OPINI | POLITIK
“Pemerintah sebenarnya juga bisa mengganti pembangkit listrik dari PLTU kepada pembangkit listrik yang lebih ramah lingkungan. Bila ada kemauan yang baik, tentu pemerintah bisa melakukannya,”
Oleh : Dewi Purnasari
PENCEMARAN udara di Indonesia semakin hari semakin mengerikan. Dampaknya pun semakin dirasakan berupa gangguan kesehatan. Terbukti dari meningkatnya angka penderita penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di DKI Jakarta.
Dari data Dinas Kesehatan DKI Jakarta, selama periode Januari hingga Juni 2023 kasus ISPA berada pada kisaran 119.734 kasus. Bahkan menurut organisasi kesehatan global Vital Strategis dan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, polusi udara di Jakarta diestimasi menyebabkan lebih dari 10.000 kematian dan menyebabkan 5.000 orang dirawat karena menderita kardiorespirasi setiap tahun (rilis 27/2/2023).
Kritik kemudian banyak bermunculan. Seperti dari kekelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Forum Udara Bersih Indonesia yang pada Minggu (27/8/2023) melayangkan gugatan kepada pelaku sektor industri dan pemerintah. Ini karena pelaku dinilai telah menyebabkan kerugian ekonomi akibat semakin buruknya polusi udara di Indonesia, BBC News Indonesia (28/8/2023).
Hal ini sejalan dengan pernyataan sebuah penelitian dunia, AQLI terhadap Indeks Kualitas Udara Kehidupan. Dalam laporannya AQLI menyatakan Indonesia adalah satu dari enam negara yang paling berkontribusi terhadap polusi udara global. Mengerikannya, hasil dari penelitian itu ditemukan, bahwa seseorang yang terpapar polutan halus dalam udara yang terpolusi sebanyak 10 µg/m3 (PM 2,5) akan dapat memangkas harapan hidupnya sampai 0,98 tahun.
Menurut AQLI, di Indonesia polusi udara yang berisi partikel halus (PM 2.5) ini berpotensi mengurangi usia hidup warga Indonesia hingga 1,4 tahun. Bahkan data dari AirNow dalam beberapa minggu terakhir di bulan September 2023, polusi udara di Jakarta telah mencapai kisaran 35 µg/m³ hingga melebihi 50 µg/m³. Sangat jauh diambang batas 10 µg/m3!
Meski Siti Nadia Tarmizhi, Juru bicara Kementerian Kesehatan mengatakan bahwa hasil penelitian AQLI ini masih perlu dikaji lebih lanjut, tetapi tingginya angka polusi udara terbukti cukup menakutkan. Klaim ‘penolakan’ Siti adalah, Indonesia belum mengenal model pengukuran yang digunakan dalam riset AQLI milik Universitas Chicago ini sebagai tolok ukur angka harapan hidup.
Jika belum ada tolok ukur, bukankah seharusnya Indonesia segera melakukan penelitian terkait polusi udara ini? Kenyataannya, meski polusi udara di DKI Jakarta dinyatakan ‘sudah sangat kritis’ anehnya pemerintah Indonesia terkesan santai dalam menghadapi masalah ini. Solusi yang ditawarkan dan dipersiapkan oleh Pemprov DKI pun hanya melakukan uji emisi kendaraan bermotor.
Sedangkan solusi lain lebih kepada solusi yang bisa diupayakan di tataran individu, seperti meminimalisir penggunaan kendaraan pribadi, lebih banyak menggunakan moda transportasi umum, berjalan kaki atau bersepeda dan memperbanyak pembuatan taman di halaman rumah. Absurd-nya lagi, penyebab utama terjadinya polusi udara justru tidak diatasi oleh pemerintah. Jadi solusi receh yang digaungkan, sementara solusi tuntasnya tidak disentuh sama sekali.
Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar ada dua penyebab utama pencemaran udara yang terjadi di Jabodetabek. Dua sumber polusi udara itu adalah kendaraan bermotor (43 persen) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) (34 persen). Kedua penyebab utama polusi udara ini ada di tataran negara dan hanya negara saja yang mampu mengatasinya. Individu tentu tidak bisa!
Dalam hal ini, tentu pemerintahlah yang seharusnya membuat kebijakan untuk mengatasi persoalan dampak kendaraan bermotor dan PLTU ini. Pemerintah tentu punya kuasa untuk mengatur agar kendaraan umum bisa dimaksimalkan penggunaannya menggantikan kendaraan pribadi. Pemerintah sebenarnya juga bisa mengganti pembangkit listrik dari PLTU kepada pembangkit listrik yang lebih ramah lingkungan. Bila ada kemauan yang baik, tentu pemerintah bisa melakukannya.
Namun, alih-alih menghentikan penyebab terbesar polusi udara tersebut, pemerintah justru hanya mewacanakan solusi bertataran individu, seperti instruksi menggiatkan bersepeda atau membuat taman di halaman rumah. Jika demikian, sama saja Pemerintah bersikap lempar batu sembunyi tangan! Bahkan saat ini yang diributkan oleh Menkes Budi Gunadi Sadikin malah kekawatiran akan melonjaknya beban pengeluaran BPJS, untuk biaya pengobatan penderita ISPA. Padahal semua tahu, dana BPJS bukan berasal dari pemerintah, tetapi dari iuran rakyat yang ditarik paksa setiap bulan!
Maka, saat Allah SWT melarang berbuat kerusakan, seperti dalam Firman-Nya, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik” (QS al-A’raf ayat 56).
Ternyata pembuat kerusakan terbesar justru adalah pemerintah Indonesia sendiri. Ini karena pemerintah tidak mencegah kerusakan yang nyata-nyata telah terjadi, tetapi hanya sibuk berwacana tanpa mengambil langkah kongkrit apapun dan membiarkan terjadinya polusi udara yang semakin membahayakan manusia! [*]
*Penulis Adalah Aktivis Dakwah Politik