Horor Corona di Ekuador, Mayat Bergeletakan di Ruang Tamu

0
179
Jenazah korban corona yang digeletakan di pinggir jalan di Ekuador. (Str/Marcos Pin/AFP).

“Keluarga-keluarga menangis. Tapi sebanyak apapun mereka berteriak, tidak ada yang bisa mereka lakukan.”

Jakarta, Lapan6online.com | Menguburkan jenazah pasien virus corona rupanya menjadi proses yang menyulitkan dan menyedihkan bagi sebagian orang di Kota Guayaquil, Ekuador. Kota dengan jumlah penduduk sekitar 2,6 juta tersebut adalah salah satu pusat penyebaran Covid-19 tertinggi di Amerika Latin, ABC News mengabarkan.

Dengan tingginya kasus kematian di Ekuador, beberapa jenazah tidak diurus dengan baik. Bahkan, ada pula jenazah yang hilang entah kemana.

Seorang pasien bernama Alfonso Cedeño meninggal dunia di rumah sakit yang padat di Guayaquil. Rumah sakit hanya bisa menawarkan tandu ambulans untuk sementara. Namun dua minggu kemudian, keluarga Alfonso Cedeño tidak tahu di mana jasad Cedeño berada.

“Jasad pamanku entah di mana,” ujar Alfonso Mariscal kepada ABC News Selasa (7/4/2020) lalu.

Beberapa keluarga pasien lain juga berkata penguburan jenazah pasien Covid-19 di kota itu amat sulit. Ratusan pasien meninggal dunia di rumah mereka masing-masing. Mereka diletakkan di ruang tamu selama beberapa hari sebelum petugas yang overtime mengambil jasad mereka.

Pasien yang meninggal dunia di rumah sakit dimasukkan ke dalam truk berpendingin yang dijadikan kamar mayat darurat. Perwakilan pemerintah mengatakan mereka sekarang dengan cepat mengambil dan menguburkan mereka-mereka yang telah meninggal. Namun, anggota keluarga menggambarkan proses itu “sangat membingungkan.”

Beberapa harus mencari sendiri kantong mayat anggota keluarga mereka di kamar mayat yang penuh. Sementara yang lainnya, seperti Alfonso Mariscal, masih belum tahu ke mana pamannya dibawa.

Marsical pada akhirnya menemukan pamannya ketika dia masuk ke situs web pemakaman Gardens of Hope dan menemukan nama Alfonso Cedeño, bersama dengan informasi yang menyatakan bahwa dia telah dimakamkan sehari sebelumnya. Tetapi ketika dia pergi ke tempat pemakaman itu, pamannya tidak ada di sana.

“Aku membuka peti mati, tapi kosong” katanya.

Sementara itu, pasien yang “cukup beruntung” ditempatkan di peti mati kardus karena peti mati kayu menjadi terlalu mahal atau langka. Kerabat mereka kemudian menunggu berjam-jam di luar kuburan dengan truk pikap untuk menguburkan mayat mereka.

“Keluarga-keluarga menangis. Tapi sebanyak apapun mereka berteriak, tidak ada yang bisa mereka lakukan.” kata Merwin Terán, pemilik rumah duka Guayaquil.

Banyak yang takut Ekuador bisa menjadi pertanda menakutkan tentang apa yang akan terjadi di Amerika Latin. Jumlah infeksi di Ekuador jauh lebih sedikit dibandingkan yang dikonfirmasi daripada AS atau Eropa. Namun, Ekuador sangat kekurangan dokter, tempat tidur rumah sakit, serta ventilator.

Sebagian besar dari 4.000 kasus di negara Amerika Selatan itu berada di provinsi Guayas, yang mencakup kota Guayaquil. Rumah sakit di kota itu kewalahan hingga harus menolak mereka yang sakit dan membiarkan mereka dirawat jalan saja.

Jorge Wated, yang memimpin satuan tugas pemerintah, mengatakan para pejabat telah mengambil lebih dari 520 jenazah di rumah-rumah warga selama sepekan terakhir.

