Geliat Pebisnis Kapitalis Matrealistis

0
20
Witta Saptarini, S.E/Foto : Ist.
“Agar pertumbuhan ekonomi semakin membaik, pun membawa pesan ‘ Wisata Sehat ‘ seolah menjadi tagline dengan pemberlakuan protokol kesehatan, pengurangan kapasitas dan sanksi berupa denda atas pelanggaran dimana raupan sanksi akan masuk ke dalam kas pemerintah daerah setempat sebagai bentuk upaya tegas akan aturan protokol kesehatan,”

Oleh : Witta Saptarini, S.E

JAKARTA | Lapan6Online : Menggeliatnya tatanan baru objek wisata yang tengah dipersiapkan oleh pemerintah melalui program Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekaf) menjadi jawaban atas prediksi dan kekhawatirannya akan potensi hilangnya jutaan wisatawan yang juga disuarakan para pebisnis sektor pariwisata di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang semakin meningkat.

Dengan dalih klise, agar pertumbuhan ekonomi semakin membaik, pun membawa pesan ‘ Wisata Sehat ‘ seolah menjadi tagline dengan pemberlakuan protokol kesehatan, pengurangan kapasitas dan sanksi berupa denda atas pelanggaran dimana raupan sanksi akan masuk ke dalam kas pemerintah daerah setempat sebagai bentuk upaya tegas akan aturan protokol kesehatan. Benarkah adanya?
Adakah pola pemikiran kekhawatiran akan hilangnya jutaan jiwa rakyat sebelum menghidupkan kembali sektor pariwisata?

Amatlah wajar pola ini bercokol dan mewarnai atmosfer kapitalisme, karena saat ini pihak swasta amat mendominasi dalam hal pengelolaan sektor pariwisata dan jelas pengaruh eksistensinya amatlah diperhitungkan demi keberlangsungan APBN karena sektor pariwisata pemberi sumbangan dengan angka fantastis setelah pajak.

Tak ayal angin segar selalu berhembus kepada para pemangku kepentingan di dalamnya tanpa memberi ruang bagi pola pemikiran yang menjadikan kesehatan dan keselamatan nyawa sebagai prioritas utama dalam benak kapitalis matrealistis.

Tak terbesit betapa bahayanya menghidupkan sektor pariwisata dalam kondisi pandemi. Mereka hanya menjadikan perubahan perilaku dan teknologi sebagai tricks menghadapi pandemi.

Sejatinya wisata tidak dipandang sebagai sarana pemuas hasrat bersenang-senang semata apalagi dilakukan tanpa memprioritaskan keselamatan jiwa. Pariwisata sebagai kebutuhan tersier maka negara tidak menjadikannya sebagai prioritas utama, pun sebagai sumber pendapatan.

Dalam Islam esensi wisata sejatinya mengutamakan tata nilai Islam dengan tetap berpegang teguh pada hukum syara yang artinya berwisata sebagai rihlah di mana perjalanan dengan maksud dan tujuan yang didasarkan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Pariwisata sejatinya memberi segudang ibrah bagi penikmatnya dan yang harus digagas bawah pula tentunya tidak dilakukan dalam kondisi yang membahayakan jiwa.

Sistem Islam kaya akan sumber pendapatan sehingga tidak menjadikan sektor pariwisata sebagai sumber pendapatan utama apalagi meraup keuntungan materi semata. [GF/RIN]

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini