OPINI
“Manusia sering kali merasakan krisis keyakinan terkait konsep rezeki. Manusia semakin serakah dan tamak dalam mendapatkan rezeki. Manusia saat ini masih berpikir bahwa rezeki hanya berupa harta,”
Oleh: Yati Nurhayati
MENURUT Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI,red) rezeki adalah segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan (yang diberikan oleh Tuhan); makanan (sehari-hari); nafkah. Adapun menurut etimologi asal kata rezeki dari bahasa Arab, yaitu dari kata razaqa, yarzuqu, rizqan, yang artinya kekayaan, nasib, harta warisan, upah, dan anugerah atau pemberian. Rezeki juga bermakna pemberian, makanan, hujan, dan buah-buahan.
Terkait bahasan rezeki, ulama besar Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata, “Allah SWT memberikan rezeki kepada seluruh makhluk-Nya yang bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dibutuhkan, memudahkan untuk mereka berbagai jenis rezeki, dan mengaturnya untuk kehidupan mereka.”
Siapa pun makhluk Allah SWT yang ada di dunia ini sudah pasti Allah jamin rezekinya, baik dalam bentuk lahir/fisik maupun dalam bentuk batin/rohani. Hal ini juga Allah SWT sampaikan dalam Al-Quran surah Hud ayat 6:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
“Tidak ada satu pun yang bergerak di muka bumi ini kecuali Allah yang menanggung rezekinya” (QS Hud: 6).
Setiap makhluk Allah telah ditetapkan rezekinya sendiri-sendiri, demikian pula dengan rezeki untuk manusia. Sesungguhnya rezeki tidak hanya berwujud harta atau sekadar materi saja seperti anggapan kebanyakan orang. Kesehatan tubuh dan jiwa, keluarga yang harmonis, terhindarnya dari kecelakaan atau musibah, dan lain sebagainya merupakan bagian dari rezeki Allah SWT. Bahkan turunnya hidayah Islam pada diri seorang hamba, pemahaman akan ilmu agama, terbukanya pintu-pintu amal salih merupakan bagian dari rezeki yang tidak ternilai harganya. Rezeki dan karunia Allah sangat luas kepada hamba-hamba-Nya dan tidak mungkin terhitung saking banyaknya.
Maka, pantaskah diri kita layak didatangi dan bahkan dikejar rezeki. Seperti yang disampaikan Rasul dalam haditsnya: “Rezeki senantiasa mencari manusia, sebagaimana ajal (kematian) yang juga senantiasa mencarinya” (HR Ibnu Abi Ashim).
Dari hadits di atas, dijelaskan bahwa sifat rezeki itu mengejar bukan dikejar, sehingga rezeki hanya akan mengejar kepada orang-orang yang pantas didatangi.
Walaupun rezeki telah ditetapkan semenjak manusia berada di perut ibunya, tapi tidak ada seorang manusia pun yang mengetahui seberapa besar rezeki yang akan ia peroleh selama hidupnya. Sebagaimana Firman Allah dalam Qur’an surah Luqman ayat 34 yang artinya, “Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diperolehnya besok.”
Maka, Islam melarang umatnya berleha-leha menunggu rezeki datang begitu saja. Manusia diwajibkan berikhtiar dalam menggapai keinginan-keinginannya. Ingatlah, karunia Allah akan datang kepada hamba-Nya yang berikhtiar dengan bersungguh-sungguh.
Oleh karena itu ikhtiar harus dilakukan dengan bersungguh-sungguh tanpa melupakan iradat Allah SWT sehingga segala sesuatu yang dilakukan akan menjadi kebaikan bagi dirinya maupun untuk orang lain serta dicatat sebagai pahala ibadah di sisi Allah SWT. Salah satu ayat yang menjelaskan tentang pentingnya ikhtiar pada Qur’an surah an-Nisa ayat 34 yang artinya, “Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Al Qur`an dan Sunnah telah mengingatkan manusia agar mencari rezeki dengan cara yang halal dan tayib. Rasulullah SAW bersabda dalam hadits riwayat Ibu Majah, “Wahai manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, pakailah cara baik dalam mencari (rezeki). Sesungguhnya seseorang tidak akan meninggal sampai ia sudah meraih seluruh (bagian) rezekinya, meskipun tertunda darinya. Bertakwalah kepada Allah dan lakukan cara yang baik dalam mencari rezeki.”
Namun, manusia sering kali merasakan krisis keyakinan terkait konsep rezeki. Manusia semakin serakah dan tamak dalam mendapatkan rezeki. Manusia saat ini masih berpikir bahwa rezeki hanya berupa harta. Padahal, anak-anak yang saleh pun salah satu rezeki yang tiada tara nilainya. Krisis ini yang menjadikan manusia semakin serakah, korup, manipulatif, dan merampas hak-hak orang lain.
Ibnu Hajar al-Asqalaani menjelaskan orang yang mengumpulkan harta kekayaan dengan cara yang tidak benar dan melebihi keperluannya, serta dari jalan haram dan ia tidak membelanjakannya di jalan yang Allah ridai, maka perumpamannya bagaikan orang yang makan akan tetapi tidak pernah merasa kenyang.
Para ulama membagi konsep rezeki dalam tiga bagian. Pertama, rezeki yang telah dijamin (rizqul makful). Kedua, rezeki yang dibagikan (rizkqul maqsum). Ketiga, rezeki yang dijanjikan (rizqul maw’ud).
Konsep rezeki yang pertama adalah kenikmatan Allah yang diberikan tanpa usaha manusia berupa udara yang kita hirup, angin yang berembus, dan kenikmatan lainnya. Pada dua konsep rezeki lainnya, manusia didorong berikhtiar, tapi dengan cara yang halal. Seperti Rasulullah SAW katakan dalam haditsnya, “Mencari rezeki yang halal adalah (bersifat) wajib setelah kewajiban agama (seperti shalat dan puasa).”
Setelah kita memahami dan meyakini konsep rezeki yang sesungguhnya, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak bersyukur kepada Ar-Raziq (Maha Pemberi Rezeki), seperti disampaikan Ibnul Qayyim, “Syukur adalah menunjukkan adanya nikmat Allah pada dirinya. Bersyukur melalui lisan, berupa pujian dan mengucapkan kesadaran diri bahwa ia telah diberi nikmat. Bersyukur melalui hati, berupa persaksian dan kecintaan kepada Allah. Dan wujud terakhir dari bersyukur adalah melalui anggota badan, berupa kepatuhan dan ketaatan kepada Allah SWT.” [*]
*Penulis Adalah Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok