OPINI
“Kebijakan pemerintah dari yang sebelumnya menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PPKM Jilid Kedua, PPKM Mikro, dan sekarang PPKM Darurat, intinya hanyalah kebijakan setengah-setengah,”
Oleh : Tiara Mailisa
SEJAK 3 Juli 2021, pemerintah menetapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat (PPKM Darurat). Ini berarti sudah lebih dari sepekan PPKM Darurat dilaksanakan. Sudah semestinya pelaksanaan PPKM ini dievaluasi untuk mengetahui keberhasilannya dalam menekan dampak dari pandemi.
Melalui CNN Indonesia (09/07/21), Epidemiolog dari Universitas Airlangga mengatakan untuk mengukur efektivitas PPKM darurat bisa dilihat dari angka positivity rate dan jumlah keterisian tempat tidur atau Bed Occupancy Rate (BOR). Data Satuan Tugas (Satgas) Covid-19, positivity rate Indonesia sejak sebelum diterapkan PPKM Darurat sampai saat ini masih menunjukan persentase yang tinggi. Pada 2 April, positivity rate Indonesia mencapai 43,79 persen. Lalu pada hari pertama PPKM darurat 3 Juli, mengalami penurunan menjadi 36,69 persen.
Namun, satu hari berikutnya, positivity rate Indonesia kembali melambung menjadi 44,61 persen dan pada 8 Juli mencapai 40,02 persen. Positivity rate Indonesia masih konsisten di atas 30 persen. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan ambang batas positivity rate adalah 5 persen. Sementara itu, BOR di sejumlah daerah di Indonesia rata-rata di atas 60 persen. Kalimantan Barat misalnya, BOR isolasi mencapai 68,09 persen. Lalu BOR ICU 82,48 persen. Di Lampung, BOR isolasi mencapai 77,91 persen dan ICU 73,43 persen.
Hal senada juga disampaikan oleh Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman yang mengatakan pelaksanaan PPKM Darurat selama sepekan masih belum berhasil mengatasi pandemi virus Corona (COVID-19). Hal pertama yang menjadi perhatiannya adalah pertumbuhan kasus Corona. Selama sepekan ini, pertumbuhan kasus Corona di Indonesia masih meningkat. Selain itu, data kematian pun menunjukkan peningkatan. Hitungan data kematian adalah per satu juta penduduk.
Lalu soal testing, Dicky melihat adanya upaya dari pemerintah untuk menaikkan tes per 100 orang. Namun, disebutnya hal itu belum bermakna (Detik News, 11/07/21). Dari data yang ada menunjukkan bahwa setelah lebih dari sepekan berlangsung, maka dipastikan bahwa PPKM belum efektif dalam menekan dampak yang ditimbulkan dari pandemi. Tidak heran bila pemerintah rencananya akan kembali memperpanjang PPKM Darurat.
Langkah yang ditempuh pemerintah dengan memilih kebijakan PPKM Darurat sebenarnya memperlihatkan serius atau tidaknya pemerintah dalam menanggulangi pandemi Covid 19. Kebijakan pemerintah dari yang sebelumnya menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PPKM Jilid Kedua, PPKM Mikro, dan sekarang PPKM Darurat, intinya hanyalah kebijakan setengah-setengah. Pemerintah begitu alergi dengan lockdown dan justru makin jauh dari UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang karantina kesehatan, dimana tidak ada istilah PPKM serta tetap tidak adanya pemenuhan kebutuhan bagi yang di walayah karantina.
Pemerintah enggan untuk menghentikan mobilitas secara total karena mempertimbangkan ekonomi. Meskipun selama PPKM pemerintah membatasi pergerakan masyarakat, namun kebijakan pemerintah ini terkesan tebang pilih. Pemerintah masih membebaskan perjalanan internasional dimana beberapa waktu lalu tersiar berita tentang masuknya TKA ke Indonesia dan adanya perjalanan pejabat ke luar negeri, namun di sisi lain gerak rakyat sendiri dibatasi. Terlebih lagi pembatasan gerak masyarakat ini tidak diiringi dengan pemenuhan kebutuhan.
Masyarakat dituntut untuk tetap di rumah, tapi ada juga kebutuhan yang menuntut untuk dipenuhi. Kebijakan ini hanya menyebabkan kebingungan dan penderitaan untuk masyarakat. Seharusnya pemerintah bukan sekedar menuntut namun lupa akan kewajibannya. Belum lagi fasilitas kesehatan yang semakin kolaps dengan tenaga kesehatan yang terus berguguran. Tak ayal bahwa solusi pemerintah, kali ini dengan nama baru yaitu PPKM, lagi-lagi tidak solutif.
Inilah sejatinya karakter sekuler kapitalis yang juga tercermin pada pemerintah, yang menjadi fokus adalah ekonomi. Bahkan meski sedang dilanda pandemi, pemerintah masih menaruh perhatian besar pada beberapa proyek pembangunan salah satunya proyek kereta cepat, alih-alih memaksimalkan sumber dayanya untuk fokus menyelamatkan nyawa dan keselamatan hidup rakyatnya.
Bertolak belakang dengan Islam dimana apa yang menjadi permasalahan itu yang menjadi fokus. Terlebih lagi dalam Islam satu nyawa amat berharga, maka saat pendemi ini menjaga nyawa amatlah penting.
Para pemimpin-pemimpin negara saat ini tampak kewalahan dan kebingungan untuk mengatasi pandemi. Padahal penanganan pandemi yang benar telah diatur dalam Islam. Sebagaimana syariat Islam mengatur lewat sabda Rasululllah, “Jika kalian mendengar wabah di suatu wilayah, janganlah kalian memasukinya. Jika wabah terjadi di tempat kalian berada, jangan tinggalkan tempat itu.” (HR. Bukhari)
Begitu juga saat kepemimpinan Islam masa Khalifah Umar bin Khattab, ketika terjadi pandemi khalifah segera melakukan lockdown dan antara yang sehat dengan yang sakit akan segera dipisahkan. Bagi yang sehat tetap bisa melaksanakan aktivitas sebagaimana biasanya sehingga kehidupan sosial dan ekonomi tetep berjalan, sedangkan yang sakit akan di-lockdown untuk kemudian diobati dengan kebutuhan yang ditanggung oleh negara. Negara dengan baitul maal atau kas negara yang diatur sesuai dengan syariat, wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyat seperti pangan yang layak dan juga kesehatan. Negara menjamin pelayanan kesehatan yang profesional dan juga gratis serta menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai bagi seluruh rakyat yang terdampak tanpa terkecuali.
Tidak hanya nyawa pasien yang dilindungi, para petugas medis juga harus dilindungi karena mereka memiliki peran vital sebagai garda terdepan dalam melawan pandemi. Negara juga akan mendorong dan memberi dukungan baik dengan moril maupun sarana prasarana kepada para ahli pengobatan ataupun para ilmuwan dalam menciptakan pengobatan dan obat-obatan untuk menyembuhkan wabah.
Tentu ini sangat berbeda dengan penguasa di Indonesia yang dari awal enggan melakukan lockdown dikarenakan negara harus memenuhi kebutuhan rakyatnya selama lockdown. Ketidaksanggupan ini adalah bukti bahwa dari sebelum pandemi terjadi, sistem saat ini memang telah gagal sehingga ketika terjadi pandemi negara ketar ketir dan akhirnya kolaps.
Keadaan sangat terpuruk yang dialami saat ini dan kondisi dilema untuk memilih menyelamatkan ekonomi atau nyawa, tidaklah akan terjadi ketika diatur dengan syariat Islam di segala lini.
Terbukti meski dulu wabah juga pernah terjadi, namun negara dengan sistem kepemimpinan Islam yaitu Khilafah, mampu untuk segera mengatasinya dan kembali bangkit. Adanya pandemi ini semakin menunjukkan bahwa yang menjadi problem selama ini karena tidak diterapkannya Islam sebagai sistem kehidupan, bukannya radikalisme yang masif dikoarkan selama ini.
Dunia seharusnya makin menyadari bahwa baik muslim dan non muslim butuh satu kepemimpinan global. Permasalahan pandemi bukanlah permasalahan suatu negara saja tapi masalah manusia.
Sejatinya manusia membutuhkan solusi yang diatur oleh Sang Pencipta manusia itu sendiri yaitu Allah SWT. Maka yang menjadi solusi adalah ketika syariat Islam diterapkan di seluruh tatanan hidup dan ini hanya akan terwujud hanya dengan satu kepemimpinan yaitu kepemimpinan Islam. Wallahu a’lam bishawab. (*)
*Penulis Adalah Alumni Universitas Lampung