OPINI
“Bahaya akibat liberalisme film ini senantiasa mengintai para penikmat dan menjadi masalah sosial yang terus tumbuh di masyarakat. Pemakluman atas nama kebebasan, telah mengikis nilai-nilai spiritual masyarakat,”
Oleh : Rahmah Khairani, S.Pd
HARI ini, menonton film tidak perlu susah-susah mendatangi bioskop, membayar tiket masuk, sambil membeli beberapa cemilan kemudian duduk menikmati filmnya selama kurang lebih 2 jam.
Karena hari ini, nonton film sudah dapat diakses hanya dari genggaman tangan. Cukup dengan mendownload aplikasi layanan streaming yang berbiaya murah, maka kita dapat menonton film sepuasnya selama 1 bulan kapan pun dan dimanapun.
Bak syurga dunia, masyarakat sangat dimanjakan dengan kemudahan fasilitas untuk memenuhi bermacam kebutuhan hiburan meskipun mereka tahu bahwa semua hanyalah fiktif belaka. Oleh karena itu, industri perfilman seakan tidak pernah kehabisan pasar baik sebelum pandemi maupun saat terjadi pandemi.
Karena ternyata, musibah covid-19 tidak menyurutkan minat masyarakat untuk menghibur dirinya dengan menonton film. Sehingga tidak heran, pengguna layanan streaming secara global semakin hari semakin meningkat termasuklah pengguna dari Indonesia. Dilansir dari databoks.katadata.co.id, total pelanggan Netflix tercatat sebanyak 203,7 juta orang di dunia hingga 2020 (22/1).
Tanpa disadari banyak orang, ternyata perfilman hari semakin kaffah liberalnya. Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia ternyata tidak kalah liberal dengan negara-negara barat sebagai pengekspor liberalisme.
Hal ini sangat mudah diindera dari budaya masyarakat yang semakin terbiasa dengan tontonan-tontonan yang vulgar sembari dibalut kisah-kisah romantis yang sedang digandrungi terutama oleh generasi muda. Tontonan-tontonan yang menggambarkan kehidupan hedonis, percintaan, kekerasan, pelecehan, bullying dan sebagainya secara tidak langsung diajarkan lewat cerita-cerita film, sinetron, iklan, maupun channel-channel media lainnya.
Kita tentu masih ingat dengan film “Dua Garis Biru” yang sempat menuai kontroversi karena alur ceritanya yang menampilkan adegan-adegan mesra anak sekolah hingga hamil di luar nikah. Namun kritik-kritik hanya tinggal pepesan kosong. Setelahnya semakin banyak film-film serupa yang digilai anak muda. Namun kali ini reaksi masyarakat tidak sekeras menanggapi film sebelumnya.
Bahaya akibat liberalisme film ini senantiasa mengintai para penikmat dan menjadi masalah sosial yang terus tumbuh di masyarakat. Pemakluman atas nama kebebasan, telah mengikis nilai-nilai spiritual masyarakat, sehingga tidak mempedulikan apakah tontonan tersebut halal atau haram.
Interaksi bebas antara lawan jenis yang bukan mahrom senantiasa mewarnai tontonan masyarakat, belum lagi ide-ide terselebung di dalam alur cerita perfilman yang semakin jauh dari kata beradab. Film tidak segan-segan untuk mengangkat cerita-cerita seks bebas, lgbt, kekerasan, sembari berlindung di bawah slogan sex education dan modernitas.
Saat para asatidz menyerukan kewajiban menutup aurat, malah yang paling banyak membuka aurat adalah kaum muslimin itu sendiri. Pemain film/sinetron maupun publik figur lainnya sering kali menjadi panutan dalam gaya hidup. Kita bisa membayangkan dampaknya ke masyarakat sangat luar biasa.
Akibatnya generasi yang belum kuat keimanannya mudah sekali untuk mengikut trend-trend maksiat meskipun hal tersebut telah diketahui dalil pelarangannya. Hal ini mengindikasikan bahwa pemahaman untuk mengikuti jalan kehidupan sesuai syari’at Islam tidak cukup jika hanya mengandalkan nasihat-nasihat pemuka agama. Namun harus diakomodir oleh peran negara dalam rangka melindungi masyarakat dari kehidupan liberal yang menyesatkan pemahaman.
Kaffahnya liberalisasi yang dikampanyekan lewat industri film, harus dicounter dengan kampanye syari’at yang kaffah pula. Sebab, hanya syari’at Islam saja yang mampu membawa manusia ke jalan hidup yang benar dan selamat dunia akhirat. Jangan sampai kita terpedaya oleh pesona dunia yang palsu sembari mengorbankan kehidupan akhirat yang kekal. Sebagaimana fiman Allah ta’ala:
“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali Imron:14) Wallahu’alam bish showab. (*)
*Penulis Adalah Aktivis Dakwah dan Pendidik