Pada hari Selasa, para pekerja telah menguburkan 146 jenazah dan diperkirakan akan menambah lebih dari 50 orang pada hari itu, katanya kepada stasiun radio setempat. Ia mengatakan layanan darurat kini berusaha mengumpulkan pasien yang sudah meninggal secepat mungkin, yaitu dalam waktu 12 jam.

Sekitar 2.000 peti mati kardus diberikan kepada anggota keluarga yang tidak dapat mendapatkan peti mati kayu. “Kita harus menemukan opsi terbaik untuk saat ini,” ujar Wated.

Di seluruh dunia, pemandangan memilukan terlihat di rumah sakit dan rumah duka yang berjuang untuk mengatasi kematian virus corona.

Di sudut kota di Italia, pemakaman disaksikan oleh hanya beberapa orang dalam waktu kurang dari lima menit.

Di Amerika Serikat, beberapa rumah duka merenggangkan jarak antar kursi sebagai bentuk physical distancing atau menggunakan teknologi berupa buku tamu online dan layanan pemakaman live streaming.

Di Ekuador, di mana sekitar seperempat populasi berpenghasilan kurang dari $ 85 per bulan, kemewahan seperti itu tidak mampu dibeli oleh banyak orang.

Pemerintah sendiri menguburkan banyak jenazah dan hanya memberi tahu kerabat mereka melalui situs web di mana jasad keluarga mereka dikuburkan. Keluarga tidak akan diizinkan untuk melayat sampai darurat kesehatan dinyatakan berakhir.

Seorang warga bernama Melanie Peralta mengatakan krisis di Guayaquil telah membuat perbedaan kelas menjadi sangat jelas.

Ayahnya, Guillermo Villao, meninggal pada 31 Maret setelah menderita demam, sakit tenggorokan dan kesulitan bernapas – semua tanda-tanda Covid-19, meskipun ia tidak pernah diuji.

Selama enam hari, staf rumah sakit tidak bisa menjawab di mana mayat ayahnya. Akhirnya, keluarga mendapat jawaban setelah membayar pekerja $ 100 untuk membantu menemukan jenazahnya.

“Tidak ada yang bisa mengidentifikasi dia. Tubuhnya sudah membusuk,” katanya.

Peralta bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika dia tidak memiliki uang tunai untuk meminta seseorang di rumah sakit untuk mencoba menemukan ayahnya. “Mereka yang tidak punya uang mungkin tidak bisa menemukan anggota keluarga mereka,” katanya.

Wated menggambarkan kisah-kisah seperti itu “memalukan.” Tetapi ia mengatakan hal semacam itu adalah tanggung jawab rumah sakit untuk memastikan setiap jasad diidentifikasi dengan benar.

Ia mengatakan para pekerja kuburan mengambil foto almarhum sebelum mengubur mereka. Pemerintah juga akan mulai mengubur jenazah yang tidak dijemput oleh kerabat dalam waktu 24 jam setelah kematian.

Kisah lain, Cedeño, seorang pemimpin serikat pekerja berusia 57 tahun, dibawa ke rumah sakit umum di Guayaquil pada akhir Maret setelah mengalami kesulitan bernapas. Tidak ada tempat tidur, jadi dokter menempatkannya di kursi plastik dan memberinya infus, kata Ricardo Ramirez, seorang pensiunan dokter dan teman yang berkomunikasi dengannya melalui telepon.

Dua belas jam kemudian, Cedeño masih di kursi dan sangat membutuhkan ventilator. Tetapi unit perawatan intensif masih saja penuh. Seorang pekerja rumah sakit kemudian berimprovisasi dengan menarik tandu dan masker oksigen dari ambulans. Tapi ternyata aksi itu terlambat. Cedeño meninggal malam itu.

Keluarganya percaya Cedeño meninggal karena virus corona, meski ia tidak belum sempat menjalani tes. “Itu bukan kesalahan mereka. Mereka juga kewalahan.”

Meskipun demikian, ia mengatakan para petugas rumah sakit gagal menjalankan protokol yang memastikan mayat-mayat diidentifikasi dengan jelas dan bahwa kamar mayat tidak penuh.

(Tribunnews/law-Justice)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini