OPINI
“Seharusnya, sikap kaum Muslim terhadap peristiwa bom Makassar prihatin dan mengutuk keras, serta harus ada upaya untuk meluruskan opini di tengah-tengah umat,”
Oleh : Widiani S,
BELUM reda kehebohan jagat medsos akibat podcast seorang youtuber yang menyatakan bantuan kemanusiaan selama ini dikumpulkan dari Indonesia disalurkan kepada teroris/untuk terorisme, mendapat pertentangan yang keras dari pengamat geopolitik Timur Tengah.
Beberapa waktu terakhir Kementerian Agama juga mengeluarkan pernyataan untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga-lembaga zakat yang diduga terkait terorisme.
Di sisi lain, entah kebetulan atau tidak bersamaan dengan hal tersebut terjadi peristiwa pemboman salah satu gereja di wilayah Makassar, Sulawesi Selatan. Berdasarkan bukti CCTV di TKP, pakaian yang digunakan pelaku adalah pakaian yang biasa dikenakan oleh kaum Muslim.
Beberapa hari berselang juga terjadi peristiwa penembakan oleh polisi yang lokasinya di depan Mabes Polri terhadap seseorang yang mencurigakan. Lagi-lagi pakaian yang dikenakan juga mengindikasi seorang Muslim.
Dari rentetan kejadian tersebut, lagi-lagi publik digiring ke dalam opini terorisme adalah Islam atau Islam adalah teroris. Lebih jauh lagi media mengaitkan aksi-aksi bom bunuh diri, terorisme terjadi karena pemahaman radikalisme yang ada dan hidup di tengah masyarakat.
Parahnya lagi paham radikalisme ini dilekatkan kepada kelompok masyarakat yang konsisten untuk menjalankan/menerapkan syariat Islam secara kaffah. Opini-opini tersebut seakan mengatakan “Beginilah (kekacauan, radikalisme merajalela) jika Islam kaffah diterapkan.”
Keadaan ini seakan kembali berulang sebagaimana peristiwa pengeboman gedung kembar WTC pada 11 September 2001 silam. Meski hingga kini tragedi tersebut masih kontroversi, berhasil menciptakan propaganda teroris adalah Muslim serta menghembuskan fobia Islam ke seluruh dunia, tak terkecuali di negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia. Terorisme dipropagandakan sebagai hilir dari pemahaman agama yang radikal.
Berbagai program deradikalisasi pun terus diciptakan agar radikalisme (versi mereka) hilang. Seperti dihilangkannya ajaran jihad dan khilafah di buku-buku sekolah, sertifikasi dai, hingga merambah ke ranah dana zakat yang dikelola oleh kaum Muslimin pun turut diawasi.
Terkait bom bunuh diri, telah jelas dalam ajaran Islam perbuatan tersebut terlarang dan merupakan dosa besar karena membunuh dirinya sendiri juga melukai banyak orang. (Lihat QS an-Nisa ayat 29).
Tindakan tersebut sangat keliru jika dianggap bagian dari ajaran Islam, apalagi sampai dikatakan jihad menjelang Ramadan. Oleh karenanya, tindakan tersebut pastilah dilakukan orang yang tak paham Islam. Sehingga, tidak boleh ada upaya mengaitkan tindakan tersebut dengan dakwah Islam dan upaya dalam mengembalikan Islam.
Rasulullah SAW telah memberikan contoh kepada umat Islam bagaimana cara berdakwah dan berjihad. Berdakwah atau melakukan amar makruf nahi mungkar tidak boleh dengan kekerasan dan pemaksaan, apalagi sampai merusak tempat ibadah dan melukai jemaahnya.
Semua itu jelas melanggar apa yang telah dicontohkan Rasulullah SAW yakni berdakwah tanpa kekerasan. Seharusnya, sikap kaum Muslim terhadap peristiwa bom Makassar prihatin dan mengutuk keras, serta harus ada upaya untuk meluruskan opini di tengah-tengah umat, yang seolah-olah mendiskreditkan ajaran Islam dengan mengatakan bom bunuh diri lahir dari ajaran Islam yang radikal.
Terkait aktivitas pengawasan yang dilakukan oleh negara terhadap lembaga-lembaga zakat yang dilakukan oleh kaum Muslimin, haruslah didudukkan masalahnya terlebih dahulu. Dalam Islam aktivitas pengawasan (tajasus) terhadap kaum Muslimin sungguh dilarang.
Adapun mengenai maraknya lembaga-lembaga zakat swasta yang dikelola oleh kaum Muslimin saat ini padahal lembaga zakat yang resmi dari pemerintah sudah ada, perlulah dilakukan evaluasi mengapa hal tersebut dapat terjadi. Kinerja lembaga-lembaga pemerintah saat ini yang berlandaskan kapitalistik, marak dengan KKN merupakan pertimbangan tersendiri bagi masyarakat untuk menjatuhkan preferensi lembaga zakat mana yang dapat mengelola harta mereka sebaik-baiknya.
Dalam pandangan Islam, zakat masuk dalam masalah ibadah. Pengelolaan zakat dilakukan secara terpusat oleh negara melalui baitul mall dan diserahkan kepada 8 asnaf sebagaimana diperintahkan dalam Al-Qur’án (QS at-Taubah ayat 60).
Pelaksanaannya di bawah tanggung jawab penguasa/khalifah, sehingga jika ada warga masyarakat yang memenuhi syarat (taklif) untuk menunaikan zakat namun tidak menunaikannya maka penguasa harus bertanggung jawab melakukan peringatan bahkan sanksi kepada warganya karena merupakan bentuk pelanggaran hukum syara.
Karenanya, hanya dengan penerapan Islam secara kafahlah yang akan menghantarkan umat manusia pada kehidupan yang sesuai dengan fitrah. Wallahuálam Bishawab. [*]
*Penulis Adalah Aktivis Dakwah di Kota Depok