“Namun apa jadinya sebelum ibu hamil melahirkan sudah terbebani biaya menggunung yang mesti mereka bayar,”
Oleh : Sri Rahmayani
Lapan6Online : Defisit masih menjadi permasalahan yang dihadapi BPJS Kesehatan. Defisit bukan hanya dalam pembiayaan besar pada penyakit katastropik, namun ketidakpatuhan peserta membayar iuran menjadi sumber masalahnya.
Menurut hasil studi dan analisis data administratif BPJS Kesehatan pada 219.466 peserta PBPU (peserta bukan penerima upah) sejak 1 Mei 2016 – 1 April 2018, terdapat 150.080 atau setara 68 persen menunggak iuran dengan persalinan normal di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) serta persalinan normal dan sesar di rumah sakit.
Sekitar 64,7 persen ibu hamil baru mendaftar peserta BPJS Kesehatan pada satu bulan sebelum melahirkan. Sementara hanya 0,7 persen yang sudah mendaftar sejak sembilan bulan sebelum melahirkan.
Dilansir detik.com, Jumat (18/10/2019), Deputi Direksi Bidang Riset dan Pengembangan BPJS Kesehatan Citra Jaya menyatakan bahwa mayoritas mendaftar satu bulan menjelang persalinan. Pascapersalinan ternyata 43 persen langsung berhenti membayar iuran.
Fitrah manusia setelah pernikahan ingin meminang bayi, namun apa jadinya sebelum ibu hamil melahirkan sudah terbebani biaya menggunung yang mesti mereka bayar. Apakah ini salah satu bukti nyata pengurusan kesehatan sedang tidak baik-baik saja?
Peran serta penguasa sangat penting dalam hal ini. Selain kehidupan pangan, papan, juga ada kebutuhan kesehatan serta keamanan yang mesti dan harus diberikan kepada rakyat.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sampai hari ini agaknya hanya semboyan saja. Bagaimana tidak, pemberlakuan kenaikan iuran BPJS terhitung sejak 1 September 2019 dinaikkan dua kali lipat.
Jika membahas soal apakah BPJS yang berlaku di masyarakat hari ini sudah mewujudkan keadilan bagi rakyat, nyatanya juga tidak. Di dalam BPJS sendiri berlaku sistem kelas, kelas satu, dua dan tiga. Siapa yang bisa ikut iuran pada kelas satu, fasilitas dan perlakuan pelayanan akan jauh berbeda dengan mereka yang berada pada kelas terakhir.
Bagi sebagian orang hal itu bersifat wajar, karena seperti itulah pola pikir kapitalis yang sudah terbentuk dalam masyarakat. Siapa bisa membayar berapa, maka sebesar itu pula layanan publik akan diperolehnya. Jika kita mampu membayar kelas I maka layanan dan kepedulian yang diterima akan berbeda dengan kelas yang lain.
Islam memandang individu satu dengan yang lainnya sama, yang membedakannya hanya ketakwaan terhadap Allah semata. Maka dari itu setiap individu pastilah mendapat keadilan hak dan kewajiban yang sama. Pelayanan kepada masyarakat dilihat dari sudut yang lebih mendesak untuk ditangani dengan fasilitas kamar, dokter dan sebagainya bersifat sama. Tidak ada lagi kelas satu dua ataupun tiga.
Juga tidak ada lagi BPJS ataupun iuran semisalnya, karena fasilitas kesehatan merupakan salah satu kewajiban negara yang wajib digratiskan untuk rakyat, yang sayangnya hari ini setiap dari apapun kepentingan rakyat, entah itu dalam bidang kesehatan, pendidikan, ataupun fasilitas publik yang lain menjadi santapan yang lezat bagi para kapital untuk menanamkan modal mereka, dengan dalih untuk perputaran roda ekonomi dan kemaslahatan bersama.
Terkhusus ibu hamil.
Posisi penguasa dalam Islam adalah mengurusi, mengayomi dan mensejahterakan rakyat. Dalam Islam biaya kesehatan itu gratis. Di masa kejayaan kekhilafahan dahulu pernah terjadi peristiwa di mana seorang pasien ibu hamil tidak mau beranjak dari rumah sakit karena sangat baiknya pelayanan kesehatan yang diberikan saat itu.
Para ibu hamil merindukan sosok pemimpin yang peduli dan memperhatikan kesehatan yang hanya bertujuan murni untuk mensejahterakan mereka dalam kenyamanan mendapatkan hak bukan dijadikan alat untuk mencapai tujuan manfaat. GF
*Penulis adalah Ibu rumah tangga. Tinggal di Sulsel