Elegi Itu Bernama Organisasi Alumni Universitas Bung Hatta

0
43
Samson Tanjung SE, Alumni Universitas Bung Hatta. (Foto: Istimewa).

OPINI

Oleh: Samson Tanjung SE, (*)

UNIVERSITAS BUNG HATTA. Satu nama lembaga pendidikan yang terdapat di Sumatera. Tepatnya Sumatera Barat dengan ibukota Padang. Layaknya sebuah lembaga pendidikan, tentulah ia menghasilkan produk. Produk yang dimaksud adalah individu dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusianya.

Sejalan dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia itu pula, diperlukan suatu strategi dan kurikulum yang tepat dan berdaya guna. Output-nya adalah Sarjana dengan kualifikasi dan kualitas mumpuni. Sarjana yg dihasilkan dan meninggalkan bangku kuliah dari Universitas tersebut, lazim disebut sebagai alumni. Demikianlah kait mengkait dari proses terbentuknya alumni dari Universitas Bung Hatta.

Dalam proses perjalan Alumni tersebut, tentulah pengaruh romantik dari pergaulan dan proses menjalani kehidupan kampus, menjadi sesuatu yang mengisi ruang pikiran dan kebatinannya. Kerinduan akan interaksi dan ide-ide besar memajukan Universitas menjadi sesuatu yg integral dari kerinduan, solidaritas dan soliditas para Alumni. Proses tersebut bermuara pada terbentuknya ikatan Alumni dengan berbagai cita-cita luhur dan kekhususan misi-nya.

Sejatinya, Ikatan Alumni Universitas Bung Hatta telah 7 kali melaksanakan Mubes (musyawarah besar) atau Kongres. Rentang Mubes tersebut adalah 5 tahunan. Maka, Ikatan Alumni ini tidak dapat pula disebut sebagai organisasi yang masih bertulang susu atau organisasi yg masih hijau.

Usia 35 tahun terbilang adalah usia yang cukup matang bagi sebuah organisasi. Pahit getir pengalaman praktek serta asam garam pembenahan organisasionil semestinya telah pula mewujud dan menjadi penerang dalam menakhodai jalannya organisasi. Lebih-lebih, punggawa organisasi Alumni ini diisi oleh orang-orang yg memiliki segudang pengalaman dan orang-orang yg memiliki pengetahuan dan pengaruh diwilayah atau ranahnya masing-masing. Dan, tidak terkecuali pemahaman intelektuilnya.

Bermula dari Mubes ke VII elegi ini dimulai.

Elegi untuk siapa?, tentulah elegi untuk seluruh Alumni Universitas Bung Hatta. Pengharapan membina hubungan dengan romantisme dan jalanin kekeluargaan untuk mencapai cita-cita bersama bertukar menjadi elegi. Kepingan demi kepingan peristiwa menjelang dan pasca Mubes ke VII Alumni Universitas Bung Hatta ini, harus menjadi perhatian.

Pagi hari, menjelang pelaksanaan Mubes tersebut, beredar pesan singkat di salah satu medsos, bahwa kepengurusan Komisariat hukum menarik mandat bagi utusannya dalam mengikuti Mubes.

Miko Kamal, sebagai pimpinan Komisariat Hukum terbubuh dalam pesan singkat tersebut. Apa yang melatarbelakangi penarikan itu? telah jelas diterima. Miko dkk memandangnya dalam perspektif hukum sebagai bidang yang digelutinya. Bahwa, Mubes ke VII cacat konstitusi. Disusul pula dengan beredarnya Somasi dari beberapa orang, yaitu Khusnul Hamdi (FTSP)dan Ardyan (FH), yang lebih kurang berpendirian yang sama terhadap Mubes yg berjalan. Yaitu, cacat konstitusi.

Ada pula kelompok Alumni yang berdomisili di Jakarta, melangsungkan konferensi pers untuk menolak Mubes ke VII tersebut. Kelompok Jakarta ini dipimpin oleh Asrinaldi. Peristiwa konferensi pers ini adalah ekor dari peristiwa Mubes ke VI. Dimana, Ike Agung terpilih sebagai Ketum dan ada pula Mubes tandingan di salahsatu hotel di Padang.

