“Emosi sangat memengaruhi apa yang kita tulis. Bisa jadi apa yang kita buat bukan lah konsumsi publik. Bisa jadi kita tidak sadar menghina orang dan lain-lain kemudian dibaca orang lain,”
Jakarta | Lapan6Online :Anggota Komisi I DPR RI Hasbi Anshory mengatakan, Etika dalam bermedia sosial harus selalu didahulukan untuk mencegah dampak buruk dari kemajuan teknologi tersebut.
“Emosi juga harus terus dijaga agar apa yang disebarkan di media sosial tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain,” kata Hasbi Anshory, dalam Webinar Literasi Digital yang dugelar Kemkominfo RI berkerja sama dengan Komisi I DPR RI dengan tema “Etika Bermedia Sosial”, Kamis (26/5/2022).
Hasmi menjelaskan, dalam bermedia sosial masyarakat harus bisa menata emosi dan berperilaku agar tidak terjerat UU ITE.
“Di dalam kita bermedsos ada etikanya. Ini juga dilindungi UU ITE Pasal 27 sampai 30,” kata Hasbi.
Hasbi mengatakan, pengguna media sosial di Indonesia semakin meningkat. Bahkan, saat ini mencapai 199 juta orang atau nwik 12,3 persen dari tahun sebelumnya di angka 77 juta orang.
“WhatsApp menjadi medsos paling banyak digunakan di Indonesia. Kemudian menyusul Instagram dan Facebook,” ungkapnya.
Dengan fakta itu, kata Hasbi, maka sudah seharusnya semua pihak menjaga agar apa yang disebarkan di media sosial adalah hal-hal yang positif dan bermanfaat.
“Di era medsos ini kita harus menggunakan etika sehingga kita bisa mendapatkan manfaatnya. Bukan justru membahayakan diri sendiri dan kesatuan dan persatuan bangsa. Etika bermedia sosial ini tugas kita semua,” ucap Hasbi.
Ia menjelaskan, media sosial berfungsi untuk menunjukkan identitas, serta berkomunikasi dan sharing berbagi pengalaman. Selain itu, menurutnya, juga untuk menjaga relasi dan reputasi dalam bentuk grup.
“Pertama identitas. Boleh enggak kita mengganti foto kita menjadi lebih muda, atau dengan atribut yang tidak sesuai dengan profesi kita? Ini bahaya,” ucap Hasbi.
Ia mencontohkan seseorang yang menggunakan foto profil di media sosialnya dengan menggunakan seragam TNI yang bukan profesinya. Bisa jadi, kata Hasbi, identitas palsu itu dia gunakan untuk membagikan berita bohong dan yang lainnya.
“Misalnya kita ngeshare konten porno. Itu bisa kena UU ITE. Kemudian muatan penghinaan atau pencemaran nama baik. Itu bisa pidana. Kemudian pengancaman. Ini juga bisa kena UU ITE. Kemudian berita bohong. Selanjutnya menyangkut unsur SARA. Lalu tidak boleh meretas medsos atau akun orang lain,” lanjut Hasbi.
Sementara narasumber lainnya, Dosen Pascasarjana UIN STS Jambi, Dr Madyan, mengingatkan untuk menghindari media sosial saat emosi sedang tidak stabil. Pasalnya, menurut dia, apa yang ditulis oleh seseorang yang sedang emosi bisa merugikan orang lain dan membahayakan diri sendiri.
“Emosi sangat memengaruhi apa yang kita tulis. Bisa jadi apa yang kita buat bukan lah konsumsi publik. Bisa jadi kita tidak sadar menghina orang dan lain-lain kemudian dibaca orang lain,” kata Madyan.
Ia juga mengingatkan untuk tidak menggunakan identitas palsu dalam bermedia sosial. Menurutnya, orang yang menggunakan identitas palsu cenderung akan menyebarkan berita bohong dan memanipulasi informasi
“Ini sangat merugikan orang lain. Pepatah dulu mengatakan mulutmu harimaumu, sekarang jarimu harimaumu. Ini yang kita khawatirkan. Hati-hati lah kita. Karena kita bisa bermusuhan bahkan masuk penjara karena ketikan dari jari kita. Jadi mari kita ketik lewat jari kita untuk hal-hal yang positif dan bermanfaat,” tandasnya.***