OPINI
“Saya kira sesuatu yang perlu diapresiasi. Kenapa, karena sudah cukup lama kita menunggu anggota DPR dengan mudah bisa memberi tahu ke publik berapa pendapatan dan tunjangan yang dia peroleh,”
Oleh : Hurun Qonita
PENYANYI sekaligus anggota DPR Krisdayanti menuai kehebohan. Hal itu terkait buka-bukaan perihal gaji yang didapat di DPR senilai ratusan juta rupiah. Krisdayanti mengaku menerima gaji setiap tanggal 1 sebesar Rp 16 juta.
Empat hari berselang, masuk lagi ke rekeningnya tunjangan sebesar Rp 59 juta. Tak sampai di situ. Ada juga dana aspirasi Rp 450 juta yang diterima Krisdayanti. Dana aspirasi ini didapat lima kali dalam setahun serta dana reses sebesar Rp 140 juta. (detik.com 17/09/2021).
Sikap Krisdayanti ini mendapatkan apresiasi oleh Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, “Saya kira sesuatu yang perlu diapresiasi. Kenapa, karena sudah cukup lama kita menunggu anggota DPR dengan mudah bisa memberi tahu ke publik berapa pendapatan dan tunjangan yang dia peroleh,” ujar Lucius. (republika.co.id 18/09/2021).
Memang benar, sikap Krisdayanti yang dengan gamblang memaparkan mengenai pendapatan yang ia terima selaku anggota DPR patut kita apresiasi. Pasalnya selama ini publik tidak mengetahui secara jelas berapa pendapatan yang sesungguhnya diterima oleh anggota DPR. Namun, tetap saja berita tersebut mengusik rasa keadilan di tengah masyarakat.
Jika dibandingkan dengan gaji guru honor, sosok yang sangat berjasa dalam mencerdaskan anak bangsa tentu rasanya tak sebanding. Bahkan untuk sekedar diangkat menjadi seorang PNS harus berjuang mati-matian walau mungkin sudah puluhan tahun mengabdi.
Para guru honor harus mengikuti serangkaian tes yang memusingkan kepala, padahal praktek berpuluh tahun seharusnya sudah cukup untuk membutikan kemampuan dan ketulusan mereka dalam mengajar. Tak jarang hasilnya hanya menambah tumpukan luka dihati para guru honerer.
Seperti yang dikisahkan oleh Novi Khassifa, seorang pengawas ruang seleksi PPPK guru di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) dalam surat terbuka yang ia tulis untuk Nadiem Makarim di akun Facebooknya. Dilansir dari detik.com (18/09/2021), Novi menyoroti seorang guru honorer lansia yang mengikuti seleksi PPPK.
Dia mengatakan guru tersebut mengenakan sepatu tua yang sudah lusuh. Guru itu disebutnya hanya mendapatkan honor Rp 500 ribu sebulan. Menurutnya, uang sebesar itu bahkan tak cukup untuk makan sebulan, apalagi untuk mengganti sepatu. Dia mengatakan guru itu akhirnya tidak lulus passing grade dan akhirnya hanya bisa terdiam. Novi mengatakan guru tersebut sudah berpuluh tahun mengajar.
Sepertinya para anggota DPR perlu belajar banyak dari ketulusan hati para guru honor. Di tengah kondisi hidup yang sulit dan upah yang tidak seberapa namun tetap mengabdi sepenuh hati. Jasanya bagi negeri sungguh tak perlu diragukan lagi. Bagaimana dengan DPR? bukankah dengan gaji yang begitu fantastis harusnya dapat memberikan kinerja yang terbaik untuk masyarakat? Namun sayangnya fakta tak menunjukkan demikian.
Kinerja DPR periode 2019-2024 menuai kritik tajam dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), khususnya dalam pelaksanaan fungsi legislasi. Pasalnya, DPR baru berhasil menuntaskan sebanyak empat dari 248 rancangan undang-undang yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024. (cnnindonesia.com 13/8/2021).
RUU yang disahkan pun sangat minim dari aspirasi rakyat dan pro terhadap kepentingan kapitalis. RUU Cipta kerja Omnibus Law contohnya, meski menuai protes dan demo hingga berjilid-jilid dari masyarakat namun tetap disahkan dan kini telah tampak jelas dampaknya dirasakan oleh masyarakat. Tidakkah hal ini membuktikan bahwa DPR abai terhadap kemaslahatan rakyatnya sendiri? Ini belum lagi jika berbicara tentang korupsi yang tak jarang dilakukan oleh DPR dan para anggotanya.
Sistem Shahih Menghasilkan Pemimpin Amanah dan Bertanggungjawab
Dalam sistem sekuler demokrasi materi merupakan motivasi tertinggi seseorang dalam berbuat sesuatu. Begitu pula seseorang yang ingin naik ke tampuk kekuasaan, mencari dan memperbanyak harta adalah tujuan utama. Maka tak jarang ketika memiliki kekuasaan, mereka sibuk memperkaya diri dan lupa pada rakyat sendiri.
Biaya politik yang mahal dalam demokrasi membuat kekuasaan hanya berkutat pada para pemilik modal yang hanya ingin menggunakan kekuasaan sebagai jalan untuk menambah cuan. Tak jarang pula calon penguasa harus menggandeng pemilik korporasi untuk memberi modal kampanye yang tak sedikit jumlahnya. Maka adalah hal yang niscaya ketika berkuasa mereka lebih condong pada kepentingan korporasi dari pada rakyat kebanyakan.
Belum lagi penguasa yang terpilih juga harus memenuhi kepentingan partai pengusungnya. Sudah menjadi rahasia umum jika pejabat publik merupakan sumber penghasil cuan bagi partainya. Maka wajar saja jika akhirnya banyak pejabat yang terjerat kasus korupsi.
Hal ini tentunya berbeda dengan sistem Islam yakni khilafah yang terbukti mampu memimpin 2/3 dunia hingga 13 abad lamanya. Sistem politik islam yang praktis dan murah akan menutup keran keterlibatan korporasi di dalamnya. Selain itu para penguasa di dalam khilafah tak diberikan gaji, melainkan hanya diberi santunan kebutuhan pokoknya. Oleh karenanya penguasa didalam islam memimpin karena dorongan keimanan bukan yang lain.
Sebab ia paham betul bahwa kekuasaan adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. “Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin.” (Riwayat Muslim).
Maka mengetahui hal ini sudah seharusnya umat berpikir untuk berjuang mengembalikan penerapan sistem islam dalam naungan khilafah di tengah-tengah mereka. Berharap pemimpin yang amanah dan serius mengurusi mereka dalam sistem demokrasi adalah hal yang sia-sia. Hanya sistem Islam yang dapat menghasilkan pemimpin amanah dan bertanggungjawab. Wallahu’alam biswhawab. (*)
*Penulis Adalah Aktivis Inspiring Muslimah Community (Insmuco)