Ketum SPRI, Hence Mandagi : Ketua Terpilih FORWAMA “Abal-abal” Ikut Tebar Rasis!

0
16
Ketum SPRI Hence Mandagi /Foto : Ist.
“Isu rasis dan ujaran kebencian justru mencederai semangat kebersamaan FORWAMA oleh oknum-oknum yang ambisius dan menghalalkan segala cara demi mempertahankan eksistensi dan pengakuan publik,”

JAKARTA | Lapan6Online : Setelah sebelumnya Ketua Panitia Pemilihan FORWAMA ‘Abal-abal’ Jimmy Endey menebar isu rasis pasca pemilihan pengurus Forum Wartawan Mahkamah Agung RI – FORWAMA, kini giliran Ketua FORWAMA ‘Abal-abal’, Emil Simatupang ikut menebar isi rasis berbau SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan).

Pernyataan Emil Simatupang di grup chat aplikasi WhatsApp itu sengaja direkam dengan screen shoot atau layar tangkap kamera selular oleh Ketua Panitia Jimmy Endey dan diteruskan ke wartawan melalui pesan WhatsApp, termasuk kepada Ketua Umum DPP Serikat Pers Republik Indonesia, Hence Mandagi pada (22/5/2023).

Jimmy Endey bahkan menambahkan keterangan pada foto tangkapan layar tersebut bahwa kalimat yang ditulis Emil Simatupang tersebut lebih parah dari yang beredar sebelumnya.

Sebelumnya marak diberitakan, Ketua Panitia Pemilihan Jimmy Endey lebih dulu menebar isu rasis berbau SARA pasca muncul penolakan hasil pemilihan Ketua FORWAMA yang dinilai ‘abal-abal’ dan ilegal karena hanya dihadiri belasan wartawan dari 300 wartawan peliput di MA.

Jimmy Endey yang berpotensi menjadi terlapor akibat perbuatannya menebar isu rasis dan ujaran kebencian, rupanya tak mau sendirian dituding rasis.

Foto tangkapan layar atas komentar rasis Emil Simatupang sengaja dikirim Jimmy ke Ketum SPRI Hence Mandagi dan meminta agar masalah tersebut perlu dikonfirmasi (kepada Emil Simatupang).

Selain Jimmy, komentar Emil Simatupang di grup WhatsApp tersebut juga dibuat tangkapan layar oleh Soegiharto Santoso dan dikirim ke Ketum SPRI Hence Mandagi.

Menanggapi hal itu, Ketum SPRI Hence Mandagi mengaku prihatin atas peristiwa pemilihan FORWAMA yang seharusnya menjadi forum silaturahim wartawan MA untuk menyampaikan informasi yang berkualitas kepada masyarakat pembaca dan pemirsa. “Isu rasis dan ujaran kebencian justru mencederai semangat kebersamaan FORWAMA oleh oknum-oknum yang ambisius dan menghalalkan segala cara demi mempertahankan eksistensi dan pengakuan publik,” ujar Mandagi melalui siaran pers yang dikirim ke redaksi, pada Selasa (23/5/2023).

Mandagi yang juga merupakan Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi Pers Indonesia menambahakan, ketua terpilih seharusnya memunjukan kewibawaannya untuk menyikapi penolakan mayoritas wartawan MA dengan cara-cara yang elegan dan bermartabat. “Bukan dengan cara memfitnah dan mengkambinghitamkan orang dengan cara menuduh orang lain sebagai penggerak penolakan,” tandas Mandagi.

Soegiharto yang dituduh oleh Emil Simatupang sebagai penggerak penolakan, kata Mandagi, adalah Wakil Ketua Umum SPRI dan Ketua Umum APTIKNAS dengan kesibukan yang sangat padat dan yang tidak memiliki ambisi apapun untuk menjadi ketua FORWAMA. “Kita selaku pimpinan organisasi wartawan sudah sepakat menjadi fasilitator dan pembina unit-unit liputan wartawan di berbagai instansi. Jadi tidak mungkin menjadi ketua di forum liputan tersebut,” tegas Mandagi.

