Oleh : Ami Pertiwi Suwito,
ORANGTUA mana yang tidak sedih mendengar buah hatinya tewas usai kecelakaan lalu lintas. Terlebih jika penabrak tersebut adalah mantan penegak hukum negara.
Pada tanggal 6 Oktober 2022 silam, seorang mahasiswa Universitas Indonesia bernama Muhammad Hasya Atallah Syahputra (Hasya) tewas di Kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan setelah ditabrak lari oleh sebuah mobil. Adapun pengendara mobil tersebut yakni Eko Budi Setia Wahono, seorang puranwirawan AKBP (Ajun Komisaris Besar Polisi). Beliau juga dijadikan tersangka pelaku dalam kasus kecelakaan ini.
Tentunya kasus kecelakaan ini mendapati penyelikikan dan penyidikan Polres Jakarta Selatan. Namun Tim Hukum Keluarga Hasya menilai bahwa penanganan kasus oleh Polres Jakarta Selatan ini tidak berjalan sesuai prosedur.
Hal ini juga ditegaskan oleh Gita Paulina sebagai pengacara Hasya, sebab ada kejanggalan yang didapati saat mempelajari Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) yang di dalamnya juga terlampir Surat Penghentian Penyidikan (SP3) dari kepolisisan.
Di sinilah bumbu drama dari kasus ini, surat tersebut menyatakan bahwa tersangka pelaku kecelakaan ini adalah Almarhum Hasya sendiri! Logika macam apa yang terbesit dalam benak kepolisian hingga bisa mengeluarkan pernyataan cacat seperti itu? Maka wajar jika masyarakat mempertanyakan letak profesionalisme polisi sebagai penegak hukum negara.
Saudara-saudara semua, ini bukan pertama kalinya penegak hukum cuci tangan setalah berulah di Indonesia. Pada tahun 2020 silam, terdapat kecelakaan beruntun di Jalan Ki Ageng Gribig, Kota Malang yang melibatkan mobil patroli milik Polsek Kedungkandang.
Lalu menjelang akhir tahun 2022, terdapat kasus tabrak lari di Parepare Sulawesi Selatan dan Kabupaten Jombang, Jawa Timur yang sama-sama dilakukan oleh mobil dinas polisi. Tak berhenti di situ, pada 20 Januari 2023 seorang mahasiswi bernama Selvi tewas di Cianjur usai ditabrak oleh sebuah mobil yang diduga sebagai iring-iringan polisi.
Secara garis besar, semua kasus tadi memperlihatkan pola yang menyedihkan. Yakni pola di mana kecelakaan dengan terduga pelakunya polisi sehingga tidak diadili secara tuntas.
Saudara-saudara semua, kita sebagai seorang Muslim tentunya sudah muak melihat para penegak hukum yang berbuat sewenang-wenang. Ini sangat lumrah saat kita hidup dalam sistem sekulerisme, yakni sistem yang memisahkan kehidupan dunia dengan agama.
Dengan kata lain, manusia dalam sistem sekuler berhak membuat hukum negara dengan akalnya sendiri. Aturan agama seperti syariat Islam hanya boleh mengatur ranah kehidupan privat manusia. Akibatnya, penegak hukum yang mempunyai privilese bisa berbuat tindakan krinimal tanpa dikenai sanksi. Sebab dalam sistem ini, hukum itu tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Jika kita melihat dalam skala yang lebih besar, fenomena kecerobohan aparat tidak hanya terjadi di Indonesia. Mulai dari kasus mobil polisi di Nakuru, Kenya yang menewaskan seorang Ibu serta melukai putranya pada 11 Januari 2023.
Sampai pada tewasnya mahasiswa pasca sarjana di Northeastern University, Amerika Serikat usai ditabrak oleh mobil polisi pada 23 Januari 2023. Berangkat dari kasus-kasus serupa ini, kita seharusnya paham kalau sistem sekulerisme itu sudah mengglobal. Karena itu, di berbagai belahan dunia kita mudah menemui aparat yang mencelakai rakyat jelata tanpa pemberian kompensasi yang berarti kepada korban.
Lantas bagaimana solusi dari semua masalah ini? Solusinya tidak lain adalah penerapan syariat Islam secara menyeluruh dalam bentuk daulah Islam. Sebab Allah SWT Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi manusia, sehingga hanya dengan syariat Islam keadilan dalam negara dapat tercapai dengan sempurna. Penegak hukum dan aparat dalam sistem dituntut untuk menjalankan tugasnya semata-mata untuk mencari Ridho Allah SWT, bukan untuk kepentingan materi dan sejenisnya.
Adapun ketika aparat melakukan kecerobohan saat menjalankan tugasnya, maka akan ada sanksi tegas sesuai dengan syariat Islam. Tidak boleh ada pandang bulu terhadap pelaku kesalahan, baik itu rakyat jelata maupun anak pejabat. Seperti halnya ketika Khalifah Umar bin Khattab mencabuk anaknya sendiri yang ketahuan mengonsunsi khamar. (*)
*Penulis Adalah Mahasiswi Universitas Gunadarma