OPINI | POLITIK
“Politisi Zionis kanan-ekstrem ini tidak malu-malu menyatakan tujuan mereka secara publik sekarang, yakni mengusir semua orang Arab dari Gaza, Tepi Barat, dan bahkan dari Israel. Provokasi Zionis ini pada gilirannya telah memicu sejumlah aksi terorisme individual,”
Oleh : Nur Chalizah
HARI Raya Kurban alias Idul Adha tahun ini dibayangi situasi di Gaza yang masih membara dan kesulitan ekonomi di negara-negara yang terjebak konflik. Namun, perayaan itu tetap diperingati dengan khidmat di berbagai belahan dunia.
Umat Islam di seluruh dunia, termasuk Palestina, merayakan hari raya Idul Adha 1445 Hijriah/2024 pada Minggu (16/6/2024). Umumnya, Idul Adha identik dengan shalat ied di masjid, penyembelihan hewan kurban, serta perayaan yang penuh sukacita.
Sayangnya, kondisi tersebut tidak berlaku di Palestina yang tengah berkonflik dengan Warga Palestina mengalami keterbatasan akibat tindakan tentara Israel yang melancarkan perang besar di Jalur Gaza. Ini dilakukan untuk membalas serangan Hamas ke pangkalan militer dan pemukiman Israel pada 7 Oktober 2023.
Delapan bulan setelah perang dimulai, lebih dari 37.000 warga Palestina meninggal dan 85.372 orang terluka. Warga yang tersisa merayakan Idul Adha dengan kesedihan dan keterbatasan. kini, warga Palestina menjalani hari raya Idul Adha hanya dengan makanan kaleng di tenda-tenda pengungsian sesak.
Hampir tidak ada daging atau ternak di pasar lokal. Mereka juga tidak punya uang untuk membeli makanan atau hadiah. Minggu pagi di dekat masjid yang hancur untuk melaksanakan shalat Idul Adha. Mereka dikelilingi puing-puing rumah yang runtuh. Sementara warga di Kota Deir el-Balah menggelar shalat di sebuah sekolah yang diubah menjadi tempat penampungan.
Di sisi lain, pelaksanaan shalat di Masjid Al-Aqsa sangat dibatasi. Sebanyak 40.000 warga palestina melaksanakan salat idul adha di Masjid Al-Aqsa di Yerusalem Timur pad Minggu, namun tidak terlihat suasana perayaan hari raya, tetapi mereka berduka atas saudara-saudari Muslimah mereka yang menjadi korban perang Israel di jalur Gaza. Di Yerusalem, pasukan Israel menindak warga Palestina yang mencoba pergi ke Masjid Al-Aqsa. Pembatasan ketat diberlakukan termasuk adanya upaya menyerang jamaah. Tentara juga mendirikan pos pemeriksaan yang memaksa kendaraan berhenti.
Pasukan Israel menewaskan sedikitnya 17 warga Palestina dan melukai puluhan lainnya dalam serangan udara semalam di Jalur Gaza, ketika serangan mematikan Israel di wilayah kantong yang direbut tersebut memasuki hari ke-256.
Tim medis mengumpulkan 13 jenazah dari puing-puing dua rumah milik keluarga Al-Ra’yi dan al-Madhoun yang hancur di kamp pengungsi Nuseirat di Jalur Gaza tengah, kantor berita resmi Palestina Wafa melaporkan pada Selasa. Serangan udara Israel lainnya terhadap rumah keluarga Harb di kamp pengungsi Bureij menewaskan sedikitnya empat warga Palestina dan melukai beberapa lainnya.
Lebih banyak serangan udara dan penembakan Israel dilaporkan terjadi di Rafah dan Deir al-Balah, masing-masing di Gaza selatan dan tengah, serta lingkungan Tel al-Hawa dan Zeitoun di Kota Gaza.
Semakin banyak politisi kanan-ekstrem yang memasuki pemerintah dan meluncurkan provokasi yang kian hari kian tajam terhadap rakyat Palestina: perluasan pemukiman Yahudi di Tepi Barat, represi yang semakin kejam terhadap warga Palestina, penyerangan terhadap masjid Al-Aqsa, dsb.
Politisi Zionis kanan-ekstrem ini tidak malu-malu menyatakan tujuan mereka secara publik sekarang, yakni mengusir semua orang Arab dari Gaza, Tepi Barat, dan bahkan dari Israel. Provokasi Zionis ini pada gilirannya telah memicu sejumlah aksi terorisme individual dari kaum muda Palestina yang putus asa akan kondisi mereka.
Ini lalu digunakan secara sinis oleh Netanyahu dan kaum Zionis ekstrem kanan untuk memperkuat siege-mentality di antara warga Israel. Dengan menciptakan ancaman eksternal, rakyat pekerja Israel dialihkan perhatiannya dari problem internal kapitalisme.
Serangan Hamas pada 7 Oktober oleh karenanya adalah berkah besar bagi Netanyahu dan kaum Zionis kanan ekstrem, yang memang telah menanti-nantikan ini. Mereka tidak peduli dengan keselamatan rakyat Yahudi selama ini dapat digunakan untuk memperkuat cengkraman kekuasaan mereka.
Demi kepentingan sempitnya, Netanyahu semakin bergeser ke kanan. Namun ini bukan karena kecacatan pribadi Netanyahu. Di mana-mana krisis kapitalisme menciptakan polarisasi politik yang tajam ke kanan dan kiri, dengan runtuhnya politik tengah.
Kita saksikan ini dengan kemunculan sosok-sosok seperti Trump, Marine Le Pen, Bolsonaro, dan Boris Johnson. Netanyahu hanyalah pengejawantahan dari proses yang serupa, yaitu proses pembusukan kapitalisme.
Sehingga solusi hakiki untuk masalah Palestina haruslah bersandar pada syariah. Tanah Palestina adalah tanah kharajiyah milik kaum muslim di seluruh dunia sehingga tidak ada seorangpun yang berhak menyerahkan tanah kharajiyah kepada pihak lain, apalagi kepada negara penjajah seperti Zionis Yahudi.
Adapun sikap kita selaku kaum muslimin, tak terkecuali pengusaha muslim semestinya haruslah seperti yang ditunjukkan oleh Khalifah Umar Bin Khattab yang berlatar belakang pengusaha dan para khilafah setelahnya untuk membebaskan kembali tanah kharajiyah kaum muslimin dan kiblat pertama umat Islam ini.
Dan semua ini hanya sanggup dilakukan oleh seorang Khalifah yang dibaiat secara syar’i oleh segenap kaum muslimin. Bukti historis telah nyata memberikan kita pesan yang tegas bahwa hanya sistem khilafah dan para khalifahlah yang sanggup melindungi Palestina dan al-Aqsha sebagai tanah kharajiyah selama berabad-abad lamanya.
Jadi tidak ada aktivitas amal yang paling mulia bagi pengusaha muslim abad ini kecuali terus berjuang dalam barisan dakwah yang sedang mengupayakan tegaknya kembali islam rahmatan lil alamin dalam bingkai daulah khilafah Islamiyah. (**)
*Penulis Adalah Aktivis Dakwah