Jokowi Dapat Dihukum Mati ?

0
1
Abdullah Hehamahua. (foto: dok. Tempo.co)

OPINI | HUKUM | POLITIK

“Indonesia sudah biasa menjatuhkan hukuman mati bagi narapidana narkoba dan teroris. Namun, belum ada hukuman mati terhadap koruptor,”

Oleh : Abdullah Hehamahua

AKIL MOKHTAR, koruptor pertama di Indonesia yang dijatuhi hukuman seumur hidup. Faktor yang memberatkan hukumannya karena beliau adalah Ketua MK. Padahal, MK adalah Lembaga Negara yang berwenang melindungi UUD 45 dari segala penyimpangan. MK juga berhak mengadili sengketa Pemilu, Pilpres, dan Pilkada.

Uang yang diterima dari mereka yang bersengketa di MK karena kasus Pilkada 2004, hanya Rp. 36 milyar dan 500.000 dollat AS. Bandingkan dengan apa yang diperoleh Jokowi.

Jokowi, diduga menerima puluhan triliun rupiah. Belum lagi kerugian keuangan dan perekonomian negara karena kebijakan Jokowi bisa mencapai ribuan triliun rupiah. Sebab, UU Minerba, IKN, Cipta Kerja, Kesehatan, amandemen UU KPK serta kereta api cepat Jakarta – Bandung, merugikan ratusan trilun rupiah. Apalagi, kasus terbaru, PIK2 dan PSN lain di seluruh Indonesia yang menurut PPATK, 16 Januari 2025, terdapat 36,67% anggaran PSN, dikorupsi. PPTK menyebutkan, angka tersebut mencapai R.2.290 triliun.

Konsekuensi logisnya, jika dibandingkan dengan hukuman yang diterima Akil Mokhtar, maka wajar kalau Jokowi dijatuhi hukuman mati.

Indonesia sudah biasa menjatuhkan hukuman mati bagi narapidana narkoba dan teroris. Namun, belum ada hukuman mati terhadap koruptor. Padahal, pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, menyediakan hukuman mati bagi koruptor.

Prabowo bisa menjadi pahlawan pemberantasan korupsi jika beliau menolak grasi yang nanti diajukan Jokowi ketika Hakim menjatuhkan hukuman mati terhadapnya.

Namun, sebelum permohonan grasi Jokowi sampai ke meja Prabowo, mantan “raja Solo” tersebut harus diseret ke Pengadilan. Sebab, masyarakat Indonesia geger atas pengumuman OCCRP yang menetapkan Jokowi sebagai koruptor nomor dua di dunia.

Penulis, empat tahun menjadi Wakil Ketua Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), 2001 – 2004. Sepuluh anggota DPR/MPR yang kulaporkan ke Mabes Polri waktu itu (2003), mayoritas mereka dipenjarakan oleh KPK.

Penulis pun delapan tahun menjadi Penasihat KPK (2005 – 2013) sehingga cukup paham, trick-trick korupsi yang dilakukan pejabat negara.

Penulis juga pernah menjadi wartawan setelah mengikuti Pendidikan Jurnalistik selama sebulan di Jakarta (1971) yang dilaksanakan Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) sehingga biasa melakukan kegiatan investigasi. Olehnya, Penulis paham alasan OCCRP menetapkan Jokowi sebagai koruptor kelas dua dunia.

Agar masyarakat ikut paham mengenai hal tersebut, Penulis akan menurunkan beberapa artikel secara berseri mengenai dugaan korupsi yang dilakukan Jokowi.

Mengenali OCCRP
OCCRP adalah salah satu organisasi jurnalisme investigasi terbesar di dunia. Ia berkantor di Amsterdam dan memiliki staf di enam benua sehingga bermitra dengan media lain. Kolaborasi ini menerbitkan laporan atas apa yang terjadi di dunia, termasuk masalah investigasi.

Drew Sullivan dan Paul Raud yang berinisiatif mendirikan OCCRP (2007), memulai kerjanya di Eropa Timur dengan menggandeng beberapa mitra. Ternyata, OCCRP berkembang menjadi kekuatan utama dalam jurnalisme investigasi kolaboratif internasional.

Visi OCCRP adalah dunia yang leluasa mendapat pelbagai informasi dan ruang demokrasi tidak terancam oleh kejahatan dan korupsi. Misinya, menyebarkan dan memperkuat jurnalisme investigasi di seluruh dunia dan mengungkap kejahatan serta korupsi. Targetnya, rakyat dapat meminta pertanggung-jawaban penguasa mereka.

OCCRP dalam upaya melaksanakan misinya guna mencapai visi lembaga, punya empat hal, yakni: Laporan investigasi; Instruktur; Inovasi; dan Dampak positif.

Wajar jika OCCRP merupakan LSM jurnalistik yang pernah menerima penghargaan Pulitzer pada tahun 2017 untuk laporan mengenai Panama Papers Series.

PBB dan Uni Eropa juga pernah memberikan penghargaan ke OCCRP. Bahkan, pada tahun 2023, OCCRP masuk dalam daftar penerimaan hadiah nobel perdamaian oleh Profesor Wolfgang Wagner di Vrije Universiteit Amsterdam. Sebab, OCCPR menurut Prof. Wolfgang, berkontribusi terhadap perdamaian dengan mengungkapkan korupsi politik dan kejahatan terorganisir.

Cara Kerja OCCRP
OCCRP meminta nominasi dari pembaca, jurnalis, juri Person of the Year, dan pihak lain di jaringan global mereka. Olehnya, OCCRP, setiap tahun menerima nama-nama finalis “penghargaan tokoh kejahatan terorganisir dan korup” dari masyarakat.

Penetapan para pemenang ditentukan oleh enam juri. Mereka menganalisis semua nominasi yang ada dalam menetapkan para pemenang.

OCCRP selama beroperasi, telah membuat lebih dari 702 pejabat dunia mengundurkan diri atau diskors dari jabatan. Laporan lembaga ini telah menghasilkan lebih dari 620 dakwaan, berbagai vonis hukuman, hingga lebih dari 100 aksi korporasi.

OCCRP berdasarkan prestasinya tersebut, menetapkan Jokowi bersama lima finalis lainnya sebagai koruptor kelas kakap peringkat dunia, tahun 2024. Finalis lainnya adalah: Mantan Presiden Suriah, Bashar al-Assad; Presiden Kenya, William Ruto; Presiden Nigeria, Bola Ahmed Tinubu; mantan Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina; dan pengusaha India Gautam Adani.

Sekjen Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bayu Wardhana, mengatakan, OCCRP adalah lembaga yang kredibel dan cukup bonafide. Para wartawan mereka sering mengungkapkan laporan investigasi yang bisa dipertanggung jawabkan terkait dengan skandal para pemimpin dunia.

Beberapa laporan yang menggemparkan, menurut Bayu adalah Panama Papers dan Spyware Pegasus. Bahkan, Bayu mengatakan, metode yang dipakai dalam pemilihan “tokoh kejahatan terorganisir dan korup” yakni voting dan keputusan dewan juri, sah dan biasa dilakukan.

Simpulannya, OCCRP adalah LSM jurnalistik, bukan Aparat Penegak Hukum (APH) yang harus membuktikan, ada tidaknya korupsi yang dilakukan seseorang. Asalkan OCCRP memiliki unsur 5 W dan 1 H, maka sudah terpenuhi syarat jurnalistik. Tinggal lagi APH dan Pengadilan yang melakukan pembuktian tersebut.

Apa saja korupsi yang diduga dilakukan Jokowi, akan dikomunikasikan dalam artikel seri berikut. In syaa Alaah. (Shah Alam, 25 Januari 2025). (**)

*Penulis Adalah Aktivis dan Politikus Islam Indonesia/Ketua Majelis Syuro Partai Masyumi/Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi masa jabatan 2005–2013/Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam periode 1978–1981