OPINI | POLITIK
“Entah dengan stigma orang tuanya tidak pandai mendidik, tidak mampu mengajari nilai-nilai baik, orang tuanya miskin ilmu, dan masih banyak lagi label kurang baik disematkan kepada keluarga pelaku,”
Oleh : Waryati
KASUS bunuh diri di Indonesia terus terjadi dengan berbagai motif yang melatarbelakangi. Tak memandang usia. Tua, muda, maupun remaja menjadi pelakunya. Tak melihat status sosial serta pendidikannya. Bunuh diri seperti kisah senyap yang tak semua terangkat ke permukaan.
Sampai saat ini motif kasus bunuh diri belum mendapat perhatian dan penelaahan secara menyeluruh baik oleh keluarga, masyarakat, serta negara.
Tak sedikit inisiden bunuh diri tenggelam bersamaan dengan pandangan masyarakat yang menganggap bahwa bunuh diri adalah ‘aib’ yang harus ditutup serapat mungkin. Hal ini bukan tanpa alasan, stigma negatif meninggal karena bunuh diri biasanya disematkan kepada pelaku atau pun didapatkan keluarga pelaku.
Masyarakat beranggapan ketika melihat beragam kasus bunuh diri mereka dengan mudah melabeli pelaku kurang iman dan segala macamnya. Tak ketinggalan juga keluarga korban mendapat imbas dari kasus tersebut, entah dengan stigma orang tuanya tidak pandai mendidik, tidak mampu mengajari nilai-nilai baik, orang tuanya miskin ilmu, dan masih banyak lagi label kurang baik disematkan kepada keluarga pelaku. Sehingga pelaku dipandang sebagai pihak yang mengalami kegagalan moral.
Tak dimungkiri, berbagai macam stigma negatif tersebut sudah menancap dalam benak semua lapisan masyarakat. Hal itu yang menjadi salah satu alasan keluarga korban memilih untuk ‘memendam’ inisiden bunuh diri yang terjadi di keluarganya, ketimbang melaporkan kepada pihak berwenang dan menjadi pemberitaan khalayak yang pada akhirnya keluarga korban pun dicerca dan mendapat stigma negatif tersebut.
Menyoal kematian tidak wajar yang terus berderet terjadi khususnya kasus bunuh diri, menuai tanda tanya di benak publik. Ada apa sebenarnya di era sistem yang katanya serba menjamin kemudahan serta menjanjikan kesuksesan materi ini justru menimbulkan permasalahan mental di tengah masyarakat.
Tak sedikit manusia mengalami tekanan dan berujung mengakhiri hidup dengan cara tragis. Menurut penelitian terbaru, kasus bunuh diri bisa empat kali lebih tinggi dari data resmi. Sangat mencengangkan.
Dengan banyaknya kasus bunuh diri di Indonesia menandakan masyarakat tidak dikondisi baik-baik saja. Tentunya ada banyak faktor memengaruhi gangguan mental yang kerap menimpa sebagian masyarakat, namun sulit terdeteksi dari awal.
Pelaku bunuh diri biasanya semasa hidupnya cenderung memendam masalah sendiri. Ujung-ujungnya pelaku depresi atau mengidap penyakit gangguan mental seperti bipolar. Mereka rata-rata merasa hidupnya tidak bahagia, banyak tekanan, atau menempatkan ekspektasi terlalu tinggi namun pada kenyataannya tak sesuai harapan.
Hal demikian menjadi penyebab timbulnya penyakit kejiwaan dalam diri seseorang karena tidak ada kesiapan mental menghadapi hal terburuk terjadi di hidupnya.
Lalu apa yang harus dilakukan oleh orang yang merasa hidupnya di ujung jurang? Sehingga seolah mau melangkah maju salah, mundur pun terpeleset dan akhirnya terjatuh juga.
Ada baiknya bagi mereka untuk belajar berkompromi dengan keadaan. Berusaha menahan segala bentuk kekecewaan dan lebih banyak bergaul dengan orang-orang yang bisa open mind dengan siapa pun.
Dalam arti, bergaul dengan orang yang mampu memahami kondisi terpuruk dan mampu memberikan solusi atas permasalahan tersebut. Dengan demikian, beban yang dirasa akan berkurang walau tidak semuanya terangkat.
Salah satu bentuk kepedulian dan empati terhadap sesama, hendaknya untuk siapa pun yang merasa ‘waras’ dan hidupnya baik-baik saja harus acuh kepada mereka yang disinyalir mengidap gangguan mental.
Karena mereka butuh untuk didengar, diperhatikan, ditolong, serta diberikan pencerahan dan solusi terkait dengan semua permasalahan hidup yang membuat mereka down. Bukan malah dijauhi dan mengasingkan mereka.
Menjadi pendengar terbaik bagi mereka mungkin bisa meringankan bebannya. Sekalipun masalah yang dihadapinya kita anggap sepele, bisa jadi itu berat baginya. Maka membiarkan mereka mengeluarkan seluruh isi hatinya menjadi salah satu cara agar pengidap gangguan mental tidak terus terpuruk dalam kesendirian dan masalahnya.
Dengan begitu, mereka terhindar dari pikiran yang menghantarkan pada perbuatan merugikan diri sendiri seperti halnya berkeinginan untuk mengakhiri hidup dengan bunuh diri.
Di ranah pendidikan, faktor penyebab terganggunya kesehatan mental lainnya adalah berkurangnya jam pelajaran agama. Di saat usia remaja dalam pencarian jati diri, mereka hanya disibukkan dengan kegiatan bersifat duniawi tanpa disertai dengan pengokohan pemahaman agama.
Hal demikian justru berpotensi para remaja menjadi hilang arah dan tujuan. Karena gempuran tsaqofah asing serta pengaruh buruk media sosial begitu kuat mencengkeram mereka.
Hal ini menunjukkan bahwa kurikulum sekuler nyata bermasalah. Beragam kegiatan baik dari usia sekolah sampai perguruan tinggi selalu disibukkan dengan pembelajaran ilmu dunia semata.
Inteklektualitas seseorang hanya diukur dengan barometer dunia. Ketika mampu meraih gelar akademis setinggi mungkin patut diapresiasi dan menjadi kebanggaan, kendatipun di saat bersamaan penguasaan ilmu langit tak ia miliki.
Jika ada pelajajaran agama, itu hanya sedikit dan sebagian dijadikan sebagai ekstrakurikuler. Dengan demikian, umat semakin jauh dari pemahaman agamanya.
Hal ini justru menjadi pemicu rapuhnya generasi. Tantangan zaman yang terus berkembang hebat tak mampu dihadapi karena minimnya modal dasar, yakni adanya kekuatan akidah dalam jiwa generasi muda yang harusnya menjadi pengokoh diri dan sebagai filter dari segala macam budaya barat yang masuk.
Selanjutnya faktor salah pengasuhan di dalam keluarga juga memberikan sumbangan terhadap adanya kasus bunuh diri.
Sejak awal, keluarga yang berperan memberikan pengajaran kepada anak-anaknya. Memahamkan nilai baik dan buruk. Mengajarinya bagaimana cara bersikap dan menyikapi segala sesuatu.
Menanamkan arti kehidupan pada mereka bahwa hidup itu tidak mudah. Harus senantiasa berjuang dan berserah. Ketika apa yang diinginkan tak mampu dimiliki jangan berputus asa tetap harus terus melangkah, dan seterusnya.
Dengan menanamkan pemahaman seperti itu, maka kekuatan mental anak-anak akan terbentuk sejak dini. Dengan demikian, mereka bertumbuh menjadi pribadi kuat, pantang menyerah dan tak mudah putus asa.
Menyoal beragam kejadian bunuh diri di masyarakat, harus kita akui bahwa penyebab utamanya bermuara pada sistem yang diterapkan saat ini. Sistem sekuler kapitalisme dengan cara hidup hedonis dan mementingkan manfaat di atas segalanya. Memisahkan agama dari kehidupan.
Karena itu, mental masyarakat hanya dibangun dengan menyifati materi. Apresiasi terhadap manusia hanya diberikan ketika orang tersebut berhasil dari segi finansial. Maka dalam mencapai kesuksesan ala kehidupan kapitalisme menjadikan manusia tak mengindahkan aturan agama.
Agama hanya dipandang sebagai kebutuhan individu yang berhubungan dengan ibadah semata. Sehingga dalam pengaturan di ruang publik semuanya mendapatkan kebebasan untuk berbuat dan berperilaku sesuai keinginan.
Akibatnya, ketika fondasi agama tidak tertancap dengan kuat, pastinya tidak mungkin mampu menopang beban berat. Jadilah, dalam sistem ini – banyak manusia kehilangan akal, deperesi dan stres. Sistem sekuler kapitalisme hanya mencetak manusia penghamba kepada materi namun lemah dalam visi misi kehidupan.
Sangat berbeda dengan sistem yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. dalam kepemimpinannya. Islam memandang manusia secara utuh dan menyeluruh.
Karena itu pembangunan manusia tidak hanya dari aspek pisik saja, namun juga membangun mentalnya. Asas untuk membangun manusia itu sendiri bersumber dari akidah Islam.
Karena itu, di dalam negara yang menerapkan Islam untuk mengatur kehidupan manusia, tidak dijumpai kasus bunuh diri seperti yang sekarang marak terjadi.
Sebaliknya mereka menjadi manusia hebat meskipun dihadapkan pada permasalahan rumit dalam hidupnya. Seperti itulah akidah Islam mencetak generasi. Tangguh, sabar, pantang menyerah, dan berpikiran positif, serta yakin akan hari akhir.
Sisi lainnya negara juga menjamin kehidupan layak dan sejahtera, sehingga mengurangi tekanan di masyarakat. Seperti itulah pertanggung-jawaban negara menurut tata atur Islam untuk menjaga mental health rakyat. Wallahu a’lam bishawwab. [*SP/GF/RIN]
*Penulis Adalah Pemerhati Kebijakan Publik