OPINI
“Industri miras dapat memperoleh investasi dari berbagai sumber baik dari investor asing maupun investor domestik. Selain itu dengan izin tersebut koperasi hingga UMKM juga dapat menyuntikkan investasi kepada industri miras,”
Oleh : Yun Rahmawati
MUSIBAH silih berganti menerpa negeri ini. Pandemi belum tampak kunjung usai, air mata belum kering dari kehilangan harta dan juga nyawa akibat bencana longsor, banjir bandang, gempa dan erupsi gunung berapi. Kini pemimpin negeri seakan mengundang bencana lebih besar lagi dengan membuat peraturan penuh kontroversi.
Presiden Jokowi membuka izin untuk investasi industri minuman keras (miras) atau minuman beralkohol berskala besar hingga kecil. Syaratnya investasi hanya berlaku di daerah tertentu dengan memperhatikan budaya dan kearifan lokal. Jokowi juga memberi lampu hijau bagi perdagangan eceran miras atau beralkohol masuk dalam daftar bidang usaha yang diperbolehkan dengan syarat memiliki jaringan distribusi dan tempat khusus.
Ketentuan tersebut tertera pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal dan diteken kepala negara pada 2 Februari 2021.
Berdasarkan perpres itu, industri miras dapat memperoleh investasi dari berbagai sumber baik dari investor asing maupun investor domestik. Selain itu dengan izin tersebut koperasi hingga UMKM juga dapat menyuntikkan investasi kepada industri miras.
Meskipun investasi tersebut hanya berlaku di daerah tertentu, yaitu Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Papua dengan memperhatikan kearifan lokal, tetap saja peraturan tersebut tidak sesuai dengan nilai agama Islam yang mengharamkan khamr (miras). Berlakunya hukum Islam soal miras tidaklah melihat waktu dan tempat, melainkan berlaku kapan saja dan di mana saja.
Peraturan kontroversi tersebut tentu saja menuai banyak protes. Penolakan menyeruak dari berbagai kalangan. Sikap tegas datang dari Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia ( MUI) KH Muhammad Khalil Nafis, melalui akun Tweeternya. “Tolak investasi… Tolak investasi miras meskipun hanya di empat provinsi,” cuitnya di @chalilnafis, Minggu, 28 Februari 2021.
Protes serupa juga datang dari Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia, Anwar Abbas menyatakan kekecewaan dengan kebijakan pemerintah yang menetapkan legalitas miras.
Anwar melihat dengan adanya kebijakan ini tampak sekali Bangsa Indonesia diposisikan oleh pemerintah dan dunia usaha sebagai objek yang bisa dieksploitasi bagi kepentingan mereka mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Polemik Perpres Nomor 10 Tahun 2021 bergulir hingga ujung timur Indonesia. Papua sebagai salah satu daerah yang diberlakukannya investasi legalitas penjualan miras juga mendapat sorotan pedas dari anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Papua Barat, Filep Wamafma.
Filep mendesak Presiden Jokowi untuk mencabut perizinan investasi untuk industri minuman keras (miras) di Provinsi Papua Barat. Ia meminta Jokowi mempertimbangkan kembali pengaturan perizinan investasi miras di Papua.
Genap satu bulan, tepatnya pada 2 Maret 2021 akhirnya atas desakan ulama, ormas, tokoh dari daerah dan juga masyarakat, lampiran Perpres investasi miras tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang ditetapkan pada 2 Februari oleh Jokowi dan diundangkan pada tanggal yang sama oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly dicabut oleh presiden Jokowi.
“Bersama ini saya sampaikan, saya putuskan lampiran perpres terkait pembukaan investasi baru dalam industri miras yang mengandung alkohol saya nyatakan dicabut,” kata Jokowi dalam siaran pers virtual, Selasa (2/3/2021).
Sikap tegas yang disuarakan berbagai pihak berangkat atas kekhawatiran yang diakibatkan dari kerusakan bahaya miras. Laporan terbaru, WHO menyebutkan pada 2016, 3 juta jiwa meninggal akibat minuman keras.
Dampak Kejahatan yang ditimbulkan berupa mencuri, merampok, memperkosa, membunuh dan kejahatan lainnya. Serta dosa yang ditanggung karena membiarkan penguasa bertindak sewenang-wenang. Tentu semuanya tidak ingin Indonesia menuai laknat dan berkubang dengan bencana yang besar akibat legalitas minuman keras (miras).
Rasulullah SAW melaknat 10 golongan perihal khamr, “Yang memerasnya, yang minta diperaskannya, yang meminumnya, yang mengantarkannya, yang minta diantarinya, yang menuangkannya, yang menjualnya, yang makan harganya, yang membelinya, dan yang minta dibelikannya.” (HR Tirmidzi juz 2, hal. 380, No. 1313).
Begitu juga dalam hadits yang lain, “Khamr adalah induk dari segala kejahatan, barang siapa meminumnya maka shalatnya tidak diterima selama 40 hari, apabila ia mati sementara khamr di dalam perutnya, maka ia mati sebagaimana matinya orang jahiliah” (HR Ath-Thabrani).
Masyarakat menyambut sukacita atas langkah yang diambil oleh presiden Jokowi dengan mencabut lampiran miras. Namun, dengan dicabutnya lampiran perpres investasi baru selesaikah persoalan miras? Ternyata tidak. Umat tidak boleh larut dengan keputusan tersebut karena masih ada perpres tentang miras yang juga berbahaya. Yaitu Perpres Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. Artinya industri miras, peredarannya dan penjualannya masih tetap diijinkan.
Legalitas miras memang dibuat untuk menyenangkan hati para kapitalis, yang hanya memikirkan keuntungan materi tanpa melihat halal dan haram, tanpa berpikir dampak yang ditimbulkan. Maka, tidak cukup alhamdulillah. Marilah kita kawal terus legalitas minuman keras dengan penolakan yang keras dan tegas agar bukan hanya lampirannya saja yang dicabut tetapi perpres tentang miras pun harus dicabut sampai keakarnya yaitu sistem ekonomi kapitalisme, sistem yang melegalkan keberadaan miras. [*Red]
*Penulis Adalah Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok