OPINI | POLITIK
“Efek kekurangan air bersih ini jelas juga berdampak pada kesehatan masyarakat, sebagain warga terkena diare karena menggunakan air yang kualitasnya tidak sesuai dengan kebersihan yang seharusnya,”
Oleh : Albayyinah Putri, S.T
CUACA semakin ekstrem berdampak pada kehidupan seluruh makhluk hidup saat ini. Cuaca panas yang mencapai suhu yang sangat tinggi juga menjadi salah satu alasan kekeringan melanda.
Namun, apakah permasalahan cuaca ini hanya dikarenakan fenomena alam saja? Tentu saja ada faktor eksternal lainnya yang menyebabkan kekeringan melanda dan meluas ke berbagai belahan dunia saat ini.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut, musim kemarau dan kekeringan di Indonesia tidak akan separah kondisi di Korea Selatan.
BMKG memprediksi puncak musim kemarau di Indonesia akan terjadi pada minggu terakhir Agustus 2023 yang dipicu fenomena El Nino (Liputan6.com).
Dikutip dari cnbcindonesia.com, saat ini, lebih dari 1 juta orang di Korea Selatan (Korsel) menghadapi krisis air. Fenomena ini terjadi karena dua waduk utama yang memasok provinsi Jeolla mengering.
Melansir Channel News Asia, Jumat (31/3/2023), kekeringan telah merusak wilayah tersebut selama sekitar empat bulan terakhir, dengan ketinggian air waduknya kurang dari setengah dari sebelumnya. Padahal, wilayah sekitar 440 km selatan dari Seoul ini dikenal dengan bentang alamnya yang masih asli.
Sedangkan diikutip dari website Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kekeringan secara umum berdampak pada pemenuhan kebutuhan air bagi wilayah dengan tingkat intensitas hujan rendah misalnya Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, Maluku, Sulawesi Selatan, dan Papua.
Plt Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR Jarot Widyoko mengatakan sebagai langkah antisipasi kekeringan pada musim kemarau tahun ini diprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan air bersih konsumsi masyarakat, baru setelah itu untuk irigasi lahan pertanian.
Namun, pada kenyataannya masih banyak warga khususnya di Indonesia yang mengeluhkan kekurangan air bersih di daerahnya. Efek kekurangan air bersih ini jelas juga berdampak pada kesehatan masyarakat, sebagain warga terkena diare karena menggunakan air yang kualitasnya tidak sesuai dengan kebersihan yang seharusnya.
Seperti yang dialami sebagian warga di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bogor mencatat tren penyakit diare mulai meningkat. Dinkes Kabupaten Bogor memprediksi hal ini terjadi karena warga kesulitan mendapat air beraih di tengah kemarau yang melanda (republika.id).
Selain itu dari tvonenews.com, sudah puluhan tahun warga di Pangasinan RT 1 RW 13, Dusun Girimulya, Desa Binangun, Kota Banjar, Jawa Barat, kesulitan memperoleh air bersih. Air sumur milik warga tidak bisa digunakan untuk minum karena terasa asin, sementara tidak ada pasokan air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Anom.
Di sini perlu kita pahami bahwa masalah kekeringan bukanlah masalah yang datang hanya di musim kemarau saja. Tetapi masalah krisis air ini sudah menjadi problem sepanjang tahun yang dikarenakan kurang perhatiannya negara terhadap kebutuhan pokok masyarakat.
Air bersih merupakan hal yang vital bagi masyarakat, ini bukan berhubungan dengan kesehatan masyarakat saja, tetapi seluruh makhluk hidup yang ada di bumi ini membutuhkan air bersih yang sesuai standar.
Sayangnya kebutuhan air bersih dan permasalahannya belum sepenuhnya teratasi. Agenda-agenda yang dilakukan tidak membuat kebutuhan air bersih masyarakat dan masalah kekeringan teratasi secara signifikan. Meski beberapa daerah sudah tercukupi mengenai keberadaan air bersi namun, jika dilihat lebih luas ada ketimpangan di sana.
Masih banyak daerah yang mengalami kekeringan parah, sedangkan air kemasan dijual bebas, beberapa pegunungan dijadikan sebagai sumber air untuk dikomersialkan, dijual kepada mereka-mereka yang mampu. Sedangkan Sebagian lainnya kesulitan air bersih karena sumbernya tidak ada atau sumber air bersihnya mengalami kekeringan.
Dunia internasional sudah melakukan berbagai antisipasi dan mitigasi untuk menangani kasus kekeringan, bahkan sudah menjadi program internasional yang memang harus diselesaikan. Menurut UU Nomor 24 Tahun 2007, mengatakan bahwa pengertian mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Sedangkan antisipasi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI didefinisikan sebagai perhitungan hal-hal yang akan atau belum terjadi, bayangan, atau ramalan. Masih dari sumber yang sama, antisipasi juga didefinisikan dengan penyesuaian mental terhadap peristiwa yang akan terjadi.
Namun karena semua tidak langsung mengarah ke akar permasalahan maka problematika ini tidak akan terselesaikan sepenuhnya, akan selalu ada ketimpangan di sana.
Dalam Islam, sumber daya alam adalah kepemilikan bersama, kepemilikan umat yang tidak boleh dikomersialkan atau dijual demi keuntungan priibadi.SDA harus dikembalikan pada kepemilikannya, yaitu kepemilika umum, seperti sabda Rasulullah SAW, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Karena metode kepemilikan saat ini adalah kapitalisme, maka segala sesuatunya diberikan kebebasan, bahkan SDA diperbolehkan dimiliki oleh swasta atau pribadi. Ini menyalahi aturan Islam, yang jelas menyalahi fitrah bumi yang seharusnya menjadi milik umat dan apa pun diadakan di dalamnya untuk kemaslahatan bersama.
Semua hal tersebut seharusnya merupakan tanggung jawab pemerintah. Negaralah yang mengelola sumber daya alam yang digunakan untuk umat agar tersampaikan dan tersebar secara merata tidak ada ketimpangan atau bahkan dijadikan kepemilikan pribadi.
Negara Islam juga akan melakukan antisipasi dan mitigasi yang sesuaikan dengan kondisi serta teknologi yang ada. Program juga tidak hanya menjadi omongan dan rencana belaka atau bahkan dikomersialisasikan karena ini semua ditujukan untuk umat dan sudah menjadi kewajiban negara melakukan hal tersebut.
“Imam/khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya” (HR Bukhari dan Muslim).
Di sini juga diperlukan peran masyarakat yang menyadari bagaimana penggunaan SDA yang baik, tidak mengeksploitasi atau melakukan pemborosan, edukasi dari pemerintah kepada masyarakat juga dilakukan agar hal ini terwujud.
Dengan penerapan Islam kaffah (secara keseluruhan) hal ini akan terwujud, dan akan memberkan manfaat kepada Masyarakat serta umat akan merasakan kemaslahatan tanpa adanya kerusakan yang berlebihan yang terjadi. [*]
*Penulis Adalah Graduate Student Environmental Engineering, Seoul, South Korea