub dalam Al-Qur’an. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوْۤا اَمْوَا لَـكُمْ بَيْنَكُمْ بِا لْبَا طِلِ وَتُدْلُوْا بِهَاۤ اِلَى الْحُـکَّامِ لِتَأْکُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَا لِ النَّا سِ بِا لْاِ ثْمِ وَاَ نْـتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 188).
Larangan itu disosialisasikan kepada masyarakat melalui berbagai macam media dan juga melalui sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam. Sehingga masyarakat paham benar standar perbuatan adalah halal haram. Elit politik pun akan takut melakukan tindak korupsi karena mereka menyadari bahwa perbuatannya kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt.
Negara juga akan selektif dalam menempatkan SDM untuk posisinya sebagai pelayan masyarakat. SDM yang dipilih adalah yang amanah dan kredibel dalam bidangnya. Negara akan melakukan pembinaan serta pengawasan yang ketat terhadap para pejabat. Negara juga akan memberikan gaji dan fasilitas yang layak, sehingga tidak ada alasan untuk bisa melakukan tindak korupsi.
Kemudian, juga Islam mengharamkan pejabat menerima gratifikasi atau suap dalam jenis apa pun. Rasulullah saw. bersabda: “Tidak akan masuk surga tubuh yang diberi makan dengan yang haram.”
Negara dan masyarakat juga akan melakukan pengawasan yang ketat. Para pejabat wajib melaporkan kekayaannya secara berkala, negara akan mengaudit kekayaannya sebelum menjabat dan setelah menjabat. Rakyat berani untuk melaporkan jika ada tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat negara tanpa khawatir akan diintimidasi dari pihak terkait.
Hukum Islam berbeda dengan hukum kapitalis-sekuler yang tumpul ke atas namun tajam ke atas. Semua mekanisme ini bisa terwujud jika diterapkan Islam kafah pada negara. Hanya mimpi mengharapkan korupsi yang telah menggurita ini sirna hingga ke akar jika negeri ini masih setia menganut sistem kapitalis-sekuler. Wallahualam bissawab. (*)
*Penulis Adalah Pemerhati Ekonomi