“Ekonomi Indonesia sudah dipastikan sedang lesu, namun pandemi membuat defisit makin lebar karena penerimaan negara anjlok, sementara kebutuhan anggaran semakin melonjak,”
Oleh : Umi Jamilah, S.Pd
Jakarta | Lapan6Online : Pandemi covid-19 masih menghantam negeri ini di berbagai sector, khususnya sektor ekonomi. Di sisi lain terdengar kabar bahwa baru-baru ini Menteri Keuangan meraih penghargaan sebagai Menteri Keuangan terbaik se-Asia pasifik tahun 2020 dari majalah Global Markets.
Penghargaan ini didapatkan kali kedua, sebelumnya pernah didapatkannya pada tahun 2018 dari majalah yang serupa.
Penilaian di berikan karena diduga melihat komitmen memberikan stimulus fiskal dalam bentuk perlindungan sosial, insentif perpajakan, penjaminan pinjaman dan subsidi bagi sektor usaha yang terdampak. Disamping itu juga memperlebar defisit melebihi batas maksimum yang ditetapkan dalan UU sebesar 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
“Gelar ini merupakan salah satu bentuk keseriusan dan kerja keras seluruh jajaran Kementerian Keuangan dalam menangani pandemi Covid-19 di Indonesia,” ujar Menkeu dalam keterangan resminya. (tribunpalu, 17/10/2020).
Ketua umum DPD HIPPI DKI Jakarta, Sarman Simanjorang, mengatakan bahwa berdasarkan data pertumbuhan ekonomi dan inflasi 2020, maka kenaikan UMP (Upah Minimum Provinsi) 2021 diperkirakan 0%. Dari sini indonesia sudah resesi.
Bahkan Kepala badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengatakan bahwa resesi sudah masuk sejak awal kuartal I. Biasanya ekonomi indonesia dikisaran 5%. Sementara di kuartal I terealisasi hanya 2, 97%. Penurunan terus berlanjut pada kuartal II yang terealisasi minus 5,32% (detikfinance, 01/10/2020).
Sepanjang periode Januari-September 2020 defisit APBN mencapai Rp 682,1 triliun, setara dengan 4,16% dari PDB Indonesia dan Ini sudah melebihi batas aman 3%. Dengan alasan pandemi covid-19, pemerintah menaikkan batas aman menjadi 6,34% melalui perpu pengganti UU RI no:1/2020 tentang kebijakan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi covid-19. (merdeka.com, 19/10/2020).
Bank Dunia merilis laporan berjudul Internasional Debit Sttistik (IDS) pada 12 Oktober 2020. Indonesia menempati posisi ke 7 dari 10 negara berpendapatan kecil-menengah dengan utang luar negri terbesar di dunia. Hutang indonesia mencapai USD 402 Miliar atau sekitar Rp 5.889 triliun—kurs Rp 14.650 per dolar Amerika Serikat. (tempo.co. 14/10/2020).
Melihat hal ini, banyak pihak yang mempertanyakan: Layakkah Menteri Keuangan menyandang penghargan tersebut?
Dalam sistem kapitalis, ketika pendapatan negara mulai kritis, maka negara tersebut tidak akan diakui. Karena kapitalis hanya mencari manfaat dan keuntungan semata. Sistem ini tidak akan bisa menyelesaikan masalah ekonomi karena hanya mengandalkan pemasukan dari pajak dan utang, dan terkadang menerima penghasilan dari retribusi dan keuntungan BUMN.
Utang merupakan kebutuhan penting untuk menambal defisit anggaran. Utang diperbolehkan asal tidak melampaui batas aman.
Sebelum pandemi covid-19, ekonomi Indonesia sudah dipastikan sedang lesu, namun pandemi membuat defisit makin lebar karena penerimaan negara anjlok, sementara kebutuhan anggaran semakin melonjak.
Cara kapitalis mengatasi defisit tersebut adalah dengan meningkatkan pajak, berhutang dan mencetak mata uang. Dan resiko dari pilihan tersebut besar terhadap APBN. Jika berhutang, defisit makin lebar. Jika mencetak uang resikonya juga lebih besar. Sehingga kapitalisme akan menemukan jalan yang buntu.
Berbeda ketika pengaturan yang digunakan adalah islam. Sistem ekonomi islam akan membagi pada pos-pos penerimaan sesuai ketentuan syari’ah. Ketika ekonomi islam mengalami defisit, maka sistem islam akan menyelesaikannya dengan 3 strategi, antara lain: Pertama, meningkatkan pendapatan negara yang berasal dari harta milik negara, harta kepemilikan umum dan harta individu.
Kedua, Menghemat pengeluaran, khususnya pengeluaran yang dapat ditunda dan tidak mendesak. Ketiga, khalifah berhutang.diperbolehkan. Dan berhutang tujuannya untuk mengatasi defisit selama masih terikat dengan ketentuan hukum syariat.
Pemimpin dalam islam tidak akan tergiur dengan jebakan dari luar negri untuk berhutang. Apalagi didalamnya mengandung riba, karena dalam menjalankan amanahanya seorang khalifah hanya ingin mendapatkan penilaian baik dari Allah SWT. Sebagaimana diketahui bahwa islam adalah agama rahmatan lil’alamin, Allah SWT berfirman: “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”. (QS. Al-Anbiya: 107).
Islam sebagai landasan dalam berbuat untuk mendapatkan ridho Allah SWT. Bukan melandaskan pada penilaian manusia yang mempunyai kelemahan. Karena manusia itu mempunyai sifat kurang, lemah dan terbatas. Ketika masih menggunakan sistem kapitalisme, mustahil terjadi keadilan dan ketentraman.
Maka marilah kita kembali kepada aturan islam dengan syariah dalam naungan khilafah ‘ala minhajinnubuwwah. Wallahua’lam bish-showab. (*)