Seiring dengan peristiwa menjelang pembukaan, telah ada tiga kandidat yang berlaga, yaitu Jon Rizal, Ike Agung dan Iman Satria. Mubes berjalan sesuai rangkaian acaranya. Suasana demokrasi di Mubes tersebut mencapai puncaknya pada sidang Komisi. Terutama komisi 2 yang membahas AD-ART. Pasal yang menjadi perhatian adalah masa kepemimpinan satu periode atau dua periode. Dalam rapat Komisi 2 ini, berakhir dengan voting. Dan, dimenangkan oleh kelompok yang menginginkan satu periode. Dengan kata lain, secara otomatis menggugurkan salah satu kandidat, yaitu Ike Agung untuk maju kembali memimpin Ikatan Alumni. Tersisa dua kandidat yang berlaga.

Skor sidang dilakukan dan akan dilanjutkan pada pagi hari. Satu peristiwa muncul dengan ekses lebih hebat. Beberapa pimpinan sidang walk out (WO) disertai dengan panitia dan beberapa delegasi peserta Mubes.

Dari dua kandidat yang tersisa, salah satu mengundurkan diri. Dia adalah Jon Rizal. Ia berpendapat, jika pencalonan dirinya dan dilanjutkannya acara Mubes sampai terpilihnya Ketum yang baru dapat memecah belah serta tidak terwujudnya persatuan, alangkah lebih baik ia mengundurkan diri. Ini bisa saja kita sebut keteladanan. Bahwa, kekeluargaan dan persatuan menjadi hal yang pokok dalam organisasi Alumni.

Iman Satria sebagai kandidat yang tersisa tetap melanjutkan kegiatan dan secara aklamasi menang dengan pimpinan sidang Raden Wahyu (FH). Tentu pula, pimpinan sidang memiliki pandangan dan pendiriannya sendiri. Begitu pula Iman Satria yg memiliki pandangan dan pendiriannya.

Dari kepingan-kepingan peristiwa tersebut, dapat kita amati dan telaah secara kritis, berapa faksi yg terdapat dalam Mubes ke VII dan apa substansi persoalan. Hal ini menjadi penting dalam mengurai soal-soal yang meliputinya. Namun, jika kita mengambil segi positifnya, ini adalah kekayaan dalam demokrasi di Alumni. Meminjam istilah Soekarno, peristiwa ini adalah kekayaan dari RODINDA (Romantika, Dinamika dan Dialektika).

Jika kita menggunakan pendekatan teori kontradiksi, maka ini sebuah kenyataan atau fakta yang wajar dari perkembangan sebuah organisasi. Dengan adanya kontradiksi (pertentangan) dari materi-materi yang bergerak dalam organisasi alumni, adalah keniscayaan organisasi alumni akan menemukan kualitas baru dan lebih maju. Tentu pula, ini disertai kemampuan mengurai kontradiksi yang dimaksud. Tanpa kemampuan tersebut, niscaya pula organisasi Alumni akan menjadi kepingan kecil dan berserak.

Dari faksi-faksi yang terdapat dalam Mubes ke VII tersebut, muncul pula keinginan sekelompok Alumni untuk menginisiasi rekonsiliasi. Menemukan jalan keluar untuk menciptakan organisasi Alumni yang solid dan memiliki persatuan yang kuat dengan semangat solidaritas tanpa batas. Deret pertanyaan awal adalah darimana harus mulai dan apa yang harus dikerjakan?. Jika memang keinginan tersebut ingin diwujudkan.

Agaknya, kelompok tersebut mesti memulai dengan memahami kontradiksi dan faksi-faksi yang ada. Serta, mengingatkan faksi-faksi tersebut tentang pentingnya persatuan. Dan, lebih jauh pula mengingatkan satu pandangan dari Bung Hatta tentang “Demokrasi Kita”. Satu artikel yang ditulis oleh Bung Hatta pada tahun 1960 dimuat oleh media Panji Masyarakat.

Bung Hatta dalam tulisannya ini mengatakan, bahwa memahami demokrasi haruslah didahului dengan memahami kedaulatan Rakyat. Memahami kedaulatan Rakyat mesti pula dengan mengedepankan semangat kekeluargaan dan selanjutnya Musyawarah sebagai cara menyampaikan pendapat atau aspirasi.

Jika, organisasi Alumni tersebut tidak memakai pokok-pokok pikiran Bung Hatta sebagai landasan berorganisasi, maka tidak lah layak menyandang nama besar Bung Hatta.

Dimana sama sekali tidak melandasi dirinya dengan pikiran dan teladan Bung Hatta. Jika fenomena pertentangan ini terus berlanjut, maka ia akan menjadi syair-syair elegi yang mensayat hati para Alumni dengan jumlah puluhan ribu. (*)

Penulis adalah Alumni Universitas Bung Hatta – FE 97 sekaligus Direktur Analitika Institut.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini