Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), (*)
Lapan6online.com – Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 5 tahun terakhir ‘stabil’ di sekitar 5 persen. Untuk 2015-2019, masing-masing 4,88 persen, 5,03 persen, 5,07 persen, 5,17 dan 5,02 persen. Pertumbuhan ekonomi selama 5 tahun yang ‘stabil’ ini mengundang pertanyaan, termasuk dari pihak asing. Secara gamblang, Gareth Leather dari Capital Economics yang berbasis di London menyatakan keraguannya: “We don’t have much faith in Indonesia’s official GDP figures, which have been suspiciously stable over the past few years”.
Keraguan terhadap data pertumbuhan ekonomi Indonesia ini masuk akal, karena aktivitas ekonomi selama 5 tahun terakhir sebenarnya sangat fluktuatif. Ekspor dan impor bergejolak. Investasi anjlok. Dengan kondisi ekonomi seperti ini, bagaimana mungkin pertumbuhan ekonomi bisa ‘stabil’ terus. Misalnya, sumber pertumbuhan ekonomi 2018 dan 2019 dari Konsumsi Rumah Tangga bisa sama, 2,74 persen dan 2,73 persen? Padahal banyak yang merasa daya beli masyarakat sedang turun. Seiring dengan kenaikan bermacam-macam biaya hidup yang menguras kantong masyarakat.
Pengertian ‘pertumbuhan ekonomi’ cukup abstrak bagi non-ekonom. Jadi perlu penjelasan yang sangat sederhana dan mudah dicerna awam.
Ekonomi dibagi dua kategori. Ekonomi berdasarkan nilai nominal dan ekonomi berdasarkan nilai konstan atau nilai riil.
Seandainya ekonomi (nilai) nominal periode sebelumnya Rp10.000 triliun dan periode sekarang Rp11.000 triliun, secara nominal terjadi peningkatan 10 persen. Tetapi, bukan berarti pertumbuhan ekonomi menjadi 10 persen. Karena di dalam nilai nominal Rp11.000 triliun tersebut mungkin termasuk kenaikan harga.
Kalau harga (rata-rata) periode sekarang naik 10 persen, maka ekonomi berdasarkan nilai rill periode sekarang hanya Rp10.000 triliun. Perhitungannya, nilai nominal periode sekarang dibagi (indeks) kenaikan harga: Rp11.000 triliun / (1+10 persen) = Rp11.000 triliun / 1,1 = Rp10.000 triliun. Artinya, aktivitas ekonomi periode sekarang sebenarnya sama dengan periode sebelumnya, yaitu Rp10.000 triliun. Sehingga, pertumbuhan ekonomi periode sekarang sebenarnya 0 persen.
Tetapi, bagaimana kalau data kenaikan harga, atau inflasi, (dibuat) tidak akurat? Misalnya, inflasi yang seharusnya 10 persen tercatat hanya 4 persen? Dalam hal ini, ekonomi rill periode sekarang menjadi Rp10.577 triliun (= Rp11.000 triliun / 1,04). Atau naik Rp577 triliun, sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi 5,77 persen (Rp577 triliun / Rp10.000 triliun x 100 persen).
Artinya, perubahan data inflasi bisa membuat perhitungan pertumbuhan ekonomi berubah drastis. Dari yang awalnya 0 persen menjadi 5,77 persen.
Mengikuti logika penjelasan di atas, mari kita lihat lebih detil data inflasi (atau deflator) yang digunakan untuk menghitung pertumbuhan ekonomi 2019. Deflator atau inflasi digunakan untuk koreksi dari nilai nominal menjadi nilai riil.
Aktivitas ekonomi sisi permintaan terbagi menjadi (intinya) Konsumsi Rumah Tangga, Konsumsi Pemerintah, Investasi (Pembentukan Modal Tetap Bruto = PMTB), dan Ekspor-Impor. Deflator untuk masing-masing kategori bisa berbeda. Pertanyaannya, apakah perbedaan ini masuk akal?
Perhitungan yang saya olah dari data BPS menunjukkan inflasi untuk Konsumsi Rumah Tangga 2019 sebesar 3,16 persen. Menghasilkan sumber pertumbuhan dari Konsumsi Rumah Tangga menjadi 2,73 persen (dari 5,02 persen pertumbuhan ekonomi 2019). Kalau kita lihat per triwulan (Q), kenaikan harga 2019 masing-masing 2,8 persen (Q1), 3,11 persen (Q2), 3,32 persen (Q3) dan 3,38 persen (Q4). Artinya kenaikan harga terus meningkat setiap triwulan.
Sedangkan kenaikan harga untuk Konsumsi (Belanja) Pemerintah pada 2019 hanya 0,43 persen. Ironi: karena kenaikan harga sangat rendah dibandingkan Konsumsi Rumah Tangga? Data triwulanan juga menunjukkan kebalikan dari Konsumsi Rumah Tangga. Kenaikan harga untuk Konsumsi Pemerintah dari Q1 hingga Q4-2019 terus turun, masing-masing 3,36 persen, 1,96 persen, 0,88 persen, dan minus 2,31 persen.
Data tersebut tentu saja mengundang keraguan. Kok bisa indeks harga Belanja Pemerintah turun terus, bahkan deflasi 2,31 persen pada Q4? Dengan inflasi yang rendah, sumber pertumbuhan dari Konsumsi Pemerintah bisa bertahan di 0,26 persen. (Tahun lalu 0,38 persen). Padahal pendapatan (pajak) pemerintah stagnan.
Data inflasi untuk kategori Investasi 2019 juga meragukan, masing-masing tercatat 2,88 persen (Q1), 2,79 persen (Q2), turun menjadi 2,40 persen pada Q3, dan anjlok menjadi 1,40 persen pada Q4 2019. Kok bisa turun terus, dan cukup tajam?
Dan terakhir inflasi untuk ekspor dan impor. Pertumbuhan ekonomi 2019 tanpa ekspor dan impor hanya 3,59 persen. Kita tahu nilai nominal ekspor dan impor keduanya turun: ekspor turun 6,34 persen dan impor turun 8,47 persen, Tetapi setelah dikoreksi inflasi, sumber pertumbuhan dari ekspor ternyata hanya minus 0,19 persen. Sedangkan sumber pertumbuhan dari impor anjlok minus 1,62 persen.
Hal ini disebabkan data deflator yang digunakan berbeda: deflator (inflasi) ekspor minus 5,51 persen (deflasi) dan deflator impor hanya minus 0,85 persen, sehingga sumber pertumbuhan dari Ekspor minus Impor menjadi positif 1,43 persen. Dan pertumbuhan ekonomi menjadi 5,02 persen (3,59 persen + 1,43 persen). Jadi, meskipun ekspor turun dan impor turun, artinya kontraksi, tetapi keduanya memberi kontribusi pertumbuhan ekonomi cukup tinggi: 1,43 persen. Luar biasa.
Semoga BPS berkenan menjelaskan perhitungan inflasi / deflasi di atas. (*)
*Sumber : watyutink.com