Hal itu dibenarkan Soegiharto saat dikonfirmasi. “Sejak awal saya sudah menolak dicalonkan sebagai ketua FORWAMA. Dan itu ada jejak digitalnya di grup chat WhatsApp wartawan MA, serta diungkapkan pada saat rapat perdana panitia,” ungkap Soegiharto Santoso, menepis isu bahwa dirinya yang berambisi dan menggerakan penolakan terhadap pemilihan yang sarat rekayasa tersebut.

Menurut Hoky, sapaan akrabnya, wartawan adalah orang-orang profesional yang sudah terlatih dan memiliki naluri tajam untuk bersikap kritis terhadap sesuatu yang dinilai melanggar norma keadilan dan kebenaran.

“Kegagalan panitia merangkul ratusan wartawan MA sebetulnya sudah kita antisipasi dengan usulan menunda pemilihan agar semua wartawan MA bisa menerima,” beber Hoky. Namun, lanjut dia, usulan penundaan itu ditentang keras oleh Emil Simatupang dan Jimmy Endey dengan berbagai argumen dan tuduhan penghianat.

“Soal klaim Emil bahwa dia yang menjadikan saya wartawan dan muridnya, itu juga adalah komentar yang tidak beralasan,” ujarnya seraya menambahkan, dirinya menjadi wartawan sejak tahun 2001.

Hoky mengungkapkan, pada tahun 2001 dia mendirikan Majalah Biskom dengan terbitan eksklusif full colour dan nara sumber para menteri dan pemegang kebijakan.

“Saya baru kenal Emil pada akhir tahun 2017 dan dimasukan dalam kolom redaksi di medianya atas seijin saya. Tapi tidak ada ilmu atau sesuatu yang dia ajarkan mengenai jurnalistik kepada saya selama nama saya dimasukan ke kolom redaksi medianya,” ujar Hoky.

Untuk mengakses informasi pendirian Media Biskom, kata Hoky, dapat dilihat di website Media online Biskom, tentang sejarah berdirinya Majalah BISKOM sejak tahun 2001. Majalah BISKOM terbit satu bulan sekali dengan cover tokoh-tokoh penting pada industri TIK di Indonesia, termasuk diantaranya berturut-turut para Menteri Riset dan Teknologi Indonesia yaitu; Hatta Rajasa, Kusmayanto Kadiman, Suharna Surapranata, dan Gusti Muhammad Hatta.

Selain itu ada profil para Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia yaitu; Syamsul Mu’arif, Sofyan Djalil, Mohammad Nuh, Tifatul Sembiring, dan Rudiantara. “Semua bukti cetakan masih tersimpan rapih di kantor redaksi,” ujar Hoky.

Dalam perjalanannya BISKOM resmi beralih format menjadi media online pada tahun 2017.

Sementara itu, mengenai berbagai perkara APKOMINDO sebagaimana yang disampaikan Emil Simatupang, Hoky membenarkan hal itu. “Itulah salah satu sebabnya saya tidak mau jadi ketua FORWAMA agar tidak ada konflik kepentingan,” ujar Hoky.

Namun demikian, kata Hoky, dirinya bukan merupakan orang yang menciptakan perkara melainkan pihak lain yang selalu mengganggu dengan sederet gugatan perdata dan laporan pidana terhadap dirinya.

“Sejak tahun 2016 saya dikriminalisasi dan bahkan sempat ditahan selama 43 hari, namun dinyatakan tidak bersalah oleh majelis hakim, dimana sejak taahun 2018 sampai sekarang saya menghadapi seorang diri digugat maupun mengguat serta sejak tahun 2020 saya kuliah hukum lagi.” ungkapnya.

Belasan tahun, kata Hoky, dirinya dibombardir gugatan perdata oleh pihak lawan yang menggunakan hukum sebagai alat kejahatan atau ‘Law as a tool of crime’.

“Wartawan di seluruh Indonesia tahu dan paham tentang persoalan ini dan rela mengawal kasus ini karena solidaritas dan sikap kritis yang menolak mafia hukum di lembaga peradilan,” pungkas Hoky. Dia juga menganggap wajar jika dirinya terpaksa melakukan perlawanan terhadap mafia hukum dan harus berperkara di pengadilan.

Sampai dengan berita ini diturunkan, Emil Simatupang yang dikonfirmasi belum memberikan jawaban. (*Rls/Bam/Red)