Korbankan Diri Demi Konten Eksistensi, Ke Mana Arah Berfikir Generasi?

0
6
Irma Legendasari/Foto :Ist.

OPINI

“Maka harus ada penanganan khusus dan intensif yang bisa menyalurkan ekspresi mereka ke dalam hal-hal yang positif yang tidak bertentangan dengan aturan Sang Khaliq,”

Oleh : Irma Legendasari,

BEBERAPA hari yang lalu, warga dikagetkan dengan pemberitaan mengenai kasus bunuh diri. Berawal seorang wanita yang berinisial W, tewas tergantung di rumah kontrakannya di Leuwiliang, Kab. Bogor, Jawa Barat.

W tewas saat membuat konten melalui video atau video call dengan teman-temannya. Menurut Kapolsek Leuwiliang Kompol Agus Supriyanto, berdasarkan keterangan dari saksi, W sedang membuat konten gantung diri.

Naas saat membuat konten gantung diri, kursi yang dipakai buat pijakan di bawah itu terpeleset, menyebabkan korban sudah tidak bernyawa seperti dikutip detik.news (03/03/2023).

Slogan yang diusung saat ini mungkin “yang penting viral” tanpa melihat bermanfaat atau berbahaya. Saat ini kehadiran media sosial menjadi ajang untuk eksistensi, yang biasa dikenal dengan istilah flexing. Istilah flexing menjadi wajar dan sering dilakukan oleh pengguna media sosila. Flexing adalah istilah yang digunakan untuk orang yang sering pamer kekayaan.

Suara.com (12/03/2022) menulis bahwa kekayaan yang dimaksud tidak selalu berkaitan dengan uang, tetapi bisa berkaitan dengan sesuatu yang dicapai oleh seseorang. Flexing di media sosial bertujuan untuk menunjukkan kemampuan hingga ingin menunjukkan status sosial mereka ke publik. Namun pada akhirnya flexing ini dianggap norak atau sombong bagi yang melihatnya. Istilah flexing ini sudah sangat jauh dari nilai-nilai agama.

Istilah ini lahir dari pemikiran manusia yang berasal dari sistem sekuler yang tidak mengaitkan agama dengan perilaku manusia. Taraf berfikir manusia hanya berkutat seputar harta, tahta, wanita dan kesenangan.

Hal ini diperlihatkan dengan menunjukkan eksistensi diri menjadi hal yang prioritas, didukung dengan majunya dunia media digital sehingga hal- hal seperti ini mudah dicari dan dilakukan.

Jadilah untuk eksistensi ini dilakukan dengan membuat berbagai konten, bahkan termasuk membuat konten dengan cara yang membahayakan jiwa atau dengan berlagak kaya.

Belajar dari perilaku ini, remaja butuh ruang untuk membuktikan eksistensi diri mereka. Maka harus ada penanganan khusus dan intensif yang bisa menyalurkan ekspresi mereka ke dalam hal-hal yang positif yang tidak bertentangan dengan aturan Sang Khaliq.

Oleh karena itu, perlu rangkulan dari semua pihak yang bermula dari orang tua sebagai pusat pembentukan karakter anak dengan menanamkan adab dan nilai ketauhidan sejak dini agar terwujud pondasi yang kuat.

Tanamkan pula rasa malu yang saat ini sudah hampir punah. Fahamkan cara berfikir benar mengenai apa tujuan hidup di dunia ini serta memilih teman bergaul yang benar.

Kemudian langkah selanjutnya kerjasama dari masyarakat untuk saling mengingatkan jika ada hal-hal yang menyimpang dan saling memberikan nasehat kebaikan.

Pemerintah yang mempunyai wewenang paling sakti dengan aturan – kebijakan membuat aturan memfasilitasi dan mendukung aktifitas atau kegiatan yang menjadikan remaja mengedepankan nilai-nilai yang tidak bertabrakan dengan aturan Allah Sang Maha Mudabbir.

Remaja hari ini adalah generasi yang akan memimpin masa depan, maka memperbaiki taraf berfikir benar menjadi pondasi utama agar mempunyai arah pandang yang jelas mana perbuatan baik ataupun buruk menurut prinsip Islam.

Hal ini sangat penting bagi mereka untuk terjun dalam kehidupan nyata. Para remaja dapat menjadikan diri mereka unggul dalam menguasai agama dan sains. Maka terbentuklah gambaran remaja Islam yang mempunyai kepribadian, smart, inovatif kreatif dan berjiwa pemimpin.

Akhirnya eksistensi diri mereka akan diasah dan dipersiapkan untuk menjadi agent of change bagi kebangkitan Islam dan mampu untuk memimpin dunia. Wallahu A’lam Bisshowab. [*GF/RIN]

*Penulis Adalah Ibu Warobatul Bait